Agama dan Kesalehan Yang Salah Kaprah
Dalam konteks global, Indonesia dikenal sebagai salah satu dari sedikit negara yang menjunjung tinggi kemajemukan. Kondisi kemajemukan di Indonesia menjadi salah satu potensi yang membuat banyak negara memuji Indonesia.
Namun, akhir-akhir ini ada segelintir orang yang mengorganisasikan diri dalam sebuah kelompok radikal dan mencoba menggugat dan menolak kemajemukan di Indonesia. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dibantah yaitu keterlibatan kaum beragama yang mengakui diri saleh dalam upaya untuk menggiring pluralitas agama ke situasi berbahaya.
Mereka mengutuk fakta keberagaman kehidupan beragama dalam masyarakat dan menghendaki adanya homogenitas dalam kehidupan beragama. Menurut mereka, faktum keberlainan dianggap berbahaya karena mengganggu kenyamanan doktrin agama dan ritus-ritus keagamaan yang mereka hidupi.
Keberlainan ditolak habis-habisan dan muncul upaya yang militan untuk menciptakan keseragaman dalam kehidupan beragama.
Sampai di sini, tampak bahwa upaya yang demikian menjadi bukti nyata penodaan paling keji terhadap semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang digagaskan oleh para founding fathers negara kita.
Gus Dur pernah memberikan sebuah gagasan brilian yang tetap relevan sampai saat ini. Gagasan tersebut adalah “Tuhan tidak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil”.
Argumentasi tersebut ditujukan kepada pihak-pihak tertentu yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga karena sibuk membela Tuhan. Tuhan, demikian Gus Dur, tidak perlu dibela oleh manusia karena Dia sudah maha segalanya. Yang perlu dibela adalah manusia yang mengalami ketidakadilan dan penderitaan. Sekalipun demikian, aksi bela Tuhan sudah menjadi semacam budaya dalam masyarakat kita sehingga terus direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada tingkat yang paling destruktif, aksi bela Tuhan dijadikan sebagai alasan untuk menjustifikasi praktik dehumanisasi terhadap kaum beragama lain.
Orang saleh menjadi pihak yang merasa paling terpanggil untuk membela Tuhan. Mereka melihat Tuhan dengan segala perintah-Nya berada dalam keadaan bahaya. Mereka mengimajinasikan Tuhan sebagai seorang pribadi yang suara jeritan-Nya terus mengusik telinga mereka agar mereka lekas berbuat aksi-aksi nyata pembelaan terhadap Tuhan.
Kalau Tuhan dalam keadaan bahaya dan menyuarakan jeritan minta tolong, tentu ada penyebabnya. Pertanyaan fundamental yang mesti dijawab adalah siapa penyebabnya?
Orang saleh bertindak seperti polisi intel yang melacak keberadaan pihak-pihak yang membuat Tuhan menderita, menangkap, dan menghukum mereka.
Panggilan kepada kesalehan adalah panggilan semua orang beragama. Orang tentu harus saleh menurut agamanya dan bahkan dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, adalah sebuah kewajaran jika kesalehan itu diungkapkan secara publik sebagai metode pewartaan dan kesaksian iman.
Kesalehan bisa bergerak dalam dua ranah sekaligus yaitu ranah privat dan ranah publik. Namun, hemat saya, kesalehan yang ditunjukkan di ruang publik akhir-akhir ini sangat problematis.
Alih-alih menunjukkan kesalehan di ruang publik dengan argumentasi rasional sebagai metode pewartaan dan kesaksian iman. Mereka malah mengacaukan ruang publik karena menyertakan eksklusivisme, pelecehan terhadap praktik kebebasan orang lain, dan pengutukan terhadap keberlainan yang berujung pada intoleransi religius.
Orang-orang saleh macam ini mengklaim keberlainan (pihak yang beragama lain) sebagai penyebab penderitaan pada Tuhan. Kenyataan seperti ini dapat dibaca sebagai gerakan fundamentalisme agama yang salah kaprah.
Secara prinsipil, gerakan fundamentalisme sebenarnya dapat diterima dan mendapat legitimasi publik jika tidak disertai dengan gejala eksklusivisme dan praktik kekerasan.
Artinya, sejauh fundamentalisme agama muncul sebagai sebuah paham yang memegang teguh kemurnian ajaran, perintah-perintah Tuhan, dan kebenaran-kebenaran fundamental dalam suatu kelompok agama, kehadirannya dapat diterima sebagai sebuah fenomena positif.
Akan tetapi, persoalan krusial kemudian eksis tatkala beberapa gerakan fundamentalisme de facto bertendensi untuk melakukan interpretasi yang terlalu literal, dogmatik, sektarian, dan rigit terhadap doktrin atau ajaran-ajaran agama tertentu.
Dalam fundamentalisme agama, kita melihat adanya kesombongan keagamaan dan ketertutupan terhadap yang lain. “Yang lain” sering dianggap sebagai “yang salah” dan karena itu harus ditobatkan oleh orang-orang saleh dengan cara-cara yang biasanya bersifat represif seperti tindakan kekerasan.
Kesalehan kaum beragama mestinya dipahami sebagai pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan realitas yang tidak terbatas (absolut) ketimbang sebuah klaim kepemilikian pengetahuan final tentang ajaran-ajaran agama dan perintah-perintah Tuhan.
Sebagai makhluk yang terbatas, orang-orang saleh mesti sadar bahwa pencarian akan kebijaksanaan dan kebenaran adalah perjuangan seumur hidup.
Tidak ada seorang pun yang memiliki kebijaksanaan dan kebenaran secara absolut. Yang memiliki kebenaran final adalah perintah Tuhan dan pemahaman manusia terhadap perintah Tuhan tidak pernah final dan tidak pernah sempurna sehingga manusia mesti selalu membuka diri terhadap interpretasi dan dialog positif-konstruktif dengan sesama yang lain.
Kesalehan sebagai sebuah pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan realitas yang tidak terbatas (absolut) mesti berdampak pada pengaktualisasian sikap etis terhadap sesama manusia dalam rangka menjunjung tinggi kesetaraan.
Di Indonesia, kiranya para pemeluk agama yang saleh ditantang untuk menjadi lebih berbudaya dan respek terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini, sindiran dari Joko Pinurbo untuk para pemeluk agama yang saleh dan teguh menjadi bahan pelajaran penting.
“Dalam doaku yang khusyuk, Tuhan bertanya padaku, hamba-Nya yang serius ini: ‘Halo, kamu seorang pemeluk agama?’
‘Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan.’
‘Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, gak perlu kamu peluk-peluk. Sungguh kamu seorang pemeluk agama?’
‘Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan.’
‘Tapi Aku lihat kamu gak pernah memeluk. Kamu malah menghina, membakar, merusak, menjual agama. Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk. Sungguh kamu seorang pemeluk?’
‘Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan.’
Tuhan memelukku dan berkata ‘Pergilah dan wartakanlah pelukan-Ku. Agama sedang kedinginan dan kesepian. Dia merindukan pelukanmu.’
Ketika ia tersadar dari doa khusyuknya, dilihatnya Teguh si tukang bakso itu sedang dipeluk malam dan hujan di depan gardu.
Ting ting ting ... Seperti denting-denting doa yang merdu (Joko Pinurbo, 2017:38-39).
Kesalehan harus selalu diaplikasikan dalam perspektif multikulturalisme.
Pluralisme dan multikulturalisme memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Dalam kenyataannya, baik pluralisme maupun multikulturalisme sama-sama merujuk pada soal keanekaragaman.
Namun, perbedaan mendasar keduanya yaitu pluralisme hanya mengacu pada fakta antroplogis keanekaragaman dan perbedaan. Sementara multikulturalisme bergerak lebih jauh pada sikap etis yang berintikan penghargaan terhadap kebudayaan dan pandangan hidup yang berbeda-beda sambil terus mendorong dialog dan kerja sama yang produktif antara elemen-elemen yang berbeda dan beraneka ragam tersebut.
Multikulturalisme menjadi sangat penting sebagai upaya konsientisasi umat beragama agar mereka tidak boleh hanya berhenti pada pencapaian ko-eksistensi yang menekankan kesamaan hak agama-agama untuk bereksistensi, tetapi harus sampai pada pencapaian pro-eksistensi yang menekankan kebersamaan agama-agama meski mereka berbeda.
Multikulturalisme menjawabi kekurangan mendasar pluralisme yang hanya mengacu pada fakta antroplogis keanekaragaman atau perbedaan tanpa disertai penjelasan yang akurat tentang alasan mengapa perbedaan itu ada dan perbedaan itu mesti dihargai dan dirawat.
Salah satu penjelasan tentang alasan mengapa perbedaan itu mesti selalu eksis diberikan oleh prinsip otentisitas dalam multikulturalisme.
Charles Taylor, filsuf Kanada yang berbicara banyak tentang multikulturalisme, menjelaskan konsep otentisitas dalam hubungan dengan modalitas individu sesuai dengan kekhasan atau keasliannya. Otentisitas merupakan sebuah disposisi ketika individu jujur dengan diri sendiri dan berada secara khas sebagai seorang individu.
Konsekuensi logisnya adalah prinsip otentisitas melahirkan perbedaan di antara individu-individu dan budaya-budaya.
Menurut Taylor, otentisitas yang melahirkan perbedaan perlu memperoleh pengakuan sebab perealisasian diri seorang individu sangat bergantung pada pengakuan. Faktor pengakuan menjadi relevan untuk Taylor sebab refleksi diri hanya mungkin berjalan dalam interaksi dengan yang lain.
Konstruksi identitas tidak mungkin hanya berasal dari diri sendiri, tetapi membutuhkan komunikasi dialogal dengan yang lain. Jadi, pengakuan adalah sebuah keniscayaan dalam pencarian akan identitas yang otentik.
Artikel Lainnya
-
149512/05/2020
-
101019/05/2021
-
160816/06/2020
-
131103/01/2022
-
Catatan Redaksi: Karantina Setengah Hati?
129408/08/2020 -
E-commerce Indonesia, Raksasa Digital yang Menapaki Panggung Dunia
61620/07/2024