Bunuh Diri dan Ketidakbermaknaan Hidup dalam Perspektif Nihilisme

Ketika membaca sebuah artikel di thecolumnist.id yang berjudul Mengurai Sebab dan Efek Bunuh Diri yang ditulis oleh Tiara Cahyaningtyas. Saya cukup terkejut membaca artikel tersebut karena ternyata bunuh diri di kalangan kaum muda, sudah menjadi sebuah fenomena yang sedang marak terjadi di negara kita.
Krisis identitas, hidup yang tidak bermakna, dan berbagai permasalahan yang ada membuat pilihan untuk membunuh diri sendiri menjadi jalan terbaik untuk mengakhiri hidup. Kegagalan manusia untuk menemukan makna dalam hidupnya serta ketiadaan makna inheren membuat kehidupan menjadi semakin absurd. Keinginan akan kebebasan dari kehidupan absurd itu pun semakin menjadi-jadi. Hingga pada akhirnya manusia yang tidak mampu bertahan dari rasa muak akan perasaan absurd itu pun memutuskan untuk “Membunuh dirinya”.
Permasalahan tentang membunuh diri atau lebih singkatnya bunuh diri sebenarnya bukanlah suatu permasalahan baru. Permasalahan bunuh diri juga sebuah permasalahan filosofi yang sangat erat kaitannya dengan eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan seorang filosof eksistensial yang bernama Albert camus juga menganggap persoalan membunuh diri bukanlah permasalahan sepele,”Sebenarnya hanya ada masalah filosofi yang benar-benar serius, yakni bunuh diri”(Albert Camus, 1999).
Hal tersebut memunculkan kembali pertanyaan mendasar tentang bunuh diri yaitu mengapa banyak orang merasa hidup ini tidak layak dijalani? Dan pada akhirnya membunuh dirinya sendiri. Ada banyak penyebab orang membunuh dirinya sendiri, pada umumnya penyebab paling kentara bukanlah yang paling menentukan.
Surat kabar dan berita-berita di media sosial sering kali menyebutkan perihal masalah pribadi, kekecewaan dan lain sebagainya yang menjadi penyebab seseorang membunuh dirinya. Keterangan-keterangan seperti itu memang ada benarnya, namun harus kita pahami bersama bahwa mungkin pada hari itu seorang sahabat atau bahkan keluarga dari orang yang putus asa itu berbicara dengan ketus dan acuh. Jika demikian maka si sahabat itu juga bersalah karena sikap sahabatnya itu mengakibatkan segala perasaan muaknya akan dunia semakin memuncak, semua dendam dan perasaan muak akan kehidupan yang selama ini masih dapat ia tahan.
Permasalahan filosofi tentang bunuh diri juga erat kaitanya dengan ketidakbermaknaan hidup atau nihilisme. Kehidupan yang utopis yang disajikan oleh masyarakat, ajaran-ajaran tertentu ternyata berbeda dengan realita sebenarnya. Manusia yang membunuh diri itu ternyata telah ditipu dengan fatamorgana tentang keindahan kehidupan yang akan didapatkan ketika menjalankan kewajiban moral dan sebagainya. Namun yang ia dapatkan malah sebaliknya, ia ditipu, dikecewakan, dikhianati oleh sesamanya yang ia anggap sahabat, keluarga, dan saudaranya sendiri.
Sahabat kita yang putus asa ini ternyata baru menyadari sebuah kebenaran yang selama ini tersembunyi. Manusia yang dulu ia nilai baik dan bermartabat, ternyata adalah manusia yang menyebabkan ia membunuh dirinya. Ia baru menyadari bahwa manusia pada dasarnya adalah buruk dan tidak bermartabat seperti yang dulu ia kira. Hingga pada akhirnya ia muak dan memutuskan mengakhiri hidupnya yang tidak bermakna dan dipenuhi kebohongan. Sungguh suatu ironi kehidupan. Kita yang bersikap baik serta menampilkan diri apa adanya malah ditindas dan dihancurkan sehancur-hancurnya oleh mereka yang tidak bermartabat.
Kehidupan ini absurd tidak bermakna, dan jika masih ada yang menolak pernyataan ini itu urusan mereka. Jika pernyataan ini salah maka tidak akan ada lagi manusia-manusia kesepian yang mengakhiri hidupnya. Namun yang terjadi malah sebaliknya, kehidupan ini ternyata tidak bermakna dan di tengah nihilnya makna kehidupan terdapat banyak serigala-serigala ganas yang memangsa sesamanya. Akan tetapi di tengah kehancuran tersebut, ternyata masih ada juga manusia-manusia gila yang menjual fatamorgana tentang keindahan kehidupan yang utopis.
Sungguh ironis melihat apa yang terjadi, namun sekali lagi kita hanya bisa diam dan tidak bisa berbuat apa-apa di tengah keabsurdan hidup. Kita hanya bisa menerima rasa muak akan ketidakbermaknaan hidup ini dan tetap memberontak melawan keabsurdan hidup dengan tetap menjalaninya. Nihilnya makna kehidupan bukan berarti nihil juga semua hal yang bisa membuatmu bebas dan bahagia di dalamnya. Kita masih bisa bahagia dan bebas darinya hanya dengan menerima realita bahwa hidup manusia memang tidak bermakna.
Artikel Lainnya
-
33609/06/2024
-
275610/03/2020
-
130621/04/2021
-
Gheotermal dan Ancaman Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat Poco Leok
9210/10/2025 -
Kekuatan Pengetahuan Perspektif Francis Bacon
85709/12/2023 -
Orang Dalam, HTI, dan Upaya Pembubaran KPK
128112/10/2021