Feminisme: Aborsi dalam Tightness dan Looseness Cultures

Mahasiswa Magister Psikologi, Universitas Indonesia
Feminisme: Aborsi dalam Tightness dan Looseness Cultures 11/04/2024 294 view Budaya smakaquinasruteng.sch.id

Feminisme diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kesejahteraan, membahas isu-isu perempuan, dan mengutuk ketidakadilan terhadap perempuan. Istilah feminisme berasal dari bahasa latin “femina” yang berarti “wanita” atau “memiliki kualitas perempuan”.

Ada beberapa isu dalam feminisme yang sering mengandung polemik, salah satunya isu aborsi. Aborsi dalam pandangan feminisme disepakati sebagai hak atas tubuh perempuan berkaitan dengan konteks ideologi, politik, dan sosial budaya yang berkembang di lingkup masyarakat sebagai bagian dari warga negara (Deyis, 2021).

Beberapa waktu lalu tepatnya pada 4 Maret 2024, anggota parlemen Prancis menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memasukkan hak aborsi ke dalam konstitusi Prancis. Sehingga Prancis tengah menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara gamblang menjamin hak perempuan untuk mengakhiri kehamilan secara sukarela (VoA, 2024).

Sedangkan Indonesia memandang aborsi dengan lebih moderat di mana aborsi pada dasarnya dilarang dalam Pasal 299. 346. 347, dan 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan memperbolehkan aborsi dalam keadaan tertentu (Savira & Novianto, 2014).

Di berbagai negara di dunia, pandangan tentang aborsi berbeda-beda karena dipengaruhi oleh faktor sosial. Misalnya di Greenland, anak mudanya sudah mulai berhubungan seks pada usia 14-15 tahun, statistik nasionalnya menyebutkan 63% anak berusia 15 tahun melakukan hubungan seks secara rutin.

Selain itu, perdebatan tentang seks bebas, kehamilan di luar nikah dan aborsi bukanlah hal yang tabu dan bersifat non-etis. Sedangkan di Indonesia, masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang melarang tindakan aborsi, kecuali jika janin dipertahankan akan membahayakan nyawa ibu atau keduanya.

Masyarakat Indonesia umumnya memandang hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diharapkan sampai praktik aborsi secara sukarela sebagi suatu tindakan yang tercela begitu (Deyis, 2021).

Studi oleh Cheng et al., (2024) terhadap 294 orang dewasa di Amerika Serikat menemukan bahwa terdapat tiga faktor lain yang berpengaruh terhadap tindakan aborsi, pertama; empati, semakin besar empati terhadap perempuan yang mengandung, semakin banyak dukungan terhadap tindakan aborsi, dan sebaliknya, semakin banyak empati pada janin, dukungan terhadap tindakan aborsi akan minim.

Kedua, Locus of Control (LoC), Internal LoC secara positif erat kaitannya dengan kepercayaan keagamaan, dan berhubungan dengan empati terhadap janin yang belum lahir. Sedangkan external LoC berhubungan positif dengan aborsi elektif, aborsi berdasarkan keinginan pribadi tanpa ada dasar urgensi medis.

Ketiga, Need For Cognition, kebutuhan akan berpikir berhubungan positif dengan dukungan terhadap aborsi mengingat ideologi liberal berkorelasi positif terhadap kebutuhan untuk berpikir secara lebih mendalam.

Faktor-faktor tersebut menandakan terdapat dua pandangan berbeda di tengah masyarakat global dalam menyikapi persoalan aborsi ini, yaitu Pro-Life dan Pro-Choice. Kubu Pro-Life tidak menyetujui adanya aborsi melalui pendekatan moral dan religius sebagai dasar argumennya karena menganggap bahwa bayi yang belum lahir sebagai subjek moral dan memiliki hak untuk hidup sehingga harus dilindungi.

Sedangkan Pro-Choice menyetujui dilakukannya aborsi berdasar pada hak reproduksi perempuan yang mengalami Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya untuk melanjutkan atau menghentikan kehamilan dengan alasan apapun (Savira & Novianto, 2014).

Tightness culture adalah kelompok sosial masyarakat yang budayanya ketat akan norma yang kuat dan memiliki toleransi rendah terhadap perilaku yang menyimpang (Dangl et al., 2011). Dalam budaya yang ketat, nilai religiusitas masyarakatnya cenderung tinggi sehingga memperkuat kepatuhan terhadap konvensi dan aturan moral yang bisa memfasilitasi tatanan sosial. Misalnya gereja Protestan Evangelis maupun Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa aborsi dan pengendalian kelahiran adalah dosa—keyakinan yang juga dapat membatasi perempuan dan membatasi mereka pada peran gender tradisional mereka (Qin et al., 2023).

Selain itu, Islam menetapkan aturan hukum bagi pelaku aborsi, yaitu Qisas dan Dfyat sebagai upaya Islam melindungi nyawa manusia, para ahli hukum Islam sepakat bahwa haram hukumnya bila melakukan aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin (janin telah bernyawa) (Mardani, 2021).

Individu dalam masyarakat struktural budaya yang ketat cenderung memiliki regulasi diri terhadap pencegahan perbuatan-perbuatan yang dianggap menyimpang secara norma, sehingga mereka akan lebih berhati-hati dan berfokus pada perilaku yang tepat karena tidak ingin dikucilkan dalam masyarakat. Jika hal-hal menyimpang telah terjadi, individu yang bersangkutan akan khawatir akan diskriminasi sosial. Misalnya saja di Kenya, perempuan-perempuan yang melakukan aborsi memilih pindah sementara atau permanen ke lingkungan baru yang menyebabkan penghidupan mereka menjadi termarginalkan.

Selain itu, jika masyarakat telah mengetahui bahwa seorang perempuan telah melakukan aborsi, hal ini akan mengurangi nilai dan kesempatan perempuan tersebut di “pasar” pernikahan karena institusi pernikahan sangat berharga dalam kebanyakan masyarakat yang didefinisikan sebagai “ritus peralihan” yang penting ke dalam kehidupan keluarga (Ushie et al., 2019).

Looseness culture adalah kelompok sosial masyarakat dengan budayanya memiliki norma sosial yang lemah dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perilaku menyimpang (Dangl et al., 2011). Kelompok budaya yang longgar jarang memiliki konsensus moral sehingga keputusan aborsi diserahkan kepada individu, dan bagi para pemikir relativisme argumen ini dapat meyakinkan dan mengarahkan pada dukungan untuk aborsi yang dilegalkan (Emerson & Emersont, 2016).

Di negara berkebudayaan longgar (loose) terjadi sosialisasi yang luas, seperti demonstrasi, boikot dan aksi mogok akan lebih sering terjadi karena kebebasan berperilaku yang dijunjung tinggi. Misalnya pawai perempuan dan reli untuk keadilan aborsi di Washington DC 2 Oktober 2021 silam, yang para demonstrannya memegang berbagai poster bertuliskan "Mind Your Uterus" dan "Legalize Abortion!”.

Budaya yang longgar memberikan sedikit saja batasan eksternal pada individu namun memberikan ruang untuk keleluasaan individu, sesuai dengan Curzon dalam konteks feminist jurisprudence, perempuan memiliki hak atas tubuhnya dan menolak tubuhnya dikendalikan oleh orang luar yang dalam perspektif feminis adalah dunia patriarkal laki-laki (Savira & Novianto, 2014)

Dari pro-kontra terhadap aborsi tersebut hendaknya kita sebagai masyarakat Indonesia yang cenderung kepada tightness culture harus bisa mempertahankan cara berpikir yang holistik agar tatanan sosial kita tidak mudah tergerus oleh budaya yang tidak sesuai dan sudah dibuktikan dari berbagai studi ilmiah yang telah dilakukan. Meskipun ada pengecualian terhadap tindakan aborsi berdasarkan beberapa alasan khusus, sepatutnya berbagai kekacauan di tengah masyarakat bisa diminimalisir oleh negara, misalnya penutupan situs porno, konten sosial media dengan filterisasi ketat, pelarangan minuman keras penghilang akal sehat, serta pembatasan ruang interaksi campur baur antara perempuan dan laki-laki.

Tidak ketinggalan tanggung jawab selaku individu manusia yang berakalpun harus selalu dimaksimalkan dengan mengimplementasikan nilai-nilai religiusitas dan norma sosial kita yang ketat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya