Idul Fitri dan Risalah Kegembiraan

Akademisi Psikologi
Idul Fitri dan Risalah Kegembiraan 23/05/2020 1345 view Agama Yalashof.com

Biar bagaimanapun, inilah Idul Fitri. Hari raya yang disambut suka cita meski dunia masih dirundung corona. Setelah sebulan berpuasa dengan konsep #DiRumahAJa, waktunya bagi umat muslim di seluruh dunia meluapkan kegembiraan. Meski tetap #DiRumahAja dan hanya bersama keluarga inti atau bahkan seorang diri.

Walaupun identik dengan kegembiraan, tetapi kita tidak bisa menutupi bahwa lebaran kali ini ada banyak keganjilan. Sebagai misal tidak ada sholat Idul Fitri berjamaah di masjid atau lapangan, padahal sholat Id adalah “gong” dari ibadah puasa yang telah kita jalani selama sebulan.

Apalagi sholat Idul Fitri hanya dilaksanakan sekali dalam setahun sehingga meskipun tidak wajib, umat muslim selalu berbondong-bondong untuk mengerjakannya. Rangkaian takbir yang kemudian dituntaskan dengan maaf-maafan antar jamaah menjadi momen ikonik yang dinantikan umat muslim seluruh dunia.

Akan tetapi, aktivitas itu pula yang kini sangat membahayakan. Salam-salaman antar jamaah di tengah kondisi pandemi seperti ini bisa menjadi media efektif pertukaran virus secara massal. Oleh sebab itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyampaikan sejak jauh hari agar warga melaksanakan sholat Idul Fitri di rumah masing-masing.

Getir memang, tapi kita harus bisa menepikan kegetiran itu demi kemaslahatan yang lebih besar. Dalam kondisi seperti ini, para ulama sepakat bahwa hifz al-nafs (menjaga jiwa) harus didahulukan. Karena tujuan dari setiap syariat (maqashid al-syariah) sejatinya untuk meraup kemaslahatan dan menghindari kemudharatan.

Selain ganjil karena tidak bisa melaksanakan sholat Idul Fitri berjamaah di masjid, lebaran juga terasa berbeda karena tidak ada kumpul keluarga besar. Padahal ini menjadi salah satu momen yang sangat dinanti anggota keluarga.

Apalagi bagi para perantau yang terbiasa mudik ke kampung halaman. Kumpul keluarga saat lebaran tak ubahnya musim panen. Ada rupa-rupa kebahagiaan yang dituai dalam perayaan tersebut. Bahagia bertemu orang-orang yang dicintai misalnya.

Patut diakui bahwa momen kumpul keluarga besar saat lebaran bagi perantau adalah momen recharge energi untuk bekal merantau selanjutnya. Meski biaya yang dikeluarkan untuk mudik tidak sedikit, tapi mereka rela menebusnya karena kebahagiaan yang dihasilkan sangat powerful. Tak bisa dibandingkan dengan materi yang dikeluarkan.

Di samping itu, tanah rantau adalah ladang yang subur bagi kerinduan. Orang bijak berkata tidak ada obat yang lebih mujarab bagi perindu selain pertemuan. Maka kumpul keluarga besar saat lebaran adalah kompensasi dari rindu-rindu yang mengendap selama berada di perantauan.

Mudik juga bisa bermakna perayaan identitas. Tanah rantau kadang melunturkan beberapa sisi dari identitas kita untuk kemudian disubstitusi dengan identitas yang baru. Hal ini wajar sebagai aplikasi dari nasihat orangtua “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Identitas yang luntur tersebut akan dengan sendirinya menebal lagi ketika berada di kampung halaman. Rumah, sawah, kebun, tetangga, kawan atau apapun yang memiliki nilai kenangan akan membantu mendeskripsikan (kembali) siapa diri kita. Inipun kebahagiaan. Maka sangat bisa dimaklumi jika sebagian orang merasa ada yang kurang karena tidak bisa mudik pada lebaran kali ini.

Tetapi biar bagaimanapun, inilah Idul Fitri. Meski tanpa mudik dan sholat Idul Fitri berjamaah di masjid, hari raya ini mesti tetap disambut gembira. Sang Pembawa Risalah shallallahu alaihi wasallam yang mewasiatkannya demikian. Bahkan kebahagiaan itu harus kita distribusikan ke rumah-rumah para dhuafa melalui syariat zakat fitrah.

Dalam kondisi pandemi seperti ini, kesulitan memang bukan milik dhuafa semata. Sejatinya sebagian besar kita menghadapi kesulitan yang semisal. Hilangnya pekerjaan, berkurangnya penghasilan atau terampasnya kebebasan adalah daftar kesulitan yang jamak kita hadapi belakangan ini.

Namun melalui syariat-Nya pula, kita diajarkan untuk senantiasa berbagi, dalam lapang dan sempitnya keadaan (Q.S Ali-Imran: 134). Bahkan ini dijadikan ciri taqwa, predikat yang menjadi tujuan kita berpuasa.

Idul Fitri 1441 Hijriyah menyimpan begitu banyak hikmah. Akan sangat mubazir jika hikmah ini berlalu begitu saja tanpa kita refleksikan. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita selama bulan Ramadhan yang lalu dan mempertemukan kita dengan Ramadhan yang akan datang.

Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya