Makna Ideologis Habib Rizieq dalam Tinjauan Historis Indonesia

Mahasiswa
Makna Ideologis Habib Rizieq dalam Tinjauan Historis Indonesia 20/11/2020 978 view Budaya hops.id

Setelah melakoni hari-hari pengasingan di Arab Saudi, tepat pada 10 November 2020 kehadiran sang Habib Rizieq Shihab bersama keluarga di Jakarta, sangat dielu-elukan oleh pengikutnya.

Bandara Soekarno-Hatta sebagai titik kedatangan Habib sekeluarga seketika banjir lautan manusia sembari menantikan kedatangan beliau. Di markas besar Front Pembela Islam (FPI), massa pendukung melantunkan zikir dan shalawat sembari menantikan kedatangan beliau. Mereka juga menggunakan artibut kopiah dan baju koko putih yang mencirikan sebagai pengikut Habib.

Kedatangan Habib Rizieq Shihab (selanjutnya disingkat HRS) memberikan pengaruh besar terhadap tatanan politik Indonesia.

Bagi pengikut, kehadiran HRS dicitrakan sebagai ‘sang juru selamat’ yang hendak menegakkan keadilan dan memerangi kezaliman. Bahkan, kehadiran HRS menimbulkan polemik di antara kalangan politikus Indonesia. Mengutip pernyataan Ayomi Amindoni dikutip dari bbc.com (9/11/2020), dokumen imigrasi HRS menjadi bahan perdebatan.

Menkopulhukam Mafhud MD menjelaskan bahwa Rizieq melanggar ketentuan imigrasi atau overstay di Arab Saudi, sehingga ia harus membayar denda. Sementara Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra menyanggah ujaran Mahfud MD bahwa pemerintah cuek terhadap kedatangan HRS dan membandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap Reynhard Sinaga, sang predator seks. Dengan demikian, semua fitnah yang menjerat HRS sirna seketika.

Selain itu, publik menggambarkan figur ketokohan HRS sebagai sang “juru selamat” yang berupaya membersihkan kezaliman yang diperbuat oleh rezim Jokowi itu sendiri. Hal ini menarik sekali untuk menyaksikan kontestasi politik Indonesia antara kaum sekuler dan agama. Mengutip pernyataan pikiranrakyat-cirebon.com (12/11/2020), HRS menggagas satu konsep yaitu ‘Revolusi Akhlak.’ Inti dari Revolusi Akhlak ialah soal keadilan dan kepastian hukum. HRS mengingatkan pada pemerintah agar tidak sepatutnya tebang pilih dalam menegakkan keadilan. Bahkan HRS memberikan jaminan bahwa kalau pemerintah mampu bersikap adil, maka mereka siap tunduk kepada rezim yang berkuasa.

Figur HRS dalam Tinjauan Historis Indonesia

Fenomena mesianisme dalam dinamika politk Indonesia, yang ditandai kedatangan HRS bukanlah hal yang baru. Saat kaum terjajah dilanda sindrom inferioritas karena tidak memiliki daya/kekuatan untuk melawan kaum yang superior, maka gagasan “juru selamat” tercipta dan menjadi suatu modal impian yang menjadi nyata dengan jalan perjuangan. Semakin lama terjajah, semakin kuat gagasan “juru selamat” yang tertanam dalam pikiran mereka yang terjajah.

Mesianisme merupakan suatu paham yang menantikan akan kedatangan sang “juru selamat” yang diharapkan menumpas semua kezaliman dan menegakkan keadilan di muka bumi. Konsep mesianisme sangat diyakini oleh pengikut agama samawi, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.

Secara historis, gagasan mesinisme sudah berusia 3000 tahun ketika bangsa Yahudi senantiasa menjadi bulan-bulanan dengan bangsa lain yang superior. Sampai akhirnya, Nabi Musa menjadi juru selamat bagi bangsa Yahudi yang berhasil menenggelamkan kesombongan Fir’aun. Pelajaran yang bisa ditarik ialah setiap situasi yang sulit, pasti melahirkan sosok pemimpin yang hebat.

Secara perspektif psikologis dan sosiologis, doktrin mesianisme lahir karena ketidakberdayaan suatu bangsa melawan bangsa-bangsa lain yang superior. Rasa keputusasaan, penindasan, dan diskriminasi mewarnai kondisi bangsa yang terjajah. Dalam situasi seperti ini, mereka yakin bahwa muncul suatu harapan akan kemunculan “juru selamat” yang mengubah keadaan saat ini dan yang akan datang. Mereka menyadari untuk menyambut kedatangan “juru selamat” tidak mungkin berpangku tangan, tetapi harus diperjuangkan.

Ideologi mesianisme di Indonesia sudah eksis sejak periode kolonial Belanda. Kenestapaan rakyat Indonesia akibat kolonialisme Belanda, memicu berkembangnya mesianisme. Salah satu bukti aktifnya doktrin mesianisme terlihat pada peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang terdapat pada disertasi Sartono Kartodirjo, yang berjudul “Pemberontakan Petani Banten 1888”.

Menurut Savran Billah, peresensi buku “Pemberontakan Petani Banten 1888”, studi ini memberikan tiga poin penting. Pertama, perubahan sudut pandang historiografi Belanda-sentris menjadi Indonesia-sentris ; orang Indonesia menjadi pelaku aktif sejarah Indonesia yang menggantikan posisi Belanda.

Kedua, peristiwa pemberontakan petani Banten tidak terlepas dari mitos kedatangan Imam Mahdi setelah mengalami masa-masa sulit. Ketiga, buku ini menggunakan pendekatan multidimensional untuk menggali sejarah sosial Indonesia secara detail.

Keruntuhan Khalifah Utsmaniyyah pada 3 Maret 1924 menyebabkan solidaritas umat Islam terpecah belah. Akibatnya, mereka saling berperang dan hidup terjajah secara politik, ekonomi, dan ideologi.

Selain itu, muncul rezim diktator pada setiap negeri kaum muslimin turut memperparah keadaan. Hingga akhirnya, mereka meyakini bahwa kemunculan “Imam Mahdi” pasti terjadi. Untuk mempersiapkan kedatangan “Imam Mahdi” yang dijanjikan, mereka harus berjuang penuh daripada menunggu sesuatu tanpa kepastian. Pada akhirnya mereka memilih islah dari perselisihan dan menggalang solidaritas untuk memecahkan masalah bersama.

Dalam konteks pasca Reformasi, kehadiran HRS berpotensi menjadi simbol gerakan ratu adil bagi umat Islam di Indonesia. Setidaknya ada dua argumen kuat yang menjelaskan hal tersebut. Pertama, figur kepemimpinan HRS menyimpan sifat kharismatik dan berpikir visioner mampu mensugesti persepsi massa agar bersama-sama melepaskan diri dari ketidakadilan. Sosok yang berkharisma dan visioner akan sangat mudah meraih simpati dan dukungan untuk menggalang kekuatan baru. Bahkan pada tahap ekstrim, banyak pengikut mengkultuskan sang pemimpin karena fanatisme buta yang mereka tanam.

Kedua, semakin maraknya kezaliman yang terjadi di Indonesia. Kemiskinan, kriminalitas, korupsi, dan sejumlah masalah sosial lainnya sudah menjadi berita umum yang didengar dan diamati oleh publik. Meskipun Indonesia telah merdeka dari cengkraman kolonialisme Barat, namun secara mentalitas kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Artinya, proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya menjadi titik awal untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya