Dusun Ungkalan; Sebuah Analisis dari Pedagogi Alam hingga Ecofeminism

Mahasiswa I Pegiat Literatur Gender dan Lingkungan
Dusun Ungkalan; Sebuah Analisis dari Pedagogi Alam hingga Ecofeminism 02/08/2025 119 view Budaya mediaindonesia.com

Melihat dampak pandemi Covid-19, tantangan perubahan iklim, dan terjadinya perang geopolitik global. mayoritas negara di dunia sedang menghadapi ketidakpastian politik sosial dan ekonomi. Tentu hal ini akan berdampak pada laju inflasi yang menyebabkan peningkatan ketegangan di bidang ekonomi, kenaikan harga pangan dan energi, serta efesiensi anggaran masyarakat. Untuk menetralisir ketidakstabilan dari kondisi tersebut sebagian negara di dunia termasuk Indonesia menjalankan strategi diplomasi politik ekonomi, salah satu yang ditekankan ialah pergerakan di sektor pangan.

Namun, efektitas yang digelontorkan pemerintah Indonesia saat ini hanya terbatas pada reformasi fiskal, pembangunan berkelanjutan, dan regulasi kebijakan. Sinergi optimalisasi yang dilakukan kurang menyasar aspek krusial masyarakat yakni kualitas hidup petani dan keberagaman pangan lokal. Ketika formulasi kebijakan tidak menyentuh aspek lokal maka regulasi bisa dikatakan hanya pindah tempat, bahkan memperkeruh keadaan bukan meminimalisir tekanan melainkan meningkatkan sumber daya yang terus di eksploitasi.

Di tengah krisis multidimensi tersebut, praktik kedaulatan pangan yang terdapat di Dusun Ungkalan hadir sebagai anomali yang menyejukkan sekaligus sebagai jawaban atas krisis sosio ekonomi kuktural. Terletak di lereng pegunungan kecil di kawasan timur Pulau Jawa, dusun ini menjelma menjadi sebuah oase ekologis dan kultural. Saat banyak wilayah pertanian berguguran akibat ekspansi pembangunan dan efesiensi angggaran yang mencekik ekonomi masyarakat. Ungkalan justru menguatkan akar tradisi ekologis dan memperkuat nilai-nilai hidup yang selaras dengan alam.

Merawat Kultur dari Pedagogi Alam

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pertanian merupakan praktek keberlangsungan hidup. Kesejahteraan negara diukur sistem pangan yang mampu berdiri secara mandiri, berkelanjutan, dan adil. Artinya, sistem tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan ekosistem, kesejahteraan petani, serta pelestarian budaya agraris.

Praktek pertanian di Ungkalan berbeda dengan kebanyakan sistem pertanian yang ada di berbagai daerah. Pengetahuan bertani menyesuaikan dengan keselarasan alam dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Disana, para petani sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia dalam pengelolaan pertanian, melainkan pupuk alami yang terbuat dari kompos dan limbah rumah tangga. Hal ini disinyalir agar tidak merusak ekosistem alam. Hasilnya pun lebih berkualitas dibandingkan dengan pertanian yang menggunakan pupuk kimia " Nasi dari pupuk kimia itu basinya lebih awal sedangkan nasi yang diolah dari pupuk alami bisa bertahan hingga dua hari " Ujar Ibu Faisol, warga setempat.

Dalam mengelola pupuk alami, biasanya para petani melakukannya dengan gotong royong, setiap warga dibentuk perkelompok untuk mengumpulkan dan membuat pupuk padat atau cair dari hasil kotoran ternak. Setelah proses fermentasi berhasil, pupuk tersebut dibagi rata sesama anggotanya. Rutinan ini dilakukan selama seminggu sekali. Buah dari kekompakan warga membuat sistem pertanian di Ungkalan menjadi lebih efektif dan berkelanjutan. Hal ini juga menjadi simbol penting bahwa pertanian tidak sekedar aktivitas dalam memenuhi lumbung pangan akak tetapi bagian dari kebudayaan dan identitas kolektif masyarakat setempat.

Selain itu, pengelolaan pertanian dilihat berdasarkan situasi iklim dan perilaku hewan. Artinya orientasi proses bercocok tanam bergantung pada konteks alam disekitar. Hal ini menunjukkan adanya relasi harmonis antara manusia dan alam karena praktik pertanian bagian dari cara hidup yang beretika terhadap bumi.

Mereka menyakini bahwa entitas alam merupakan kesalingan antar sistem, ketika salah satu sistem mengalami kerusakan maka sistem lainnya akan berdampak, untuk itu mereka sangat merawat dan mengawasi lingkungan sekitar. Menafsirkan dengan istilah pedagogi karena manusia sebagai makhluk episentrum dimuka bumi memiliki insentifitas dalam berpikir kritis. Mereka terdidik dari alam dan dikembalikan kepada alam. Praktik pertanian di Ungkalan menempatkan kesataraan sosial dan pembebasan sebagai tujuan masyarakat. " Pertanian di Ungkalan bisa dikatakan merdeka karena terbebas di jeratan perusahaan " Ucap pak Faisol.

Paulo Freire menegaskan bahwa merekalah (manusia) yang harus menjadi aktor pembebasan bagi diri mereka sendiri, sebab tidak ada yang lebih tahu terhadap getirnya dehumanisasi seperti halnya tidak ada yang lebih paham tentang pentingnya humanisasi kecuali kaum tertindas. Walaupun menurut sebagian masyarakat menganggap bahwa Ungkalan merupakan dusun yang letaknya terpencil, akan tetapi kesadaran masyarakat Ungkalan terkait pertanian dan lingkungan sangat ciamik. Mereka menyakini bahwa didalam diri manusia terkandung free will yang bisa menyokong manusia untuk melakukan perubahan tanpa menunggu uluran tangan pihak luar atau Kehendak Tuhan.

Disamping itu, elemen penting yang telah menjadi kepercayaan oleh masyarakat Ungkalan terkait pengelolaan pertanian ialah sifat legowo dan welas asih. Hal ini ditandai ketika praktek bertani yang dilakukan secara bersamaan atau gotong royong, namun ada salah seorang warga memiliki dendam dan serakah maka ladangnya akan membuahkan hasil yang tidak baik, bahkan bisa mengalami gagal panen. Hal ini menjadi semboyan penting bahwa kemurahan hati dan kerukunan masyarakat menjadi instrumen utama dalam mengabdi terhadap alam.

Perempuan dalam Ecofeminism

Perempuan memiliki peran vital dalam menjaga kelestarian lingkungan. Di kehidupan sehari hari keterlibatan perempuan menjadi segmen terpenting dalam aktivitas keberlangsungan hidup terutama dilingkup keluarga bahkan di komunitas adat. Oleh karena itu, ketika lingkungan rusak mereka adalah kelompok pertama yang terlebih dahulu merasakan dampak sekaligus pemilik insting yang kuat dalam memahami tanda tanda perubahan ekologis.

Namun, peran krusial tersebut sering kali tidak diakui dalam struktur kekuasaan dan sistem patriarki yang telah membudaya. Dibanyak kasus, perempuan selalu ditempatkan pada second people, sehingga perempuan adalah manusia yang paling rentan menjadi korban kekerasan berlapis. Dalam hal pengambilan kebijakan pangan perempuan jarang dilibatkan bahkan nyaris tidak pernah didengar suaranya. Padahal hak hak ini penting untuk menjamin keberlanjutan hidup masyarakat.

Ketika kebanyakan perempuan mendapatkan nirpengakuan, justru gambaran di masyarakat Ungkalan menawarkan perspektif yang berbeda. Disana perempuan juga ikut terjun dalam kerja dan olah pertanian. Bahkan dalam sebuah musyarawah desa dan pembuatan pupuk alami, perempuan terlibat aktif menjalankan praktek sesuai dengan kemampuan masing masing. "Setiap melakukan proses penanaman produk pertanian, termasuk saya dan semua warga disini selalu berembuk (musyawarah) bersama ibuk-ibuk juga" Ucap pak Faisal, warga setempat.

Hal ini mencerminkan bahwa perempuan merupakan manusia yang memiliki sifat kepedulian tinggi dalam menjaga keseimbangan alam. Tokoh ecofemimism Vandana Shiva menegaskan bahwa perempuan dan alam memiliki hubungan yang erat dan saling terkait, bukan hubungan dominasi. Tanpa pengakuan terhadap pengetahuan dan kontribusi mereka, upaya menjaga ketahanan pangan akan selalu pincang.

Penutup

Di tengah krisis ekologis dan gejolak geopolitik melanda dunia global, Dusun Ungkalan menghadirkan representasi alternatif dalam menghadapi tantangan tersebut. Masyarakat Ungkalan menunjukkan bahwa kedaulatan pangan dan kesalingan harmonis antar ekosistem dapat dibangun dari praktek-praktek lokal yang berakar dari nilai gotong royong dan penghormatan terhadap alam.

Melalui pendekatan pedagogi alam, warga Ungkalan menjadikan pertanian bukan sebagai sarana eksploitatif atau sekedar pemenuhan pangan, akan tetapi menjadi praktik kultural yang bersifat mendidik, membebaskan, dan menekan keselarasan alam. Selain itu pendekatan ekologis warga Ungkalan tak terlepas dari peran aktif seorang perempuan, karena mereka menyakini bahwa perempuan memiliki relasional yang penting terhadap alam.

Dusun Ungkalan menjadi bukti hidup bahwa perubahan tidak harus menunggu intervensi luar. Melalui kesadaran kolektif, kemandirian, dan semangat solidaritas, masyarakat dapat menciptakan sistem hidup yang adil, lestari, dan berkelanjutan. Dusun Ungkalan bukan sekedar miniatur ditengah krisis global, melainkan warisan budaya yang perlu dilestarikan dan diinternalisasikan kepada seluruh masyarakat. Dari Ungkalan menunjukkan bahwa kesempurnaan bukan lagi terukur dari materi yang serba ada melainkan kesalingan yang utuh antara jiwa, alam dan manusia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya