Mengurai Fertilitas Remaja

PNS BKKBN
Mengurai Fertilitas Remaja 19/09/2019 1952 view Budaya

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 menunjukkan angka bahwa sebesar tujuh persen perempuan usia 15-19 tahun sudah menjadi ibu, dengan rincian sebanyak lima persen sudah melahirkan dan sebanyak dua persen sedang hamil anak pertama.

Dilihat dari karakteristik sosial demografi, potensi kejadian fertilitas remaja lebih besar untuk seorang perempuan yang tinggal di perdesaan, berpendidikan rendah serta miskin atau memiliki indek kuantil kekayaan terbawah.

Fertilitas remaja pada perempuan yang tinggal di perdesaan adalah sebesar sepuluh persen sementara yang tinggal di Perkotaan adalah sebesar lima persen. Adapun kejadian fertilitas remaja pada kelompok kekayaan kuintil terbawah adalah sebesar 13 persen dan pada kuintil kekayaan teratas adalah sebesar dua persen.

Terjadinya disparitas yang signifikan mengenai kejadian fertilitas remaja antara perempuan perdesaan, miskin dan berpendidikan rendah dengan perempuan kota, kaya dan berpendidikan tinggi disebabkan karena perbedaan informasi mengenai pentingnya kesehatan reproduksi dan tingkat kesadaran serta akses terhadap berbagai macam media mengenai kesehatan reproduksi serta dampak dari fertilitas remaja antara perempuan desa, miskin, berpendidikan rendah dengan perempuan kota kaya berpendidikkan tinggi berbeda.
 

Resiko Fertilitas Remaja

Terjadinya fertilitas remaja pada diri perempuan berusia kurang dari 20 tahun dapat merugikan dirinya sendiri, janin dan juga anaknya.

Resiko-resiko yang bisa terjadi pada fertiltas remaja ini antara lain adalah, pertama dari sisi kesehatan, fertilitas remaja beresiko pada bayi yang dilahirkan berpotensi untuk prematur, berat badan lahir rendah, keguguran dan juga terjadinya malnutrisi.

Prematur dan keguguran bisa terjadi karena kurang matangnya alat reproduksi dan juga belum siap rahim untuk proses kehamilan.

Malnutrisi terjadi karena seorang ibu yang usianya kurang dari 20 tahun masih dalam pertumbuhan, sehingga untuk dirinya sendiri masih memerlukan nutrisi untuk tumbuh, sementara disisi lain seorang ibu juga memenuhi kebutuhan nutrisi selama masa kehamilan untuk janin yang dikandunnya.

Resiko-resiko dari sisi kesehatan pada fertilitas remaja ini, bisa menigkatkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang seharusnya diturunkan.

Kedua, dari sisi psikologis, fertilitas remaja akan berdampak pada perilaku depresi, tidak percaya diri, isolasi dan bahkan agresif.

Ini diakibatkan oleh perasaan malu pada lingkungan karena masih kecil sudah hamil atau memiliki anak dan juga ketidaksiapan mental dan adaptasi pada ibu hamil terhadap lingkungan baru dan tanggung jawab yang baru. Remaja perempuan secara mental belum siap memiliki anak.

Ketiga, dari sisi ekonomi bisa kita lihat bahwa kebanyakan perempua yang mengalami fertilitas remaja kehidupannya belum mapan. Mereka belum mandiri secara ekonomi.

Persoalan kebutuhan ekonomi pada pasangan muda masih bergantung pada keluarga dan orang tua. Mereka belum seutuhnya mandiri namun masih perlu di topang keluarga.

Seorang ibu yang mengalami fertilitas remaja juga rentan terhadap drop out atau putus sekolah. Hal ini juga berdampak pada kehidupan remaja perempuan selanjutnya, ketika harus bersaing mencari pekerjaan. Karena persaingan semakin ketat sementara bekal pendidikan tak optimal yang diakibatkan oleh terjadinya fertilitas remaja, bisa jadi ini akan mengakibatkan yang bersangkutan menjadi pengangguran karena persaingan yang makin ketat.

Keempat, dari sisi kependudukan fertilitas remaja dalam jangka panjang juga berpotensi menyumbang terhadap laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Ini diakibatkan bahwa seorang perempuan yang sudah bereproduksi di usia kurang dari 20 tahun, masih memiliki rentang waktu reproduski yang panjang hingga usia sekitar 49 tahun.

Dengan masa reproduksi yang panjang maka berpotensi pada jumlah anak yang akan dilahirkan pada diri seorang perempuan.
 

Pendewasaan Usia Perkawinan

Untuk menurangi terjadinya angka fertilitas remaja ada beberapa langkah yang perlu dilakukkan antara lain adalah Pertama meningkatkan pengetahuan perempuan terutama perempuan usia di bawah 20 tahun tentang pentingnya Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).

Perempuan sebaiknya menikanh minimal ketika mereka berusia 21 tahun. Pendewasaan Usia Perkawinan ini penting untuk kesiapan berumah tangga bagi remaja agar benar-benar siap secara fisik, sosial, dan juga ekonomi.

Kedua, meningkatkan pengetahuan perempuan mengenai pentingnya kesehatan reproduski bagi remaja. Fertilitas pada remaja terutama pada perempuan usia di bawah 20 tahun akan merugikan pada diri remaja perempuan itu sendiri dan juga anak yang di kandungnya.

Organ-organ reproduksi remaja perempuan ketika menikah di usia kurang 20 tahun belum siap untuk menjalani dan mengalami proses reproduksi sehingga beresiko pada mortalitas dan morbiditas ibu dan anak.

Ketiga, Bagi perempuan usia di bawah 20 tahun namun sudah melakukan perkawinan ada baiknya dilakukan penundaan kehamilan atau memiliki anak. Ini untuk menghindari resiko dari fertilitas remaja terutama remaja perempuan usia di bawah 20 tahun. Penundaan kehamilan atau memiliki anak bagi pasangan remaja yang sudah menikah dengan ikut program Keluarga Berencana (KB)

 

 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya