Paus Fransiskus dan Peran Profetis Gereja

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Paus Fransiskus dan Peran Profetis Gereja 12/02/2020 2119 view Agama Dunia Tempo.co

Sejak terpilihnya Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus ke-266 pada tahun 2013 silam, umat Katolik sejagat menaruh kepercayaan bahwa beliau sanggup membawa Gereja Katolik keluar dari jebakan dogmatisme dan menjumpai semua orang dari latar belakang agama, suku, dan ras yang berbeda atas dasar cinta kasih.

Bergoglio yang dikenal sebagai Paus Fransiskus boleh dikatakan seorang paus revolusioner. Dia mengubah wajah Gereja bukan hanya dengan ajaran-ajarannya yang progresif, melainkan juga melalui tindakan-tindakannya yang membawa pembebasan bagi orang dari belenggu dogma, stigma sosial yang menakutkan, dan marginalisasi oleh karena sistem dan struktur yang tidak memihak.

Bagi Paus Fransiskus, teologi yang patut dibumikan bukanlah teologi yang kaku, melainkan teologi kontekstual yang melihat konteks kehidupan manusia sebagai sumber refleksi teologi. Teologi kontekstual bersifat inklusif untuk merangkul yang lain dan berusaha menjawabi konteks kehidupan yang meliputi kebutuhan, tantangan, dan peluang yang dimiliki oleh masyarakat dalam suatu wilayah tertentu.

Secara lebih komprehensif, gagasan teologis yang lahir dari pendekatan kontekstual mencakup dua aspek fundamental yaitu pertama, visi atau cita-cita dari sebuah konteks. Di tengah konteks dengan beraneka pengalaman personal dan sosial, jaringan relasi sosial, kebutuhan, tantangan, dan peluang, teologi mesti membantu menemukan dan merumuskan visi atau cita-cita dari sebuah konteks tertentu.

Kedua, setelah merumuskan cita-cita sebuah konteks tertentu, teologi dengan pendekatan kontekstual berusaha menetapkan strategi pastoral sebagai jalan untuk sampai pada pencapaian cita-cita tertentu dan evaluasi pastoral untuk menilai sejauh mana efektivitas strategi-strategi pastoral tertentu dalam mencapai cita-cita bersama.

Dari ajaran-ajarannya yang progresif dan tindakan-tindakannya yang menerobos kemapanan menjadi sangat jelas bahwa Paus Fransiskus diinspirasikan oleh teologi pembebasan di Amerika Latin. Teologi pembebasan berusaha melawan kekejaman pemerintah dalam relasinya dengan para kapitalis yang hanya menyengsarakan masyarakat Amerika Latin.

Teologi pembebasan membuat teologi menjadi semakin inklusif karena terbuka merespon secara kritis dan progresif realitas kehidupan masyarakat dan holistik karena tidak hanya merangkul urusan surgawi tetapi juga perkara-perkara dunia.

Teologi pembebasan sebenarnya menjadi kritikan pedas bagi para pemeluk agama yang sibuk mengurus perkara-perkara surgawi tetapi menutup mata terhadap masalah-masalah dalam dunia di sini dan kini yang menuntut solidaritas global untuk mengatasinya.

Berulang kali dalam khotbah-khotbahnya, Paus Fransiskus menyentil penyakit akut yang diidap oleh masyarakat modern, yang disebutnya sebagai globalisasi ketidakpedulian. Karena perkembangan zaman, orang menjadi sangat individualis dan bersikap apatis terhadap sesama di sekitar. Orang-orang beragama sibuk mengurus pembelaan iman sendiri sambil mencelah habis-habisan iman pihak lain sebagai iman yang salah.

Kesibukan mengurus pembelaan iman sambil menyalahkan iman pihak lain membuat orang-orang beragama lupa mengurus kelompok-kelompok rentan yang sering dilupakan secara sosial seperti para imigran, korban perdagangan orang, korban pelecehan seksual, dan orang-orang miskin yang tidak memiliki akses terhadap kesehatan karena ketidakadilan struktural.

Setiap tanggal 11 Februari, kita memperingati hari orang sakit sedunia dan pada tahun 2020 kita memperingati hari orang sakit sedunia yang ke-28. Dalam rangka memperingati hari orang sakit sedunia yang ke-28, Paus Fransiskus memberikan pesan-pesan kepada seluruh umat beriman.

Ada banyak hal yang ditulis oleh Paus Fransiskus dalam pesan-pesannya tersebut. Dari sekian banyak hal yang ditulis oleh Paus Fransiskus, saya tertarik dengan soal orang-orang sakit yang tidak memiliki akses terhadap perawatan medis karena hidup dalam kemiskinan.

Paus Fransiskus menulis “Pada Hari Orang Sakit Sedunia ke-28 ini, saya memikirkan saudara dan saudari kita di seluruh dunia yang tidak memiliki akses perawatan medis karena hidup dalam kemiskinan. Karena alasan ini, saya mendesak lembaga-lembaga kesehatan dan pemimpin-pemimpin pemerintahan di seluruh dunia untuk tidak mengabaikan keadilan sosial karena terlalu sibuk dengan masalah keuangan. Inilah harapan saya bahwa, dengan menggabungkan prinsip solidaritas dan subsidiaritas, berbagai upaya akan dilakukan untuk bekerjasama dalam memastikan bahwa setiap orang memiliki akses terhadap perawatan yang sesuai untuk memelihara dan memulihkan kesehatan mereka. Dari lubuk hati, saya sangat berterima kasih kepada semua sukarelawan yang melayani orang sakit, sering terkendala keterbatasan struktural, sambil merenungkan gambar Kristus, Orang Samaria yang baik hati, dengan tindakan kasih yang lembut dan kedekatan mereka”.

Pesan Paus Fransiskus sangat relevan untuk konteks kehidupan Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi. Dalam rangka meningkatkan kehidupan ekonomi dan pendapatan negara, bulan Januari lalu Jokowi mengambil kebijakan untuk menaikkan iuran BPJS. Kebijakan tersebut mendapat penolakkan keras dari banyak masyarakat.

Salah satu kritikan yang viral datang dari Rocky Gerung yang menyebut Jokowi tidak paham Pancasila karena mengambil kebijakan menaikkan iuran BPJS. Kebijakan tersebut justru membebani dan menyengsarakan masyarakat, terutama mereka yang miskin. Pemerintah cenderung mengambil kebijakan hanya atas dasar kalkulasi untung-rugi, bukan atas dasar kemanusiaan dan keberpihakan pada masyarakat kecil.

Kemiskinan yang berakibat pada kesulitan untuk mengakses kesehatan mengundang Gereja untuk melaksanakan peran profetisnya di tengah dunia. Peran profetis mengarahkan Gereja untuk membuka mata terhadap persoalan-persoalan konkret yang dihadapi oleh umat beriman sehingga dapat merancang berbagai solusi alternatif untuk membantu umat keluar dari tantangan dan persoalan yang sedang dihadapi.

Peran profetis membuat Gereja mengemban tanggung jawab untuk menyuarakan warta kebenaran dan seruan-seruan moral demi emansipasi tatanan hidup sosial yang cenderung membelenggu dan menyengsarakan umat. Sejauh kehadirannya sebagai kekuatan moral dan progresif yang menyuarakan kebenaran dan mengusahakan keadilan tidak berorientasi pada politik praktis, keterlibatan Gereja dalam urusan dunia bukanlah suatu hal yang tabu.

Hal ini sejalan dengan pesan Paus Fransiskus dalam seruan apostoliknya Evangelii Gaudium (Sukacita Injili): “Saya lebih bersimpati pada Gereja yang rapuh, terluka, dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan ketimbang sebuah Gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri” (AE, No. 49).

Mengemban peran profetis menuntut Gereja untuk mampu membuat penilaian kritis terhadap tradisi, penuh mawas diri dalam menganalisis situasi sekarang serta inovatif dan adaptif dalam memproyeksikan masa depan. Ketika kita berpikir dan berdiskursus tentang peran profetis Gereja, pikiran kita langsung diarahkan kepada para nabi Perjanjian Lama yaitu orang-orang yang dalam masa sulit sekalipun mampu membawa harapan bagi banyak orang.

Berdasarkan kesaksian Perjanjian Lama, sebagaimana diulas oleh Paulus Budi Kleden, ada tiga ciri peran profetis imam (Kleden, 2003:217). Pertama, seorang nabi tidak berbicara atas dasar pesanan pihak penguasa. Dia tidak dipesan oleh sentrum-sentrum kekuasaan tertentu untuk berintervensi dalam kehidupan sebuah masyarakat. Seorang nabi tidak mempunyai kekuasaan, dia tidak mempunyai tentara untuk memaksakan kebenaran pewartaannya. Karena alasan ini, salah satu kriterium untuk membedakan nabi palsu dari nabi asli adalah orientasi pada kekuasaan.

Kedua, nabi mewartakan kehendak Allah tanpa mengindahkan konstelasi kekuasaan yang ada. Ketiga, dia tampil di depan raja dengan tuntutan yang sangat konkret demi kebaikan bersama.

Nabi dalam konteks Perjanjian Lama adalah orang yang hidup di masa sekarang namun memiliki pandangan yang jauh ke masa depan. Nabi berusaha mengkritisi berbagai masalah yang sudah terjadi pada masa sekarang sambil menetapkan taktik-taktik jitu agar masalah pada masa sekarang tidak terulang lagi di masa yang akan datang sehingga hidup di masa depan menjadi lebih baik dari hidup di masa sekarang.

Itulah sebabnya, peran profetis Gereja bukan sekadar profetis palang merah, tetapi juga harus mencakup profetis palang pintu. Artinya, mesti dibangun komitmen untuk mengadakan gerakan peralihan yaitu beralih dari peran profetis yang hanya berkonsentrasi untuk membantu mereka yang telah menjadi korban dari ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi ke peran profetis yang juga mecakup upaya-upaya mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan sosial, politik, dan ekonomi.

Peran profetis para imam tidak cukup hanya dengan membantu umat miskin dengan memberikan bantuan materi, tetapi juga dengan menghadapi dan memerangi kondisi-kondisi struktural yang memiskinkan umat.

Pada titik ini, bukanlah hal yang menyimpang jika Gereja memanfaatkan perkembangan media sosial untuk menebarkan narasi-narasi keberpihakan terhadap kelompok-kelompok rentan, mengadvokasi kasus-kasus publik, dan berdemonstrasi menuntut perbaikan hidup masyarakat kecil kepada pemerintah.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya