Mahasiswa Demonstran Bukan Penjahat!

Bagaimana demonstrasi mahasiswa kemarin? Situasi lapangan membuat saya bersimpati pada para mahasiswa. Bagi saya mahasiswa demonstran bukanlah penjahat. Mereka mewakili pendapat dari banyak orang yang merasa terusik dengan situasi politik. Mewakili suara saya, dan barangkali juga anda.
Semalam, sekitar jam 9 malam, saya bergegas pulang. Seperti biasanya, sepeda motor saya parkir di Palmerah. Alasannya sederhana. Demonstrasi hanya di depan Gedung DPR. Jadi diperkirakan dengan parkir di Palmerah saya dapat mudah pulang ke rumah. Terlebih tadi sore beberapa konvoi mahasiswa sudah pulang.
Dari Cikini saya memutar ke Tanah Abang, Kemanggisan dan Palmerah. Tentulah sambil berharap terhindar dari kemacetan.
Tapi betapa terkejutnya melihat situasi di Palmerah. Dugaan saya ternyata keliru. Kawan-kawan mahasiswa masih penuh sesak. Udara terasa perih, bahkan beberapa letupan gas air mata masih terdengar.
Lalu seorang demonstran bertanya, "bang, mau ke mana?"
"Ke Palmerah", balas saya.
"Jangan bang. Di depan susah jalan. Apalagi bawa motor. Muter aja bang. Itu di depan masih ditembakin gas air mata. Kita aja siap-siap mundur lagi.." Ia mencoba meyakinkan saya.
Tanpa pikir dua kali, saya menuruti saran itu. Saya berputar ke arah Kompas, mencari warung burjo. Setiba di sana, saya melihat sejumlah mahasiswa datang merapat ke warung yang sama. Muka mereka tampak terbalut lelah.
"Bagaimana keadaan? Dari mana?" Saya betul-betul ingin tahu situasi sekitar.
Seorang diantara mereka bilang dari Unpam. Sedangkan yang lain menjawab dari UIN. Mereka kemudian bercerita bahwa mahasiswa sudah hampir berhasil masuk ke lingkungan DPR dari pintu belakang. Hanya karena tembakan gas air matalah keputusan mundur diambil.
"... ini kami sudah evakuasi yang cewek biar pulang tapi yang lain berjaga. Motor masih di bakso Lapangan Tembak", terang mereka.
Pembicaraan dilanjut. Situasi ternyata sudah memanas sejak sore. Massa merusak pos polisi di depan Hotel Mulia. Entah siapa yang memulai dan terlibat merusak.
Bentrok juga tak terhindarkan di daerah Slipi. Namun satu hal yang mereka pikirkan waktu itu: sepeda motor. Terlebih seorang pejalan kaki dari arah Benhil menuju Palmerah cerita, motor bergelimpangan di jalanan.
Saya mencoba menenangkan kekhawatiran mereka. "Semoga tak apa-apa. Harusnya aparat itu tahu. Motor kalian dijaga. Kalau sampai dirusak, cari perkara namanya. Istirahat makan dulu broo..."
Mereka kemudian bercerita. "Kami demo karena nasib kita lima tahun terancam. Presiden bisa ganti lima tahun lagi tapi lima tahun kita terancam dengan UU sembrono". Saya mangut-mangut. Dalam hati saya berkata, syukurlah kalian masih berjuang.
Pembicaraan kemudian mengalir lepas. Para demonstran bercerita, massa berasal dari Jabodetabek dan luar daerah. Memenuhi daerah pintu Gelora Bung Karno, Semanggi, dan Slipi.
Satu hal yang menarik. Beberapa diantara mereka dengan amat sengaja meluangkan waktu untuk hadir dalam aksi ini. Si mahasiswa Unpam misalnya, ia harus berbagi waktu dengan kerja. "Saya tadi datang agak sore karena pagi hari kerja dulu. Kalau kemarin libur jadi dari pagi saya turun".
Pengalaman ini sungguh berkesan bagi saya. Bagaimana mahasiswa demonstran turun ke jalan demi memperjuangkan keadilan. Dan untuk itu mereka rela berkorban apa saja.
Saya berharap semua dalam keadaan baik. Besok kita bersihkan Jakarta. Kita jenguk mereka yang terluka. Kita bantu merek yang masih tertawan. Bagi saya, mereka semua adalah pemberani yang sedang berusaha mengingatkan seniornya.
Jika ada luapan emosi, ah itu wajar. Anak muda, dalam keadaan penat dan kerumunan massa. Tiga kombinasi situasi yang membuat ledakan emosi menjadi hal wajar. Tapi mereka sama sekali bukan teroris.
Sebaiknya aparat tidak memakai kekerasan. Ajak para demonstran berembuk. Dan jika perlu antarlah mereka pulang dengan armada aparat. Atau setidaknya kawal mereka konvoi pulang.
Jika hari ini mau demo lagi, jemput mereka agar tertib. Jaga, bagikan air, makanan, dan kebutuhan lainnya.
Mereka hanya cemas dengan kondisi bangsa. Bukan pengacau dan bukan pula penjahat. Mereka adalah manusia yang seharusnya menimba ilmu dengan tenang dengan sesekali 'yang-yangan'. Menikmati masa muda dengan senda gurau sambil belajar dan mengikuti beragam lomba. Tak perlu berpeluh keringat di jalan kalau pemimpin bangsa ini melakukan tugasnya dengan baik.
Tapi mereka memilih untuk ke jalan mewakili perasaan banyak orang yang hanya bisa protes lewat jari-jari, seperti saya ini.
Artikel Lainnya
-
179327/11/2021
-
440518/02/2020
-
764802/04/2022
-
Mewaspadai Pesan Post Truth di Media Sosial
33219/01/2024 -
75912/08/2023
-
Satukan Suara Netizen, Negara Memanggilmu
25830/04/2024