Desa : Sebuah Ketidakteraturan Dalam Keteraturan

Menikah
Desa : Sebuah Ketidakteraturan Dalam Keteraturan 05/08/2025 177 view Budaya Pribadi

Negara ini terbentuk dari beribu - ribu desa yang terletak di pinggiran dan pedalaman. Masing - masing memiiki karakteristik dan ciri khas tersendiri. Tidak kurang dari 75.000 desa membentuk wilayah nusantara dengan berbagai keragaman yang muncul. Setiap desa memiliki kelebihan tersendiri dengan keanekaragamannya, yang membuat bangsa lain iri. Semua itu merupakan modal penting dalam pembangunan nasional.

Dalam hal penamaan desa misalnya, setiap daerah memiliki penamaan yang berbeda seperti di Jawa dengan sebutan Desa, Minangkabau dengan Nagari, Aceh dengan istilah Gampong atau Kampuang, di Bali dengan Banjar, di Palembang dengan Marga dan sebagainya. Penamaan perangkat desa juga banyak keragaman seperti carik, bayan, ulu-ulu, kamituwo, jogoboyo, modin dan sebagainya. Begitu juga dengan istilah penyebutan lainnya seperti kebiasaan gotong royong, tradisi, budaya maupun kearifan lokal lainnya.

Belum lagi dengan pemerintahan desa juga banyak memiliki keragaman baik dalam nomenklatur perangkat desa maupun musyawarah desanya. Keragaman juga terjadai pada aspek sosial kemasyarakatan desa, tradisi dan adat istiadat setiap desa memiliki corak dan karakteristik tersendiri. Semua itu menjadi penanda dan pembeda antara desa satu dengan lainnya di Indonesia.

Keberagaman dan perbedaan adalah suatu keniscayaan yang merupakan salah satu pembentuk negara ini. Keberagaman merupakan bentuk pola ketidakteraturan yang ada di Indonesia. Semua ada dan terjadi karena faktor alami, tumbuh dan berkembang karena adanya unsur tradisi dan kebiasaan yang menjelma menjadi sebuah lembaga sosial yang hidup di masyarakat.

Pola ketidakteraturan dan ketidakpastian pada suatu sistem yang ada seakan bersifat kekacauan (chaos). Hal ini berbeda dengan keteraturan yang identik dengan keseragaman, ketertiban dan penuh dengan sifat “ajeg”. Pola desa yang ada di Indonesia penuh dengan corak keragaman dan terkesan satu dengan yang lain berjalan tidak simetris (asymetris), namun semua berjalan beriringan tanpa ada singgungan serta harmonis adanya.

Sebuah pola ketidakteraturan yang ada di desa akan membentuk suatu keteraturan tersendiri secara alami. Hal tersebut selaras dengan teori chaos (ketidakteraturan) dari Charles Sampford (1989). Sistem hukum tidak selalu berjalan secara symetris, namun hubungan – hubungan dalam masyarakat bisa bersifat asymetris. Sifat asymetris timbul karena adanya keragaman dan perbedaan secara alami.

Ketidakteraturan dan keteraturan merupakan dua hal yang nampak terlihat berseberangan, namun akan saling melengkapi satu dengan yang lain. Hal ini dapat terjadi jika ada daya penarik keduanya jika terus berjalan dan akan menuju suatu keseimbangan. Sedangkan prinsip keseimbangan sangat penting dalam sebuah kehidupan.

Agar terjadi hubungan di masyarakat yang bersifat symetris maka di perlukan adanya pihak – pihak penarik sehingga terjadi balancing. Hal tersebut akan menimbulkan keteraturan yang ditandai dengan adanya pola baru yang bersifat teratur.

Daya penarik tersebut salah satunya dimiliki oleh pemerintah, melalui otoritasnya dalam membuat kebijakan terhadap desa – desa. Terbitnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan bentuk daya tarik bagi desa – desa. Dalam regulasi tersebut mengedepankan prinsip keseimbangan di dalamnya, hal tersebut ditandai dengan adanya asas rekognisi dan subsidiaritas. Melalui kedua asas penting tersebut, pemerintah memberikan pengakuan terhadap desa – desa serta memberikan kewenangan dalam mengatur urusan rumah tangga desa. Pada sisi lain pemerintah juga mengatur terkait pemerintahan maupun tupoksi masing-masing organ di dalamnya termasuk adanya regimentasi aturan yang ada.

Hal tersebut berbeda dengan regulasi terhadap desa pada masa orde baru melalui UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam regulasi tersebut pemerintah orde baru mengendalikan desa sepenuhnya sehingga terjadi penyeragaman (regimentasi) tanpa di imbangi pemberian hak dan kewenangan terhadap desa. Pada masa itu desa terkesan dijadikan sarana politik rezim penguasa guna melanggengkan kekuasaannya.

Adanya politisasi terhadap desa, membuat desa tidak mampu mengembangkan ke-khas-an nya yang berdampak desa hanya sebagai obyek pembangunan. Hak dan kewajiban tidak berjalan secara imbang sehingga menimbulkan tersendatnya laju pembangunan desa kala orde baru.

Nampaknya melalui UU No 6 Tahun 2014 pemerintah menginginkan terjadinya keselarasan dalam pembangunan dengan memberikan hak dan kewenangan terhadap desa namun tetap membingkai desa dengan regulasi. Hal tersebut membuat terjadinya sebuah keseimbangan (equilibrium) yang berdampak terjadinya harmonisasi dalam kehidupan di daerah pedesaan yang mencakup banyak aspek.

Oleh karenanya biarkan desa tumbuh dan berkembang sesuai ciri khas dan gayanya masing- masing yang merupakan suatu bentuk ketidakteraturan. Sejalannya waktu ketidakteraturan tersebut akan membentuk sebuah keteraturan menuju sebuah keseimbangan kehidupan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya