Diskursus Wajib Militer yang Bertentangan dengan Reformasi

Pengamat Senja
Diskursus Wajib Militer yang Bertentangan dengan Reformasi 23/08/2020 2379 view Opini Mingguan pixabay.com

Wacana militerisasi sebenarnya sudah mengemuka sejak lama, khususnya sejak rezim Suharto berkuasa. Segala sesuatu yang berkenaan dengan disiplin dan ketertiban selalu disandarkan pada norma-norma militer, salah satunya ialah kegiatan baris berbaris. Budaya militer juga turut melekat secara berangsur-angsur, bahwa yang disiplin adalah militer, yang tegas adalah militer. Kondisi ini akan kita jumpai pada pola asuh dan pendidikan anak di keluarga Indonesia secara keumuman.

Mengapa hal tersebut terjadi? Merujuk pada tulisan Tamrin Tomagola (2006) dalam “Republik Kapling” lebih khususnya pada bagian fasisme di Indonesia, ia menyatakan budaya militer eksis sejak era Jepang bercokol di Nusantara. Di mana sistem sosial dan militer dipadukan menjadi satu, hal ini terekam dalam teritorialisasi. Salah satunya adalah integrasi wilayah dalam satu komando hingga level RT dan RW.

Fakta lainnya ialah militer Indonesia secara basis merupakan hasil didikan dari fasisme Jepang, sampai pada level tentara nasional ide-ide militerisasi sipil terbawa. Konteks ini akan kita jumpai saat rezim Suharto berkuasa, yang mana segala sesuatu berkenaan dengan kehidupan sosial, pendidikan dan lainnya dimasukkan ide-ide militer.

Secara historis faktor tersebut menjadi salah satu yang turut mengeksiskan budaya militer pada kalangan sipil. Karena budaya dilahirkan dalam kerangka otoriterisme, memaksa, sehingga mau tidak mau kalangan sipil harus menerima hingga terbiasa dan menjadi sebuah standar tertentu dalam masyarakat.

Berangsur-angsur budaya militerisme perlahan terkikis dengan menguatnya kelompok pro demokrasi yang menguat sejak fase 90an awal. Para pegiat pro demokrasi perlahan menyebarkan gagasan anti militerisme dengan kampanya cabut dwi fungsi ABRI. Puncaknya ketika aksi demonstrasi besar memaksa Jendral Besar Suharto harus mundur dari tampuk kekuasaan tertinggi republik ini.

Fase-fase tersebut atau jamak disebut sebagai reformasi, merupakan fase di mana supremasi sipil kembali dikibarkan, tentu dengan harapan yang tinggi yakni musnahnya warisan Suharto, salah satunya ide-ide militerisme.

Kondisi tersebut diperkuat dengan tampilnya Habibie sebagai presiden, kemudian dilanjutkan oleh Gus Dur, yang kemudian secara heroik mencabut dwi fungsi ABRI. Tidak hanya itu saja, Gus Dur juga memisahkan intitusi polisi dari ABRI, serta melakukan bersih-bersih unsur militer dalam pemerintahan kala itu.

Selekas Gus Dur dilengserkan, perlahan tapi pasti, unsur militerisme mulai kembali menghiasi perpolitikan negeri dan semakin mencengkeramkan kukunya. Sebab merujuk pada catatan Vedi Hadiz dan Robinson (2004) dalam Reorganising Power in Indonesia, Suharto memang lengser, tetapi warisannya tetap ada dan eksis di era reformasi. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh sentral era Suharto dari kalangan militer seperti, Wiranto, Prabowo, SBY dan lainnya sebagai pejabat publik dan politisi yang berpengaruh.

Artinya mundurnya Suharto tidak serta merta mengikis orang-orang yang berada dalam lingkarannya. Mereka nyatanya muncul dan masih mengatur jalannya republik ini dengan aneka kebijakannya yang sangat militeristik bahkan menjurus ke fasistik.

Wajib Militer dan Diskursusnya

Kebijakan militeristik mengenai wajib militer sebenarnya sudah menjadi isu lama, saat SBY berkuasa ia pernah mewacanakan program bela negara yang secara substansi sama dengan wajib militer. Program bela negara selanjutnya sempat diwacanakan di era Jokowi dan beberapa kampus menerapkannya, namun bukan kewajiban.

Kini wacana bela negara dalam bingkai wajib militer kembali terulang dengan rencana pemerintah mengagendakan program wajib militer, terlebih isu yang santer berkembang akan menyasar mahasiswa yang baru masuk. Di mana Kemenhan dan Kemendikbud sedang bernegoisasi agar ada program wajib militer selama satu semester.

Program wajib militer ini digadang-gadang sebagai program preventif kala negara dalam situasi bahaya, membutuhkan banyak pahlawan untuk jadi martir di medan perang. Soal wacana penambahan pasukan juga mengemuka, kala Kemenhan membuka program Komando Pasukan Cadangan. Semua program-program ketahanan ini menyasar sipil.

Secara politik, program wajib militer memiliki banyak muatan kepentingan. Membaca beberapa negara yang menerapkan wajib militer, rata-rata memiliki latarbelakang yang berbeda-beda. Semisal Singapore, wajib militer sejatinya bagian dari national security sebab sumber daya manusia di sana terbatas, sehingga dalam rangka mengamankan negaranya dari ancaman, maka militerisasi sipil menjadi kebutuhan yang cukup penting dilakukan.

Namun negara tetangga yang muatan ide wajib militernya setipe yakni Myanmar dan Thailand, karena militer memiliki cengkeraman yang kuat di negara tersebut. Sama halnya dengan Indonesia kuasa militer dalam sosial-politik turut membawa ide ini, sebagai bagian dari menegaskan kuasa mereka atas struktur sosial-politik.

Selain itu dugaan adanya wajib militer ini merupakan bagian dari diciplinary power jika merujuk pada penjabaran Foucault (1975) dalam Dicipline and Punish. Pada konteks ini negara mencoba untuk menundukan warga negaranya, melalui serangkaian aturan dan pemaksaan untuk menciptakan apa yang dinamakan sebagai kepatuhan.

Merujuk kepada kepatuhan inilah yang menjadi diskursus menarik mengapa wajib militer menjadi salah satu yang didengungkan. Karena kepatuhan ini merupakan pra-syarat agar kekuasaan dapat dijalankan dengan mudah tanpa ada halangan. Maka, ide wajib militer bukan sekedar dalih untuk perang, tetapi bagian dari alibi untuk menegaskan kekuasaan.

Lalu Pentingkah Wajib Militer?

Wajib militer tidak dibutuhkan di Indonesia, karena jumlah tentara masih banyak. Kalau toh memang dibutuhkan, saat ini situasi tidak sedang genting atau ada wacana perang dunia ketiga. Apalagi program militerisasi melalui wajib militer di pendidikan tinggi tidak relevan, karena tidak ada korelasi bangsa yang hebat itu harus a la militer. Tetapi bangsa yang hebat itu ada karena ilmu pengetahuan, penemuannya dan memiliki kepekaan terhadap ekologi.

Daripada menawarkan program yang bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi, lebih baik pemerintah fokus untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional, dengan menempatkan minat dan bakat sebagai acuan. Pendidikan murah, bebas dari kerangkeng dan tentunya memperbanyak riset serta temuan, menjadi hal yang paling penting.

Lebih penting lagi, Indonesia sekarang sangat membutuhkan aksi wajib menjaga lingkungan dan pangan, karena ancaman yang lebih besar ada di sektor tersebut.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya