Ekonomi Kerakyatan: Fakta atau Impian?

Pasca dihadang oleh beberapa masalah panas (burning questions) seputar problem kebangsaan, kini ruang publik kita disesaki dengan satu tambahan persoalan lain yakni diPHK-nya ribuan karyawan disejumlah perusahaan.
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) adalah tindakan mengakhiri masa kerja dari seseorang atau sekelompok orang yang mengakibatkan putusnya relasi kerja antara seorang tuan dengan majikan atau antara pekerja dan pemilik modal. Temuan fakta terkait di PHKnya ribuan karyawan sebagaimana dilansir dari Redaksi The Columnist tanggal 21 Februari 2020 turut membunuh optimisme publik tentang impian menuju negara Indonesia mandiri berbasis industri 4,0 di tahun 2045.
Bisa dibayangkan bahwa dengan di PHK-nya 2.683 karyawan Krakatau Steel, 2.500 karyawan dari dua perusahaan di Batam, dan 2.000 pekerja di perusahaan Rokok Surabaya maka kondisi bangsa kita menelan sejumlah persoalan berat dalam waktu yang singkat. Aneka persoalan tersebut ialah mengerucutnya eskalasi angka pengangguran, hilangnya hak kerja dari seseorang hingga matinya kreativitas seseorang untuk mencari nafkah.
Dari persoalan tersebut, hemat saya terdapat dua alasan yang menjadi faktor meledaknya Pemutusan Hubungan Kerja ini. Pertama, bangkrutnya sebuah perusahaan. Kebangkrutan menjadi faktor utama penambah jumlah pengangguran. Logikanya demikian, ketika hak sistem operasional sebuah perusahaan terhenti maka konsekuensi logisnya membias pada hilangnya hak kerja dari para pekerja.
Kedua, keterkejutan akan disrupsi Ekonomi. Disrupsi sebagaimana konsep Clayton M. Christensen selalu mengacu pada respons kompetitif; disrupsi tidak berkaitan dengan teori pertumbuhan (Kasali, 2017: 90). Respons kompetitif yang dimaksud adalah kesanggupan untuk bersaing dengan model bisnis. Apabila sebuah perusahaan tidak sanggup untuk bersaing secara kompetitif maka kebangkrutan akan menjadi sesuatu yang niscaya terjadi. Itu berarti, faktor PHK dan tidaknya seorang pekerja sangat bergantung pada mentalitas dan daya gedor sebuah perusahaan dalam menjaga stamina bisnis agar tetap kompetitif.
Mengacu pada data, Indonesia saat ini merupakan negara ekonomi terbesar ke-15 di dunia dengan lebih dari 50 juta penduduknya menjadi konsumen aktif. Sejak 2017, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia telah menembus US$ 1triliun per tahun, menjadikan Indonesia masuk dalam grup trillion dollar club.
PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu/per tahun. Berdasarkan World Economic Outlook Database bulan April 2016, Indonesia berkontribusi sebesar 35% dari total PDB ASEAN (859,0 juta dolar AS) dengan penduduk yang mencapai 41% dari total populasi ASEAN (255 juta) (Bdk. Manuskrip Seminar Nasional Joni G. Plate pada Sabtu, 24 Januari 2019 di STFK Ledalero). Di samping itu, berita terakhir Badan Pusat Statistik menyebutkan, pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02 persen (Lih. Kompas 11 Februari 2020 hlm. 1).
Lanskap data ini mengindikasikan sebuah bukti bahwa sebenarnya kondisi ekonomi kita sudah berjalan agak membaik dan stabil dari waktu ke waktu. Itu berarti, negara sudah turut berpartisipasi aktif dalam menekan jumlah pengangguran dengan menyediakan sejumlah lapangan kerja.
Penyediaan lapangan kerja ini turut menekan angka pengangguran negara kita hingga 5,13 persen. Penekanan jumlah ini tentu dibarengi dengan sebuah motivasi untuk membangun manusia Indonesia menuju ke laju ekonomi yang mandiri, kompeten dan sanggup berkompetisi di laga ekonomi global.
Presiden Jokowi dalam sidang tahunan MPR-RI 16 Agustus 2018 membeberkan optimisme dan harapan dengan mengatakan: “membangun manusia Indonesia adalah investasi kita untuk menghadapi masa depan, dan melapangkan jalan menuju Indonesia maju. Kita siapkan manusia Indonesia menjadi manusia unggul sejak dalam kandungan sampai tumbuh mandiri, juga meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya”.
Optimisme Presiden Jokowi tentu menjadi optimisme kita bersama. Namun, dibalik optimisme ini menggantung sejumlah pertanyaan besar. Pertama, apa yang diperbuat oleh negara dengan di PHK nya ribuan karyawan disejumlah perusahaan tersebut di atas?
Kedua, Bagaimana dengan nasib para pekerja di tengah menumpuknya berbagai macam tuntutan serius masa kini? Ketiga, apakah yang bisa diperbuat oleh para pekerja sendiri berhadapan dengan persoalan ini? Gerombolan pertanyaan ini mengakar dalam satu pertanyaan besar “apakah negara kita sungguh berwajah ekonomi kerakyatan ataukah sebaliknya malah berwajah oportunis yang rentan mendepak kepentingan semua manusia dengan hanya bermimpi dan terus bermimpi?.
Sejumlah pertanyaan serius tersebut niscaya menjadi perhatian bersama. Artinya, tidak ada pihak yang bekerja sendirian dalam menata ekonomi suatu negara. Jika ingin menghadirkan ekonomi yang berwajah merakyat maka negara dan rakyat harus sama-sama bekerja menuntaskan optimisme dengan membangun sebuah kerja nyata.
Menanggapi persoalan ekonomi yang nyatanya semi merakyat ini, saya merekomendasikan dua solusi khusus. Pertama, Negara harus menjamin kelancaran bisnis sebuah perusahaan dengan terus mengawasi dan menentukan sistem operasional sebuah perusahaan. Dengan sistem pengawasan seperti ini maka otoritas pemerintah bisa mengetahui angka deflasi, lemah lesunya kondisi ekonomi sebuah perusahaan sehingga bisa lebih lanjut mengantisipasi lapangan kerja bagi sejumlah karyawan yang akan di PHK.
Kedua, ekonomi kerakyatan akan menjadi sungguh-sungguh berwajah apabila rakyat kreatif dalam membaca kondisi dan tantangan ekonomi global. Rakyat dituntut untuk mandiri dengan menciptakan lapangan kerja sendiri bermodalkan kreativitas yang ada dalam diri mereka sendiri. Proses pengembangan kreativitas ini tentu tidak bersifat sementara karenanya dibutuhkan kerja keras dan dorongan dari pihak pemerintah. Akhirnya, ekonomi kreatif ini memuncak pada keinginan semua rakyat untuk bekerja dengan tidak sepenuhnya bergantung pada kondisi negara.
Kondisi dasariah ekonomi kita tentu akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ke arah yang lebih baik sangat tergantung pada pengimbangan optimisme pemerintah dan rakyat dengan praktik hidup yang dijalani. Oleh karena itu, pembentukan ekonomi kerakyatan sejatinya bukan sebuah optimisme belaka tetapi sebuah dorongan yang kuat untuk membantu membebaskan rakyat dari desakan ekonomi yang jauh dari wajah ketidakaadilan.
Artikel Lainnya
-
171006/08/2020
-
129218/03/2020
-
32601/03/2025
-
152202/02/2022
-
Menyingkap Narasi Kesejahteraan Dibalik Rencana Pembangunan Pabrik Semen
153123/05/2020 -
Krisis Migrasi Spanyol: Tantangan dan Peluang
12004/07/2025