Balada “Guru” di Masa Pandemi

Esais
Balada “Guru” di Masa Pandemi 12/05/2020 1589 view Pendidikan piqsels.com

Saya punya buah tangan dari Stanford University. Anda yang belum pernah berguru di sana (seperti saya) maupun yang ingin bernostalgia mengenang fase hidup sebagai mahasiswa di sana, boleh menikmati. Anda yang sebetulnya sempat berkuliah di Stanford tapi kelewatan atau melewatkan oleh-oleh ini juga silakan nimbrung.

Namanya oleh-oleh, wajar kalau identik dengan makanan. Jadi, mohon maaf untuk teman-teman yang sedang berpuasa. Tolong tulisan saya jangan dirazia.

Berawal dari tahun 1970-an, psikolog Stanford, Walter Mischel, melakukan uji coba perdana untuk mempelajari proses mental manusia dalam menunda kepuasan (delayed gratification). Percobaan itu melibatkan 32 anak-anak TK dan sesuatu yang manis: marshmallow.

Masing-masing anak itu dibawa masuk ke ruangan khusus, lalu mereka dihadapkan dengan sebuah marshmallow di atas meja. Sebelum meninggalkan ruangan, Mischel mempersilakan mereka untuk memakan camilan tersebut saat itu juga. Akan tetapi dia pun berpesan, apabila anak-anak itu mau menunggu 20 menit saja sampai Mischel kembali, akan ada tambahan marshmallow untuk mereka.

Apa yang terjadi? Sepertiga anak-anak tadi ternyata melahap marshmallow-nya dengan segera. Sepertiganya lagi berusaha menunggu, tetapi menyerah di tengah jalan. Sementara sisanya berhasil menunggu Mischel tiba dan mendapatkan dua marshmallow.

Hasil dari percobaan ini baru terjawab ketika anak-anak itu beranjak dewasa. Diketahui bahwa sampel penelitian Mischel yang dulunya berhasil mendapatkan marshmallow tambahan ternyata mempunyai catatan hidup yang lebih baik daripada mereka yang tidak, seperti capaian akademis dan kebugaran tubuh.

Intinya, kesabaran akan membuahkan hasil yang manis. Semanis apa? Lebih manis dari satu buah marshmallow, lah, yang jelas.

Oke, saya memafhumi kalau berpegangan pada temuan Marshmallow Experiment saja untuk menjalani hidup ini sangatlah naif. Kita bak Cinderella atau Bawang Putih yang dapat bocoran dari sang penulis cerita bahwa hidup kita akan happy ending nantinya.

Nah, sekarang, apakah kita tidak bisa mengandalkan hal lain untuk bisa hidup aman-aman saja, seperti memanfaatkan akal dan pengetahuan kita?

Jawabannya, tentu saja bisa. Namun ternyata, aspek tersebut tidak memberikan jaminan mutlak seseorang tidak akan melakukan tindakan bodoh (foolishness).

Begini deh sederhananya. Kalau benar kecerdasan saja sudah cukup, seharusnya tidak ada kisah-kisah konyol lagi di sejarah kita. Soalnya secara biologis, manusia telah teridentifikasi sebagai spesies primata dengan kemampuan otak yang tinggi. Ukuran otak homo sapiens alias kita-kita ini yang sekitar 1.400 cm3 sudah di atas rata-rata hominid lain dan diklaim para ahli cukup memengaruhi tingkat intelegensia.

Namun, bekal biologis itu tidak serta-merta membuat kita lepas dari tindakan bodoh atau ceroboh. Dalam bukunya, Anatomy of Foolishness: The Overlooked Problem of Risk-Unawareness (2019), Stephen Greenspan secara sederhana mendeskripsikan kecerobohan sebagai kegagalan dalam memperhitungkan risiko malapetaka yang seharusnya dapat diantisipasi.

Contohnya, kurangnya intelegensiakah yang melatarbelakangi klaim James Watson di media massa bahwa warna kulit yang identik dengan ras tertentu mempunyai gen inferior yang lebih dominan? Kemungkinan bukan, mengingat ia adalah ahli biologi molekuler sekaligus genetika yang berhasil meraih Nobel tahun 1962. Barangkali klaim Watson memang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tetapi sikap rasisnya di ruang publik ini menjadi pertanda kalau ia abai terhadap potensi kecaman sosial.

Seperti dirangkumkan Greenspan, selain aspek kecerdasan (cognitive) seseorang, masih ada faktor-faktor lain yang berpotensi men-trigger suatu blunder, seperti emosi dan kesadaran (affect and state), kepribadian (personality), serta konteks situasi (situation).

Teorema kecerobohan Greenspan secara singkat tadi seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi, apalagi ketika berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan sedikit kesalahan bisa berisiko tinggi mencoreng muka sendiri. Di era ketika masyarakat begitu berharap pada teknokrasi seperti sekarang ini, jangan sampai para teknokrat yang punya daya dan kuasa malah bertindak gegabah karena tidak sadar bahwa skor tes IQ tinggi atau banyaknya gelar akademik tidak serta-merta menjamin mereka untuk tidak melakukan kecerobohan.

Teruntuk orang-orang cerdas yang berbisnis lalu terpanggil atau mendapat kesempatan menjadi teknokrat, lembaran babak hidup Jack Ma terlalu sayang untuk tidak dibuka-buka. Satu pesan dia yang ingin saya bagikan kepada para kolega layaknya oleh-oleh: “Jangan pernah berbisnis dengan pemerintah. Cintai mereka, tapi jangan ‘nikahi’ mereka.”

Apa artinya? Tak bisa dipungkiri, independensi dan harga diri seseorang bakal menjadi pertaruhan saat menjalin relasi dengan pemerintah. Dengan label individu berintelektual, ekspektasi publik wajar meninggi kepada yang bersangkutan dan lumrah ketika geram betul karena dikecewakan.

Lalu, bagaimana kalau pemerintah membutuhkan kontribusi kita? Kalau mau meniru cara Jack Ma, pertama-tama, ia akan menghubungkan pihak pemerintah dengan koleganya yang tertarik dengan proyek itu. Akan tetapi jika pemerintah meminta Jack Ma sendiri yang turun tangan, ia mengklaim hanya mau membantu secara gratis.

Ngomong-ngomong, bisnis berembel-embel guru yang terkenal itu pernah belajar ke sosok Jack Ma enggak, ya? Kan sebelum menjadi pebisnis digital sukses, dia merupakan seorang guru. Jack Ma bahkan memilih pensiun dini demi bisa bergerak sebagai pendidik lagi.

Padahal, menjadi guru itu – terlebih di Indonesia – tantangannya segunung: harus melewati tahap sertifikasi, perlu bikin karya ilmiah untuk naik pangkat, dan kini pun masih dibayangi ancaman pemotongan gaji serta tunjangan – nasib guru honorer mungkin lebih terombang-ambing lagi. Ironisnya, guru yang mendapat proyek di masa pandemi justru bukan “guru” sungguhan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya