Catatan Redaksi: Halo... Om Joker, Apa Kabar?

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Halo... Om Joker, Apa Kabar? 24/07/2020 1610 view Catatan Redaksi Wikimedia.org

Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Yuli Isnadi menceritakan perbincangan imajiner-nya dengan tersangka korupsi Djoko Tjandra. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.

Selamat membaca!

Mata saya menyapu pemandangan indah di seberang kaca bening yang lebar. Gedung kembar Petronas, beberapa gedung pencakar langit berkaki gedung mungil dan mobil-mobil yang beriringan. Di sebelah sana dan sananya, laut membentang diselimuti mentari senja.

Lantai 105, Gedung Exchange 106 Tun Razak. Saya sedang berjumpa Djoko Tjandra, Joker. Setelah ia berhasil mengaduk emosi rakyat dan aparat Indonesia. 

Begitu khayalan saya kali ini. Sebuah percakapan ilusif di alam nyata. Tapi nyata di alam khayal.

"Gara-gara anda..", buka saya. "..tiga jendral polisi dibebastugaskan. Profesi pengacara dikritisi orang.." Sambil nyruput teh tarik Malaysia.

"Haha..haha.. Lalu di mana letak salahnya saya?". 

Saya menatapnya termangu. Buronan kakap korupsi, melarikan diri ke negara orang, dikabarkan berganti kewarganegaraan, lalu masuk mengendap-ngendap ke Indonesia, membuat E-KTP, dan mendaftarkan kasusnya pula ke pengadilan. Dan sekarang ia bertanya salahnya apa. 

Ia tampak paham raut muka saya. Ada seribu satu protes yang siap dihantamkan.

"Sebentar dik. Sebentar. Jangan emosi dulu. Orang-orang seperti anda ini memang karakternya begitu. Lugu. Emosian."

Meski perbincangan mulai menegang, apalagi saya dikatakan lugu dan emosian, meski sebetulnya sedikit demikian. Tapi gedungnya ini memang luar biasa indahnya. Tertinggi di Malaysia, marmernya aduhai...jaringan wifinya secepat kilat, dan wanginya pas tidak berlebihan.

"Kasus saya itu sebetulnya seberapalah. Dan apa yang saya lakukan kemarin juga apalah-apalah." Kali ini ia tampak serius.

Sejurus kemudian Joker bercerita. Uang yang dikorupsinya, yang 500 miliaran itu sudah dikembalikan ke negara. Tepatnya disita negara. Hukuman yang belum dijalaninya hanyalah kurungan badan saja. Jadi kalau dia dipenjara, maka Indonesia justru rugi. Karena harus memberi makan koruptor selama dua tahun.

"Jadi kalaupun ada yang merasa malu dan murka, itu bukan rakyat Indonesia. Tapi pemerintah yang ketahuan rakyat kalau beberapa dari mereka main mata dengan buronan korupsi seperti saya", sambungnya.

"Ya tapi kira-kira dong..om. Masak interpol, imigrasi, kelurahan, kepolisian anda nakali semua."

"Oh ya, silahkan.. ini ada nasi lemak. Saya tahu kamu orang melayu, suka sangatlah dengan nasi lemak."

Saya lihat hidangannya, 'iya pula...', ucap saya dalam hati. Nasi lemak dengan taburan teri dan kacang tanah. Lengkap dengan potongan rendang. Dari baunya saja, bisa dipastikan itu lezat. Jangan pernah meragukan reputasi hidung saya soal mengendus kualitas rendang.

Tapi gak bisa begitu. Saya rakyat Indonesia. Merasa dipermalukan oleh kelakuan orang ini. Menerima hidangan lezat itu sama artinya dengan menyumpal mulut saya untuk kritis. Harga diri saya diinjak-injak.

Lalu saya bilang, "terima kasih om. Kalau bisa, rendangnya ditambah sedikit lagi. Sudah lama tak makan nasi lemak dan rendang". Ia tersenyum dan memerintahkan asistennya untuk melayani permintaan saya.

"Jadi begini dik. Apa iya koruptor yang menakali oknum aparat cuma terjadi kali ini saja. Mas Edy.., ehmm...maksud saya Eddy Tansil. Itu lebih nakal lagi." 

Saya menyimak. Ini argumennya. Akan saya periksa dengan hati-hati. Sambil menarik dua tisu, menghapus minyak rendang yang belepotan ke pipi kiri saya. Perpaduan rendang dan ikan teri dari dulu tak ada duanya. Bisa membuat lupa urusan dunia.

"Saya sehari sebelum dipenjara, lari. Mas Edy, sudah di penjara malah bisa lari... Mas Edy, setelah lari, uang korupsiannya malah investasi di China. Saya, meski sudah lari, saya tetap investasi di Indonesia. Banyak itu perusahaan saya. Dada saya merah putih, dik..", sambil tersenyum. 

Entah mengapa, senyumnya itu begitu khas. Sepertinya saya sering lihat di pantat-pantat truk penggali pasir yang hilir mudik di Pantura.

"Ya..ya..ya.. itu benar. Tapi cara memahaminya tidak begitu. Apa yang anda lakukan, mengendap-endap masuk ke Indonesia, membuat rakyat merasa dikerjai."

"Saya gak ngerjai rakyat Indonesia. Saya masuk juga gak mengendap-endap. Resmi. Surat-suratnya lengkap semua. Kalaupun ada rakyat Indonesia merasa dikerjai, itu bukan oleh saya."

Aneh betul, pikir saya. Sebenderang itu kesalahannya, tapi gak merasa salah.

"Tuh lihat, siapa yang mengerjai rakyat Indonesia. Katanya akan menolak reklamasi, ternyata malah reklamasi. Ditutupi dengan isu agama dengan membuat masjid di atasnya. Katanya pelatihan online dan digaji, ternyata cuma sejenis video-video di youtube yang disodorkan ke rakyat. Saya dengar juga ada pelatihan memancing..hehe. Dan itu, ada yang diam-diam mengesahkan Omnibuslaw saat orang-orang dihantui pandemi corona. Lantas siapa yang mengakal-akali..?"

Saya pikir-pikir, benar juga. Gelas teh tarik saya sudah hampir kosong. Tenggorokan bisa seret. Saatnya minta jus durian. Kata orang-orang, jus durian Malaysia ini enak. Mumpung gratis.

"Bisa jadi begitu, om. Cuma kan mereka itu pribumi. Bukan, mohon maaf om.."

"Yaahh..saya tahu maksudnya. Tapi itu kenyataan. Etnis gak ada hubungannya dengan korupsi..."

"Memang begitu om. Di Indonesia, sampai sekarang masih etnis-etnisan. Koruptor musti etnis itu, padahal koruptor etnis lainnya juga ada. Karena korupsi kan gak menyangkut etnisitas. Saya setuju dengan om Joker", gumam saya di suapan terakhir.

Setelah saya renungkan sebentar, nasi lemaknya itu dapat nilai sembilan, skala sepuluh. Jus duriannya juga sembilan. Entah kalau nanti ditawari bungkus bawa pulang untuk anak istri, nilai-nilai ini bisa dikoreksi.

"Saya sebetulnya butuh orang cerdas, progresif dan kritis seperti anda. Perusahaan saya banyak, perlu orang untuk mengurusnya. Yah, kita bareng-barenglah mengelolanya... Bagaimana, pernah kepikiran berkarir di perusahaan besar dan menetap di Malaysia atau Singapore? Gaji dan fasilitas aman, bisa kita bicarakan..". Om Joker menatap saya. Mencoba meyakinkan saya.

"Ini untuk Indonesia juga. Kalau perusahaan tumbuh, kita bisa membuka lapangan kerja lebih besar. Terlebih setelah Corona ini, banyak pengangguran. Kasihan mereka, mau kasih makan apa anak istrinya".

Ahh..saya tak pernah mengira mendapat tawaran ini. Masa-masa kere, ekonomi nasional hancur, pendapatan ambruk, ini semacam oase. 'Demi Indonesia..', ucap perut saya.

Ketika saya mau bilang 'tentu saya bersedia', lamunan saya tiba-tiba diputus azan maghrib. Saatnya berbuka puasa. Memang kalau sedang lapar itu, khayalannya bisa ke mana-mana.

 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya