Gaza dan Genosida

Di tengah meruyaknya perang di Gaza yang menghantam nalar dan kemanusiaan, kemampuan untuk tetap menjaga kesadaran, bahkan dalam beberapa hal adalah "kewarasan", menjadi penting ditegakkan. Hal demikian menjadi keniscayaan karena hingga kini kita disuguhkan pada realitas yang serbaberkebalikan disertai dukungan klaim kebenaran masing-masing.
Gempuran Israel ke Gaza dengan sokongan mesin perang tercanggih dan terganas telah meluluhlantakkan bangunan dan merenggut ribuan nyawa warga Palestina, termasuk di dalamnya fasilitas umum (rumah sakit) dan rumah ibadah (masjid dan gereja). Banyak sekolah di Gaza yang mengakhiri tahun pelajarannya lebih cepat karena gedungnya yang hancur dan siswanya habis dibantai Israel. Menurut laporan Global Coalition to Protect Education from Attack (GCPEA), hanya pada tahun 2014 saja sebanyak 2 universitas dan 148 sekolah di Gaza rata dengan tanah akibat serangan Israel, apalagi pada gempuran lebih sadistik Israel kini. Jelas, inilah upaya genosida Israel pada warga Palestina.
Menghancurkan Gaza saat ini sama halnya dengan melumat wilayah yang mencoba beringsut bangkit dari kehancuran serangan Israel tahun 2014 dengan berbagai kondisi penuh keprihatinan sebagai akibatnya. Sebelum terjadinya peperangan Hamas-Israel pada 7 Oktober, Gaza adalah salah satu wilayah dengan kepadatan paling tinggi di dunia dengan 5,9 ribu orang per satu kilometer persegi (The United Nations Office for the Coordination of the Humanitarian Affairs, 2023).
Blokade darat, laut, dan udara yang diterapkan Israel atas 2,2 juta penduduk Gaza sejak 16 tahun yang lalu merupakan penjara terbesar di dunia (Ilan Pappe dalam The Biggest Prison on Earth, A History of the Occupied Territories, 2016) yang di antaranya menyebabkan 44 persen pengangguran pada kuartal kedua 2022 dan kerawanan makanan di mana 55 persen warganya banyak yang menunda makan karena terbatasnya stok makanan. Fasilitas penddikan dan kesehatan juga masih memprihatinkan karena banyak di dalamnya masih rusak dan kekurangan sarana serta harus menangani problem kesehatan fisik dan mental serta psikologis warga (UN-OCHA, 2023).
Dalam kondisi demikian, serangan militer Israel dilakukan secara masif, tanpa tedeng aling-aling, dan mengabaikan seruan warga dunia. Untuk semua ulah dan tindakan brutal tersebut, negara-negara kuat di dunia tetap membela Israel tanpa syarat, memveto keputusan Dewan Keamanan PBB untuk menekan Israel, mengabaikan sepenuhnya Konvensi Geneva tentang Larangan Kejahatan Perang, bahkan mempersenjatai Israel untuk upaya bumi hangusnya atas Gaza dan tanah Palestina pada umumnya.
Bagaimana cara melihat semua paradoks dan kejanggalan ini? Salah satunya adalah dengan menemukan akar tindakan genosida tersebut. Hal ini menjadi urgen karena jika ingatan adalah bagian penting dari peradaban dan sejarah manusia, maka memori dan afirmasi tentang spirit genosida Israel terhadap bangsa Palestina patut diingat bersama.
Dasar pandangan zionistik salah satunya digagas oleh pendiri the World Zionist Organisation Theodor Herzl pada sekitar 1895. Namun begitu, secara masif dan terorganisirnya zionisme dalam konteks kelembagaan negara, Israel memulai semangat genosida pada 1948, saat negara Israel belum lama berdiri dan David Ben Gurion menjadi Perdana Menteri pertamanya.
Saat itu, Ben Gurion menyatakan bahwa kondisi yang efektif untuk menekan bangsa Palestina adalah dengan membuat situasi di mana warga Palestina yang tua dan muda mati serta yang tersisa akan lupa. Dalam relasi itu, David Ben Gurion sudah mengingatkan pada bangsa Arab dengan pengandaian yang begitu gamblang dan sarkastik. Ben Gurion, sebagaimana disitat Nahum Goldmann dalam buku The Jewish Paradox (1978), menyatakan bahwa seandainya dirinya adalah bangsa Arab, dia tidak akan pernah menerima perdamaian dengan Israel. Hal demikian dilandasi pada kenyataan bahwa bukan hanya Israel pada dasarnya telah merebut tanah sah bangsa Arab (Palestina, Sinai, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon Selatan) namun perbedaan agama. Palestina (pada bentang Judea hingga Samaria), dalam pandangan Gurion, adalah tanah yang dijanjikan Tuhan pada bangsa Israel.
Semangat ini mengawali langkah aneksasi dan penjajahan Israel atas Palestina, di samping menjadi langgam pernyataan pemimpin Isarael dalam politik genosida dan apartheid secara berkesinambungan. Koran ternama The Washington Post dan Sunday Times memuat pernyataan Golda Maeir (1969) bahwa tidak ada warga beridentitas Palestina. Pada 1982, Menahim Begin mengatakan warga Palestina adalah hewan buas berkaki dua, sebagaimana Ehud Barak menilai warga Palestina adalah buaya kelaparan yang tidak kenal kenyang (2000).
Dengan realitas demikian, maka upaya genosida dan apartheid pada bangsa Palestina bukan dimulai untuk membalas serangan spektakuler Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 atau saat embargo darat, laut, dan udara atas Gaza dimulai pada 2007 lampau.
Sejalan dengan itu, saat Google dan Benyamin Netanyahu menghilangkan Palestina dari peta Timur Tengah serta Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengatakan warga Palestina adalah manusia binatang, hal demikian bukanlah merupakan hal baru.
Dengan menilai warga Palestina sebagai manusia binatang atas serbuan ke Israel, Gallant sebenarnya juga sudah melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri. Dengan korban jiwa yang demikian banyak dan masih bertambah setiap saat pada warga Palestina dan kehancuran yang jelas jauh lebih besar daripada yang diderita Israel, maka manusia macam apakah Gallant dan warga Israel pendukung ide ini pada umumnya?
Peran Indonesia
Pemerintah Indonesia bergerak cepat dalam merespons kondisi kegentingan di Gaza. Selain mobilisasi berbagai bantuan kemanusiaan, Indonesia mengutuk keras tindakan Israel. Sikap keras Indonesia tertuang dalam Pembahasan Tingkat Tinggi Dewan Keamanan PBB tentang Situasi Timur Tengah Termasuk Masalah Palestina (24/10).
Dengan mengatakan tindakan Israel sebagai agresi yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented aggression) dan pendudukan illegal (illegal occupation), maka sesungguhnya Indonesia mendorong terbangunnya opsi dua negara yang diharapkan bisa saling menghormati kedaulatan masing-masing. Imbauan ini disertai perlunya tindakan segera untuk gencatan senjata, pengutamaan akses kemanusiaan ke Gaza, dan pendekatan kemanusiaan (bukan kepentingan politik) pada ranah Dewan Keamanan PBB.
Tentu saja, genjatan senjata bukanlah permen atau racun yang diberikan diam-diam. Sebagai permen, genjatan senjata dapat saja diartikan sebagai sarana untuk berhenti sejenak dan justru dipakai untuk memperkuat pasukan dan logistik militer agar dapat berperang lagi dengan lebih ganas. Genjatan senjata juga tidak dalam makna racun untuk menekan salah satu pihak agar segera mati pelan-pelan dengan segala batasan ketat, sementara pihak lainnya bebas dengan segala tindakan dan fasilitasnya.
Gencatan senjata dan penghentian serangan Israel juga bukan berupa kemenangan Hamas dan menghapus tindakan brutal mereka dalam menyerang warga sipil Israel pada 7 Oktober. Ia juga bukan merupakan kekalahan bagi Israel atas upayanya untuk menghabisi Hamas. Namun, lebih dari itu, genjatan senjata adalah penghormatan atas kemanusiaan pada kedua belah pihak dalam arti dan tindakan sesungguhnya.
Konflik Palestina dan Israel adalah narasi yang belum selesai hingga kini. Sayangnya, dari yang belum selesai itu terkait dengan klaim pembagian wilayah kekuasaan, status kenegaraan, dan sentimen keberagamaan di situs Jerusalem. Dari kondisi demikian lahirlah berbagai konflik berdarah yang terus berlangsung hingga kini.
Kesadaran dan "kewarasan" adalah titik penting untuk melihat dengan jernih bagaimana eskalasi masalah Palestina semenjak langkah Arthur Balfour, peristiwa Nakba, berbagai perkembangan penting dari dekade ke dekade tentang ketidakadilan, perampasan, pengungsian, dan penghinaan yang telah mewarnai kawasan Palestina hingga saat ini.
Artikel Lainnya
-
154713/07/2020
-
106225/12/2020
-
103221/01/2021
-
Pilkada 2020 dan Imajinasi Anti Korupsi
163415/03/2020 -
635801/12/2019
-
Atas Nama Kemanusiaan: Menguji Tanggung Jawab Moral Negara
285210/02/2020