Drama Asisten Rumah Tangga

Pegawai
Drama Asisten Rumah Tangga 21/09/2022 1610 view Budaya commomns.wikimedia.org

Asisten Rumah Tangga atau yang biasa disingkat ART tak dipungkiri memiliki peran penting dalam membantu menyeimbangkan keharmonisan di dalam mengurus rumah tangga. Kesibukan masing-masing anggota dalam keluarga sering kali menjadi penyebab terdapat satu atau dua hal yang lepas dari radar pantauan. Di sinilah peran ART menjadi tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka berharga dan punya tempat.

Ingin rasanya memiliki hanya satu ART yang setia mendampingi dalam susah maupun senang sedari awal anak lahir, bertumbuh, bahkan sampai menginjak dewasa. Sayangnya hal tersebut bukan sebuah keniscayaan. Gonta-ganti ART seperti sudah melekat dalam keluarga kami.

Tak sekali dua kali merasa, bisa jadi ada yang salah dengan cara kami “melayani” mereka. Atau mungkin kebiasaan di rumah memang tidak “seramah” kehidupan rumah tangga lainnya. Ah, entahlah. Kenyataannya mengambil pusing setiap hal yang terjadi tidak akan serta merta menyelesaikan masalah. Kami terus saja berjalan, ART berhenti, kami cari lagi. Begitu seterusnya.

Tentu saja mendapatkan ART tidak sesederhana yang diinginkan. Apalagi berharap mereka bisa sesempurna harapan kami. Itu hal kesekian yang bisa kami pikirkan. Yang penting mereka siap menerima kondisi pekerjaan yang kami tawarkan dengan tentu saja menyertakan jumlah cuan yang akan diperoleh apa bila memutuskan bekerja sama.

Beragam metode kami lakukan untuk menemukan ART. Mulai dari pencarian dari mulut ke mulut melalui tetangga maupun ART tetangga, hingga memanfaatkan media sosial yang diyakini merupakan sarana yang paling cepat. Akan tetapi kemudian, kami menyadari bahwa yang cepat belum tentu tepat.

Sebenarnya yang kami minta tidak muluk-muluk. ART bisa meng-handle pekerjaannya sekaligus mengurus anak-anak. Saya dan suami bekerja, sehingga peran ART tentu saja sangat membantu. Mulai dari memiliki satu ART, lalu dua karena anak kami pun bertambah. Pernah keduanya menginap, atau ada satu ART yang menginap dan lainnya pulang pergi. Semuanya pernah kami lewati.

Memiliki dua ART tidak serta merta akan membuat kehidupan adem ayem. Tentu saja lebih ringan ketika pekerjaan bisa dikerjakan tidak hanya oleh seorang ART. Tetapi ternyata kenyataan yang terjadi di lapangan tidak sesederhana itu. Menyatukan dua orang dalam satu tempat dengan pekerjaan yang sudah dibagi dengan jelas ternyata tidak lantas membuat konflik bisa ditiadakan. Tak sekali ART yang satu memutuskan berhenti sebab dengan alasan ART yang lain lebih mendominasi. Yang kalah akhirnya mundur, menyisakan dia lagi dan lagi yang sesungguhnya belum tentu lebih baik.

Gonta-ganti ART bukan pengalaman yang patut ditiru. Mengajarkan kembali panduan pekerjaan rumah tangga ke satu ART ke ART lainnya sungguh menguras tenaga. Anak-anak harus berulang kali melakukan penyesuaian.

Beragam alasan yang membuat kami akhirnya harus melepaskan para ART tersebut pergi. Ada yang lebih fokus merawat diri dari pada membantu kami, sampai bangun pagi pun harus saya yang turun tangan. Ada yang masih harus mondar-mandir di jam kerja disebabkan membantu suami. Pulang kampung tanpa kejelasan waktu kembali. Bahkan beberapa kali kami pun diberi harapan palsu dan ditinggali hutang yang jumlahnya lumayan.

Mencari yang cocok di hati tentu saja tetap menjadi harapan setiap kali mengiklankan lowongan ART untuk membantu kami. Tetapi dibalik itu, kejujuranlah yang paling diutamakan. Jangan sampai rasa iba ingin membantu malah disia-siakan dan menghasilkan kekecewaan. ART dan si pencari ART sesungguhnya sama-sama saling membutuhkan. Jadi sudah selayaknya saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Satu hal lagi yang perlu jadi perhatian ketika mencari ART, baik dengan menggunakan mulut ke mulut, melalui penyedia maupun platform media sosial adalah tetaplah waspada. Kita belum tahu pasti siapa sebenarnya mereka yang kita akan ajak bekerja sama. Jangan sampai rasa iba atau kebaikan hati kita malah menjadi bumerang. Kejahatan bisa terjadi di mana saja selama ada kesempatan.

Pernah suatu ketika kami tertipu oleh seseorang yang mengaku tertarik dengan lowongan kerja yang kami tawarkan. Sejumlah uang diminta untuk dikirimkan supaya oknum yang kami kenal dari platform media sosial tersebut bisa segera datang dan bekerja di rumah kami. Kenyataannya oknum yang ditunggu tersebut tak kunjung tiba. Bahkan sempat hendak menipu kami untuk kali kedua.

Tawaran ART dari penyalur pun tak serta merta akan membuat kami merasa tenang. Pernah suatu kali, ART yang kami sewa jasanya meninggalkan kami setelah menipun berkali-kali, meminjam uang dengan alasan ini dan itu dan bahkan berani berhutang dengan ART tetangga. Sungguh pembelajaran baru bagi kami kala itu.

Dari pengalaman memiliki ART berulang-ulang tersebut, kami menyadari bahwa kesempurnaan memang tak mungkin kami peroleh. Bahkan ketika kami mulai mengerucutkan prioritas dan lebih legowo menerima kekurangan, tidak akan serta merta membuat kami terlepas dari kata ditinggalkan.

Akan tetapi, satu hal yang kami pelajari adalah bahwa setiap kali pengalaman tidak menyenangkan itu terjadi, setiap anggota dalam keluarga akan menjadi lebih kuat dan lebih erat karena kami mau tidak mau harus berjuang bersama mengurus rumah tangga. Kedua orang tua harus tambah rekat supaya dapat menyelesaikan urusan rumah dan anak-anak pun diajarkan mandiri sehingga tak selalu harus bergantung kepada orang lain dalam mengurus urusan pribadinya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya