Di Balik Kemewahan Pemuka Agama, Ada Dompet Jamaah yang Terkuras?

Indonesia sedang berada di masa yang berat. Harga kebutuhan pokok makin mahal, pekerjaan sulit, dan kesehatan mental banyak orang juga semakin goyah. Masyarakat kecil berjuang keras hanya untuk sekadar bertahan, entah itu orang tua yang pusing membiayai sekolah anaknya, atau anak muda yang dipusingkan oleh sulitnya mencari kerja. Situasi ini membentuk lingkaran penuh tekanan, di mana sebagian besar rakyat terus dipaksa untuk kuat meski kenyataannya mereka sudah kelelahan.
Ironisnya, di tengah kondisi yang memprihatinkan itu, ada satu fenomena yang membuat orang semakin sinis. Para pemuka agama, yang seharusnya menjadi panutan dan penguat moral, justru sering terlihat hidup berkecukupan bahkan berlebihan. Mereka tinggal di rumah mewah, naik mobil mahal, gaya hidup mapan, tapi masih juga meminta donasi, infak, atau sedekah dari jamaah yang jelas-jelas hidup dalam kesusahan. Seolah-olah penderitaan jamaah adalah bahan bakar yang menghidupi kemewahan mereka.
Pertanyaannya sederhana: pantaskah orang yang sudah berlimpah meminta uang dari mereka yang kekurangan? Bukankah seharusnya posisi mereka yang lebih mapan itu dipakai untuk meringankan beban jamaah, bukan malah menambahnya? Di sinilah letak anomali besar yang bikin banyak orang mulai ragu, bahkan muak.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri, karena biasanya disertai dengan doktrin-doktrin yang diajarkan dari mimbar. Jamaah diminta untuk terus sabar, diminta ikhlas, diminta pasrah, dan tentu saja diminta banyak bersedekah. Katanya, kalau rezeki seret, kuncinya adalah perbanyak infak agar Allah membuka jalan. Secara teori, ajakan ini mungkin terdengar indah dan penuh harapan. Tapi kalau dilihat dari kenyataan sehari-hari, justru sering jadi beban baru. Yang miskin makin terbebani, sementara yang sudah mapan kian aman.
Bayangkan seorang buruh yang penghasilannya pas-pasan, masih harus menyisihkan uang untuk sedekah dengan keyakinan rezekinya akan bertambah. Padahal uang itu jelas lebih dibutuhkan untuk membeli kebutuhan pokok atau ongkos kerja. Bukankah ini seperti menyuruh orang yang sudah pincang untuk berlari lebih kencang dengan cara menambah beban di punggungnya?
Sementara itu, pemuka agama yang menyerukan doktrin ini jarang terlihat berbicara soal solusi yang lebih konkret. Mereka tidak banyak bicara soal perbaikan sistem ekonomi, akses pendidikan, atau dorongan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Yang lebih sering terdengar justru ajakan-ajakan pasif: bersabar, berdoa, dan tentu saja berdonasi. Padahal, tanpa langkah nyata, semua itu hanya mengalihkan rasa frustrasi rakyat tanpa benar-benar memberi jalan keluar.
Tak heran, banyak orang (terutama generasi muda), mulai melihat agama dengan kacamata skeptis. Mereka melihat ketidaksesuaian antara ajaran yang mulia dengan praktik sebagian pemuka agamanya. Agama yang mestinya menghadirkan keadilan sosial dan solidaritas justru terlihat lebih sibuk mengumpulkan donasi untuk menopang kemapanan pihak tertentu. Hasilnya, agama dipersepsikan sebagai beban, bukan penguat.
Di sinilah muncul krisis kepercayaan. Orang-orang sinis menyebut bahwa agama sedang dijadikan alat eksploitasi, bukan inspirasi. Bahwa pemuka agama tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai teladan spiritual, melainkan sudah bergeser menjadi elit yang menikmati kenyamanan dari jerih payah jamaah. Kritik semacam ini tentu terasa pedas, tapi bukankah sulit menampiknya kalau realitanya memang begitu?
Masalahnya, kritik seperti ini sering dianggap tabu. Begitu ada suara lantang yang mempertanyakan perilaku pemuka agama, langsung muncul tudingan: kurang iman, menentang ajaran, atau bahkan sesat. Padahal, yang dikritik bukan nilai-nilai agama itu sendiri, melainkan perilaku orang-orang yang kebetulan mengklaim diri sebagai penjaganya. Membungkam kritik justru membuat masalah makin parah, karena kepercayaan publik pelan-pelan akan terkikis habis.
Kalau kondisi ini terus dibiarkan, jurang antara pemuka agama dan jamaahnya akan makin lebar. Yang miskin akan merasa semakin ditinggalkan, sementara yang mapan semakin nyaman. Dan pada akhirnya, ketika jamaah mulai enggan percaya, siapa yang salah? Apakah jamaah yang dianggap kurang beriman, atau pemuka agama yang gagal memberi teladan?
Seharusnya, pemuka agama menggunakan posisi dan kelebihannya untuk benar-benar berpihak pada umat. Bukan dengan terus meminta, tapi dengan memberi. Bukan hanya dengan kata-kata indah tentang kesabaran, tapi juga dengan tindakan nyata yang mendorong keadilan. Kalau memang benar mengajak umat untuk bersedekah, tunjukkan teladan lebih dulu. Tunjukkan bagaimana kekayaan yang mereka miliki bisa jadi penopang kehidupan umat. Bukan hanya mempermanis mimbar, tapi juga nyata dalam aksi sosial.
Karena pada akhirnya, keadilan tidak lahir dari khutbah atau ceramah panjang, melainkan dari keberanian untuk menyeimbangkan beban hidup bersama. Dan kalau para pemuka agama tetap lebih sibuk menjaga kenyamanan pribadi daripada memperjuangkan kepentingan jamaah, wajar saja kalau muncul pertanyaan yang menohok: apakah di balik kemewahan mereka benar-benar ada berkah, atau sekadar dompet jamaah yang terkuras habis?
Artikel Lainnya
-
94129/10/2021
-
140218/07/2020
-
109708/11/2020
-
Stereotip, Kesetaraan, dan Kebebasan
140302/01/2022 -
Strategi Efektif Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam Mempromosikan Isu Lingkungan
35506/10/2024 -
Pilkada Serentak 2020 dalam Perangkap Oligarki
140225/01/2020