Ekonomi Hijau: Proses yang Merusak Lingkungan dan Kemunculan Eco-Capitalism

Ekonomi Hijau: Proses yang Merusak Lingkungan dan Kemunculan Eco-Capitalism 23/12/2023 396 view Ekonomi gencraft.com

Bumi yang kita tinggali saat ini telah mengalami kerusakan. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut salah satunya eksploitasi sumber daya tambang. Hal kerap kali dilakukan, terutama setelah berdirinya revolusi industri untuk memperoleh keuntungan. Pembuatan pabrik yang masif untuk mengelola sumber daya tambang mengakibatkan banyak perubahan terutama terhadap iklim dan berakibat pada adanya kenaikan suhu bumi dan permukaan laut secara ekstrim yang merupakan bagian dari krisis iklim.

Lalu untuk mengatasi krisis iklim dan masalah ekonomi, diinisiasikan gagasan ekonomi hijau. ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi yang memperhatikan berbagai aspek lingkungan dan keseimbangan ekosistem dengan tujuan memancarkan gas rumah kaca yang lebih sedikit dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Karena seperti yang diketahui bersama sumber daya yang berasal dari fosil tidak dapat diperbaharui. Atas dasar ini, ekonomi hijau kemudian menjadi agenda global, hal ini diketahui dengan adanya Sustainable Development Goals (SDGs) yang memuat ekonomi hijau di dalamnya. SDGs sendiri menargetkan pada tahun 2030 masyarakat sudah dapat menikmati hasil dari SDGs ini.

Memang inisiasi ekonomi hijau itu baik untuk keberlangsungan hidup manusia dan bumi yang kita tinggali saat ini, akan tetapi dalam pengerjaan menuju ekonomi hijau ini apakah benar ekonomi hijau sudah menerapkan keberlanjutan itu sendiri?. Pada kenyataannya hal ini bisa dikatakan belum memenuhi keberlanjutan dari ekonomi hijau. Misalnya, ambil contoh produksi mobil listrik yang digadang-gadangkan akan menggantikan mobil konvensional. Pembuatan baterai dari mobil listrik itu membutuhkan kobalt, nikel, dan mangan.

Penambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo (RDK) adalah yang terbesar, dengan 70% kobalt diproduksi untuk ekspor dan pemrosesan kendaraan listrik. Namun penambangan ini tidak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat, justru masyarakat merasa dirugikan akibat penambangan tersebut. Tenaga kerja yang dipekerjakan melampaui batas seharusnya, upah yang tidak memadai, dan fakta bahwa pertambangan adalah satu-satunya pekerjaan bagi masyarakat kecil menciptakan kesengsaraan karena kurangnya pilihan. Selain itu, penambangan tradisional juga menyebabkan masyarakat jatuh sakit karena paparan langsung terhadap kobalt.

Kemudian di Indonesia sendiri penambangan nikel yang berada di beberapa tempat seperti di Sulawesi Tengah, Halmahera, Maluku , dan Papua. Dengan tujuan yang sama yaitu untuk pembuatan baterai kendaraan listrik. pekerja-pekerja di sana mendapat perlakuan hampir mirip seperti kasus pekerja di RDK. Seperti kita ketahui bahwa paparan langsung dengan bahan-bahan tambang itu berbahaya, namun Alat Pelindung Diri (APD) semacam masker, setelan baju, dan sepatu standar pabrik tidak disediakan dan harus dibeli sendiri oleh para pekerja. Dan terdapat kesenjangan upah dari pekerja nikel lokal dengan pekerja luar meski jabatannya sama.

Baik di Republik Demokratik Kongo dan Indonesia mengalami dampak yang serius terhadap penambangan untuk kendaraan listrik. Sungai di daerah sekitar tercemar oleh zat-zat aktif dari tambang, padahal air itu sendiri merupakan elemen penting kehidupan masyarakat. Jika air itu terpaksa dipakai dampaknya akan sampai pada manusia kebanyakan dari itu akan menimbulkan penyakit. Selanjutnya, produksi nikel di Indonesia dengan konsesi lahan 900 hektar yang berada di dekat kawasan mangrove dan perkebunan akan mengeluarkan 83 juta ton karbon dioksida (CO2). Oleh karena itu, kendaraan listrik belum bisa dikatakan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan.

Dalam prosesnya menuju ekonomi hijau, ternyata upaya yang dilakukan tidak sehijau yang dikatakan. Bagaimana mau lingkungan yang berkelanjutan, kalau dalam prosesnya sudah dirusak terlebih dahulu. Ditambah penggunaan atau pembelian dari kendaraan listrik ini tidak dapat dicakup oleh orang-orang berpenghasilan rendah. Jadi sebenarnya apakah benar ekonomi hijau ini bisa dinikmati semua kalangan?

Dengan paparan di atas sangat sulit untuk mengatakan ya, karena kenyataannya masyarakat kecil hanya mendapatkan ampasnya saja dibanding hasil utuhnya. Hal yang dipaparkan ini merujuk pada istilah greenwashing.

Greenwashing merupakan praktik di mana suatu perusahaan atau organisasi menciptakan kesan palsu atau berlebihan mengenai upaya ramah lingkungan untuk meningkatkan citra mereka tanpa benar-benar berkomitmen terhadap keberlanjutan. Persis seperti apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan mobil listrik dalam kasus ini. Dari sini juga terbitlah istilah baru yaitu eco-capitalism.

Eco-capitalism mengacu pada pendekatan ekonomi di mana prinsip-prinsip kapitalisme digabungkan dengan pertimbangan lingkungan yang berkelanjutan. Di sini eco-capitalism mengatakan bahwa mereka akan berbisnis dengan memperhatikan kelangsungan alam yang lebih ramah lingkungan. Akan tetapi narasi ini hanyalah greenwashing semata. Pada kenyataan eco-capitalism dapat menggunakan istilah ‘keberlanjutan alam’ sebagai alat pemasaran dan strategi untuk meningkatkan penjualan. Bukan suatu kebijakan substantif untuk mengatasi isu lingkungan.

Secara tidak langsung ekonomi hijau ingin memberantas adanya kapitalisme. Karena dalam sistem kapitalisme sendiri, ekstraksi modal yang terus-menerus, khususnya modal dari alam, tidak sejalan dengan visi ekonomi hijau yang berkelanjutan. Namun kapitalisme tersebut tidak hilang melainkan berevolusi menjadi eco-capitalism.

Selain itu, perusahaan eco-capitalism seringkali menciptakan citra yang positif sehingga menyulitkan masyarakat untuk melihat dan mengkritik kebenaran. Dewasa ini, Kapitalisme menjadi lebih bersahabat dan tidak blak-blakan seperti dahulu kala. hal ini malah lebih memaksa kita untuk percaya dan bahkan terkesan tidak mempunyai pilihan lain selain setuju.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekonomi hijau belum sehijau daripada yang di inisiasikannya. dampak dari pertambangan nikel dan kobalt untuk kendaraan listrik merusak alam sekitar dan penambangan tersebut menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah yang besar yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Kaum marjinal yang menjadi buruh dari pertambangan tersebut seringkali hanya mendapat ampasnya dibandingkan dengan hasil utuhnya. Dan yang terakhir adalah munculnya kapitalisme model baru yaitu eco-capitalism.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya