Seberapa Pentingkah Pendidikan Literasi Media di Indonesia?

Freelance, Penulis paruh waktu
Seberapa Pentingkah Pendidikan Literasi Media di Indonesia? 29/02/2020 1323 view Budaya pixabay.com

Tahun-tahun kemarin kita banyak mempersoalkan titik balik kebangkitan jurnalisme warga (citizen journalism) sebagai sebuah produk globalisasi—yang disinyalir menimbulkan keresahan dalam masyarakat media. Tanpa terikat oleh profesionalitas kerja dan kode etik jurnalistik yang tegas, cita-cita jurnalisme menjadi kabur, tak beraturan, dan paling naif: nirsubstansi. Tidak berlebihan jika ditambahkan beberapa persoalan, seperti penyebaran berita bohong, diskriminasi kelas, radikalisme, dan ujaran kebencian beranak-pianak di dalamnya.

Sekarang justru kita melihat keresahan masyarakat global terhadap kedigjayaan kapitalisme media. Media-media ternyata juga telah mempengaruhi gambaran peristiwa kehidupan sehingga menjadi sebentuk kepingan-kepingan, penggalan-penggalan yang tak beraturan, yang berserakan, alias fragmen-fragmen tak utuh kehidupan (Idi Subandy dan Bachruddin Ali, 2015). Atau dengan kata-kata Baudrillard, “di abad globalisasi informasi ini atau di dalam abad citraan ini, diri kita tak lebih dari fragmen ontologi media, ontologi citraan” (Baudrillard:1981).

Kapitalisme global yang dipresisikan lewat produk-produk digitalisasi turut mendiskreditkan nilai-nilai kehidupan kita. Tak ayal, kiblat teknologi komunikasi dan informasi yang amat canggih ini menciptakan semacam dunia kehidupan yang teregimentasi.

Dengan sekali klik, kita akan disuguhkan oleh banyak sekali informasi dari seluruh dunia. Baru beberapa detik kita menonton tayangan berita banjir dan tanah longsor, tak lama berselang disuguhkan lagi dengan berita sensasi para artis dan pejabat publik. Dari acara keagamaan, berpindah ke yang profan. Dari berita duka ke acara mukbang. Dari Lucinta Luna ke Harun Masiku. Figur-figur politik ditampilkan—lengkap dengan sederet janji kemaslahatan.

Tanpa tedeng aling-aling ontologi citraan tersebut dapat kita lihat dengan jelas lewat tayangan-tayangan iklan. Baru beberapa menit program acara ditayangkan, muncul iklan—dengan sensasi visual dan sensualisme figur, bunyi dan pencahayaan yang tak ada kaitannya dengan narasi. Kita menjumpai rimba nilai yang telah terfragmentasi dalam tayangan-tayangan tersebut.

Proses komunikasi pun berlangsung begitu cepat. Sehingga tak cukup ruang bagi kita untuk membenah diri, berefleksi dalam kesadaran kolektif, atau berkontemplasi sejenak. Kita lengah mengasosiasikan nilai-nilai sebuah peristiwa atau kejadian dengan pendekatan-pendekatan literatif-edukatif karena arus informasi yang tak terbendung.

Oleh karena itu, persoalan penting yang harus menjadi perhatian kita adalah kemampuan literasi media masyarakat. Dengan berangkat dari pernyataan Art Silverblatt, literasi media menekankan empat hal penting: kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial. Maka pendekatan literatif hanya akan mencapai cita-cita luhurnya apabila pendidikan telah menjadi fundasi yang kuat dalam masyarakat.

Lima Filter Propaganda Media

Pemikiran Chomsky—seorang sarjana linguistik berdarah Yahudi—sangatlah penting dalam kaitan dengan kajian ekonomi politik media terekam jelas dalam karyanya (bersama Edward S. Herman), berjudul Manufacturing Consent: The Political Economy of Mass Media. Dalam buku tersebut, mereka memperkenalkan apa yang mereka sebut sebagai ‘model propaganda’.

Herman dan Chomsky menyebut lima filter yang penting untuk memahami model propaganda media, yaitu; 1) ukuran, konsentrasi kepemilikan, kekayaan pemilik dan orientasi keuntungan dari firma-firma media terbesar; 2) iklan sebagai sumber utama pemasukan dari firma-firma media massa terbesar; 3) kepercayaan media terhadap informasi yang disediakan pemerintah, bisnis, dan ahli yang didanai dan diakui oleh sumber-sumber primer dan agen-agen kekuasaan ini; 4) flak atau penangkis sebagai sarana pendisiplin media; dan 5) antikomunisme sebagai semacam agama nasional mekanisme kontrol.

Pemikiran Chomsky ini memudahkan kita memahami kapitalisme dan konglomerasi media lewat jalan propaganda media. Analisis Chomsky menyediakan kita contoh bagaimana lingkar dalam (inner ring) media mengontrol berita (Idy Subandi, Komunikasi dan Komodifikasi, 2015).

Peristiwa-peristiwa layak berita (newsworthy) ditentukan oleh media yang dimiliki oleh korporasi-korporasi besar, maka tak heran apabila citra publik tentang realitas, didefinisikan oleh pihak yang kaya dan kuat. Oleh sebab itu, media menciptakan hiperealitas, seperti kata Baudrillard—ketidakmampuan kesadaran manusia membedakan yang nyata dan fantasi, sehingga kebenaran, kebohongan, asli, dan palsu sangat sulit dibedakan.

Pendidikan Literasi Media

Terhadap persoalan yang dijabarkan sebelumnya kita sedikit perlu menghela nafas dan merasakan angin segar melalui Program Merdeka Belajar ala Pak Nadiem—yang salah satu pilarnya menekankan kemampuan peserta didik pada Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Menteri Nadiem menekankan pentingnya aktivitas bernalar bagi peserta didik menggunakan metode kunci dalam belajar: literasi dan numerasi—kemudian didukung oleh penguatan karakter.

Bernalar merupakan proses yang cermat dan menyeluruh dalam mempertimbangkan segala segi guna memecahkan masalah. Untuk memahami persoalan atau peristiwa secara kritis, nalar harus dilibatkan karena, seperti yang kita lihat, nalar secara khusus mengutamakan pengamatan (observation).

Dengan bernalar kita menyimpulkan beragam peristiwa berdasarkan kriteria-kriteria tertentu—rasional atau irasional—valid atau tidak valid.

Bernalar menggunakan bahasa pada hakikatnya sama pentingnya dengan bernalar menggunakan angka. Bahasa memberikan paparan logis (logical construct) untuk mendedah persoalan-persoalan berdasarkan penarikan kesimpulan secara deduksi ataupun induksi. Artinya, kemampuan literasi seseorang terukur apabila ia memahami koherensi—serta hubungan kausal—antara premis-premis yang dibangun.

Sementara numerasi melakukan pemberian terhadap simbol-simbol matematis untuk menyajikan validitas atas data-data. Melalui presisi dan penghitungan yang cermat, data-data tersebut tersampaikan dalam penarikan suatu kesimpulan.

Dalam sajian berita atau tayangan media, misalnya; suatu pemberitaan ditarik kesimpulannya berdasarkan kepingan-kepingan atau segmen-segmen cerita yang dirunut dengan utuh. Bagaimana suatu peristiwa bisa saling berhubungan? Apa hubungannya? Apakah cerita pertama mempengaruhi cerita kedua?

Seorang selebriti transpuan ditangkap polisi karena kepemilikan obat-obat terlarang. Kemudian dalam tayangan selanjutnya diceritakan tentang sederet konflik selama masa karirnya. Dan dibubuhi isu-isu sentimen terkait transgender. Bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut bisa saling berhubungan? Apa hubungannya? Apakah semuanya saling memengaruhi? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini merupakan logical construct untuk menemukan rimba nilai atas kelayakan suatu berita (newsworthy) atau informasi.

Berita atau produk jurnalisme yang layak bukan soal tabiat kepenulisan yang taat asas—melainkan nilai-nilai yang ada di baliknya—apakah berdaya nilai atau sekadar menimba rating dan clickbait.

Terhadap penilaian yang lain, penguatan karakter sangat penting. Pendidikan literasi media erat kaitannya dengan pendidikan karakter.

Banyak orang memanfaatkan media untuk menunjukkan hal-hal yang meringankan—kemiskinan, kemelut keluarga, fanatisme agama, atau ideologi politik yang radikal. Soal itu, pendidikan karakter menjadi acuan kuat untuk menumbuh-kembangkan kesadaran kolektif dan aksi sosial terhadap isu-isu krusial yang diberitakan media. Pendidikan karakter memainkan peranan begitu penting dalam perkembangan nilai-nilai etik dan keterampilan sosial masyarakat.

Selaras dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan literasi media harus menjadi gerakan nasional. Ini bisa dimulai dari lingkungan sekolah sebagai tempat bertumbuhnya nilai-nilai kritis masyarakat.

Tak luput juga peran penting keluarga sebagai unit sosialisasi terkecil, komunikasi keluarga harus ditumbuh-kembangkan guna meningkatkan awareness media literasi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya