Eksistensi dan Hikmah Hukum Potong Tangan

Santri Ma'had Aly Salafiyyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo
Eksistensi dan Hikmah Hukum Potong Tangan 03/01/2022 2789 view Agama Rumaysho.Com

Pencurian (السرقة) diambil dari akar kata سَرَقَ, yang bermakna mencuri. Secara bahasa, pencurian adalah mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan definisi secara istilah adalah mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak dengan beberapa syarat tertentu.( I’anatut Thalibin [158/4])

Dalam hukum islam, seorang pencuri akan dikenai sangsi (Had) berupa potong tangan. Had pencurian ini telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan sunah serta ijma’ ummat. Dalam al-Qur’an mengatakan, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana," (Al-Maa'idah: 38).

Sejarah Hukum Potong Tangan

Dalam kitab Fiqh ‘Ala Madzhahib al-Arba’ah [138/5] karya ‘Abdur Rahman bin Muhammad ‘Aud al-Jaziri menyebutkan bahwa sebelum syariat Islam diturunkan, hukum potong tangan telah diberlakukan oleh masyarakat jahiliah. Tatkala Islam datang, Islam mengakuinya dan menambahkan beberapa syarat, seperti qosamah (perdamaian), diyat (harta tebusan sebab pembunuhan), dan lain sebagainya yang berupa budaya-budaya yang telah diakui oleh syariat Islam. Tambahan tersebut tiada lain untuk menyempurnakan kemaslahatan yang diperuntukkan bagi manusia.

Seseorang yang pertama kali dipotong tangannya di masa jahiliyyah adalah dari kalangan bani Quraisy yang bernama Dulaik, seorang maula dari bani Ulaij bin Amr bin Khuza'ah, pada saat terciduk telah mencuri harta simpanan Ka'bah yang dimuliakan.

Pencuri pertama kali yang dipotong tangannya oleh Rasulullah adalah al-Khayyar bin ‘Adi bin Naufal bin Abdu Manaf dari kalangan laki-laki, sedangkan pencuri pertama kali dari kalangan perempuan adalah Murrah binti Syufyan bin ‘Abdul Asad dari kalangan bani Makhzum.

Dalam kitab Al-Bad’u wa Al-Tarikh karya al-Muthahhir bin Thahir al-Muqaddasi tepatnya pada bab Dzikru Bunyanil Ka’bah disebutkan bahwa para ahli sejarah mengatakan, “Tatkala Rasulullah telah sampai pada usia 35 tahun kalangan bani Quraisy telah membentuk konvensi untuk meninggikan dan memberi atap Ka’bah, namun nahas dirobohkan oleh banjir tatkala tingginya sudah mencapai satu depa. Hal ini membuat harta yang tidak dihadiahkan di dalam sumur yang berada dalam Ka’bah menjadi tampak, sehingga dicuri oleh seorang laki-laki yang bernama Dulaik. Tapi sekolompok bani Quraisy memergoki hal itu, hingga akhirnya membuat Dulaik berakhir dengan vonis hukum potong tangan.”

Sanksi hukum potong tangan sendiri bukanlah syariat yang diberlakukan terhadap umat yang sebelum Islam, karena menurut al-Qadli Abu Bakar ibnu al-Aziz al-Maliki dalam kitab Al-Ahkam yang diungkapkan oleh Abu Syahbah, dikatakan bahwa sanksi pencuri dalam syariat yang sebelum Islam adalah istirqaq (menjadikan pencuri itu budak). Beliau berdalil dengan surat Yusuf: 70 – 76.

Masyarakat Arab jahiliah sebelum diturunkannya syariat Islam masih mengalami masa transisi, yakni keadaan yang sudah amat lama belum diturunkan seorang utusan. Hal ini mempunyai kemungkinan besar terjadinya syariat yang sebelumnya sudah didistorsi, karena pada masa jahiliyah banyak budaya-budaya yang menyeleweng dari syariat agama samawi. Misalnya, pembunuhan terhadap bayi perempuan, menganggap wanita layaknya barang yang diperjual-belikan, perjudian, berbangga-bangga dengan nasab, jual beli dengan cara riba, bahkan yang lebih tragis adalah penyembahan berhala.

Kala itu hukum potong tangan sudah menjadi kebiasaan mereka dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pencurian. Entah sejak kapan kebiasaan ini menjadi pemberlakuan dalam menetapkan sanksi. Karena sanksi menjadikan budak bagi pelaku pencurian hanya terjadi di saat masanya Nabi Ya’kub sampai syariatnya Nabi Musa, hingga akhirnya syariat Islam datang menasakh ketentuan sangsi tersebut dengan ketentuan sangsi hukum potong tangan.

Eksistensi Hukum Potong Tangan

Tentu memang benar bahwa hukum syariat memang menghendaki kemaslahatan universal sejak awal mula diturunkannya, namun hukum potong tangan tidak selamanya baik untuk diterapkan. Misalnya, situasi dan kondisinya tidak memungkinkan seperti di Negara Indonesia yang bukan negara Islam.

Inilah yang oleh sebagian ulama disebut dengan qath’i min haitsu ad-dalil (tidak menerima penafsiran lain dari segi dalil) dan dzanny min haitsu al-tathbiq (memungkinkan untuk ditafsiri yang lain dalam tingkatan aplikasinya). Dalam konteks demikian, nilai-nilai prinsip Islam akan mengambil peran.

Jika hukum potong tangan yang menjadi ketentuan syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan di antara manusia tidak memungkinkan lagi untuk diterapkan, maka harus dikembalikan lagi kepada nilai prinsipnya. Sehingga, memungkinkan untuk menerapkan bentuk hukum yang lain. Dengan catatan tidak keluar dari ruang lingkup tujuan syari’ atau ruh tasyri’ (pembentukan hukum) dan kemaslahatan umat.(al-Manhaj al-Ushuliyyah, hal.3 dan Fiqh Progresif, hal.1312).

Metode ini sering diterapkan oleh sahabat Umar bin Khattab, misalnya ketika beliau tidak memotong tangannya seorang pencuri di masa paceklik dan pernah tidak mendistribusikan zakat pada seorang mualaf. Padahal ayat-ayat al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa seorang pencuri harus dipotong tangannya dan mualaf berhak untuk menerima zakat.

Hal ini tentu tiada lain lantaran sahabat Umar memahami dengan betul tujuan dari pensyariatan Islam, bukan kaku dalam menerapkan hukum-hukumnya. Kalau melihat konteks di Indonesia yang menerapkan sanksi penjara selama 10 tahun bagi pelaku tindakan kriminal pencurian, hal ini tidak bertentangan dengan nilai prinsip Islam yang berupa efek jera bagi pelaku tindak kejahatan dan kemaslahatan ummat.

Hikmah Hukum Potong Tangan

Lebih lanjut pengarang kitab Fiqh ‘Ala Madzhahib al-Arba’ah menyebutkan bahwa Rasulullah sungguh mencela seorang pencuri yang telah menukarkan tangannya yang berharga tinggi dengan barang yang berharga rendah dan hina. Sehingga, membuat sebagian kalangan memprotes hukum ini dan berkata, “Bagaimana bisa divonis hukum potong tangan yang harga nilainya dalam diyat seharga 500 dinar, sementara yang dicuri cuma seharga tiga dirham? Protes ini pun dijawab, "bahwa tangan apabila tidak mencuri harganya bernilai tinggi, lalu harganya menjadi turun lantaran sebab mencuri".

Syari’ (allah dan rasulnya) menjadikan nilai tangan seharga 500 dinar agar supaya dihormati dan tidak melakukan tindak kriminal atasnya, sementara pada saat mencuri harga nilainya menjadi turun seharga seperempat dinar dan dipotong tangannya dengan tujuan untuk meminimalisasi pencurian di muka bumi. Syari’ juga menunjukan sikap kebenciannya terhadap tindakan pencurian ini melalui pensyariatan hukum potong tangan.

Tidak berlebihan kiranya Allah mensyariatkan hukum potong tangan ini lantaran sejak awal mula hukum ini hadir dalam rangka mengakui budaya yang telah berlaku di masa jahiliyah. Sekaligus juga sebagai balasan terhadap jeleknya perbuatan mencuri dan pelajaran bagi yang lain.

‘Abdur Rahman bin Muhammad ‘Aud al-Jaziri menyebutkan bahwa hukum potong tangan diberlakukan lantaran fungsi dari tangan tetap tidak akan hilang sekalipun yang apabila dipotong akan kehilangan(الذكر) dipotong, berbeda halnya dengan penis fungsinya tatkala berzina. Syariat tentu tetap akan menjaga kemaslahatan manusia melalui maqasidus-syariah-nya.

Demikianlah hikmah dibalik ketentuan hukum potong tangan dalam Islam. Ada baiknya kita mengetahui proses pembentukan hukum Islam yang hadir menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan psikologi manusia sebagai objek penerima hukum. Meski hukum ini tidak berlaku di Negara Indonesia. Wallahua’lam.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya