Bermewah-Mewahan Telah Melalaikanmu

Pembelajar
Bermewah-Mewahan Telah Melalaikanmu 25/09/2021 1555 view Agama umma.id

Jangan bangga dengan tepuk tangan karena nyamuk mati karenanya. Peribahasa itu memberikan pesan kepada manusia untuk berhati-hati (waspada) justru pada situasi yang menyenangkan. Ya, banyak manusia sadar diuji dengan kesusahan tapi tidak sanggup diuji dengan kenikmatan. Kebanyakan mereka lupa daratan.

Jika posisi kita lagi di atas kita sering arogan. Bahkan menyepelekan nikmat Tuhan. Nikmat yang sifatnya “cuma-cuma” diberikan setiap saat seperti nikmat bernapas, lancarnya proses penyerapan sari-sari makanan dan baiknya kerja organ-organ tubuh—sama sekali tidak pernah masuk dalam kesadaran syukur kita. Tapi begitu posisi kita sakit baru terasa betapa berharganya semua nikmat tadi. Kita merasa memiliki justru setelah kehilangan. Artinya manusia baru punya kesadaran setelah mengalami benturan. Manusia harus mengalami bagaimana tidak enaknya diacuhkan untuk bisa menghargai orang lain. Manusia harus pernah miskin dulu untuk mengerti makna kekayaan. Tidak pernah bisa kesadaran itu datang dengan otomatis.

Begitu pula saat berada dalam kondisi terpuruk kita mengemis-ngemis rezeki kepada Allah supaya diangkat dari kesulitan hidup.Tapi begitu kita jaya, bergelimang harta untuk sekadar bersyukur saja kadang lupa, apalagi berterima kasih kepada Allah. Adakah itu sikap yang sopan?

Memang dalam kondisi yang serba mudah kewaspadaan diri menjadi berkurang. Kondisi batin kita apabila bahagia kurang bisa tenang (menep). Lebih sering melonjak-lonjak seperti ombak di lautan. Emosi kurang stabil. Apa saja ingin dikuasai, tidak paham batas dan ukuran.

Maka pantas Allah menghukum orang semacam ini dengan firman-Nya. Bermewah-mewahan telah melalaikanmu sampai ke liang kubur? Ayat tersebut juga semacam sindiran kepada manusia yang hidupnya hanya disibukkan dengan mencari materi (kekayaan), sampai akhirnya tanpa sadar semua harta benda tidak ada yang dibawa mati.

Mungkin ayat di atas harus diperlakukan sebagai peringatan dini sebelum benar-benar terjadi pada diri kita sendiri. Sebagai tahap antisipasi dari kecenderungan manusia untuk hilang kendali tatkala di puncak kesuksesan. Lagi-lagi lagu klise itu harus diputar lagi. Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem. Saat di puncak kesuksesan segala macam keinginan bisa dengan mudah terpenuhi tapi di saat seperti inilah kita harus menginjak rem, bahkan sesekali perlu mengambil jarak dari itu semua. Jangan sampai hidup kita kebablasan. Ingat kemapanan dan kesenangan memang sering mencengkeram dan memenjarakan manusia ke dalam ketidakwaspadaan.

Sesungguhnya yang sulit itu bukanlah mendapat atau meraih sesuatu. Mempertahankan dan mengendalikan jauh lebih sulit. Ibaratnya kalau ingin meraih suatu hal, kita hanya dibebani 1 tugas saja sedangkan jika mempertahankannya kita dibebani 2 tugas (menjaga performance dan inovasi). Maka menjaga sikap untuk tetap seimbang jika senang atau sedih adalah pekerjaan yang perlu disetel terus-menerus.

Manusia memang serakah, dikasih satu saja belum habis sudah minta dua, tiga, dan seterusnya. Sudah menjadi tabiat manusia akan halnya rasa tamak (hubbud dunya). Rasa cinta yang berlebih akan kepemilikan suatu benda dan keinginan memiliki semuanya. Jika masih ngontrak ingin punya rumah sendiri, jika sudah punya motor ingin punya mobil, kalau sudah punya mobil ingin mobil yang keluaran terbaru atau mobil yang lebih mewah. Begitulah keinginan manusia yang tidak ada batasnya. Bahkan jika manusia sudah memiliki satu gunung emas pun tak akan cukup, ia ingin lagi, lagi, dan lagi. Hanya tatkala telah dikubur dalam tanah (mati) semua keinginannya bisa berhenti.

Telah banyak diceritakan kisah-kisah orang di akhirat nanti yang minta dihidupkan kembali untuk bisa memperbaiki diri. Ia merutuki hidupnya sendiri. Hidup yang dikiranya bakal panjang setelah dijalani ternyata hanya sekejapan saja-- begitu yang ia rasakan tatkala sudah berada di alam keabadian. Semua peristiwa yang terjadi di dunia saling berkelebatan mengisi memorinya. Penyesalan-penyesalan yang terjadi disebabkan begitu banyak waktu yang berlalu—tanpa sempat menjadi masa yang bermakna. Terlalu banyak terisi dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak penting atau juga yang berlebih-lebihan. Waktu di dunia lebih banyak diisi dengan kebodohan-kebodohan.

Kita memang lebih sering dilenakan dan dibuat mabuk oleh angan-angan panjang kita sendiri. Naudzubillah, summa naudzubillah. Semoga kita terhindar dari sikap yang demikian. Jangan sampai kita mengalami hal seperti ini, mengkhayal, berfantasi untuk hal-hal yang sebenarnya artifisial belaka. Apa yang kita citrakan selama ini hanyalah fatamorgana saja demi memenuhi keinginan semu dan picisan. Dan di kala akhir kehidupan baru kita sadar, namun sikap itu tidak akan berguna sama sekali sebab sang waktu telah mengepung kita.

Dari latar belakang tersebut apakah manusia tidak boleh kaya? Tidak boleh untuk mengusahakan hidup yang baik. Karena kalau kaya lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Jadi harus hidup katakanlah miskin agar terhindar dari sifat yang demikian?

Sama sekali tidak dilarang untuk mencari materi (kekayaan). Namun dengan cara bagaimana dan untuk apa semua kekayaan tadi digunakan--itu yang perlu diperhatikan. Islam sama sekali tidak melarang orang untuk kaya. Justru dengan mempunyai kekayaan yang berlebih malah bisa didayagunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Etos agama mengajarkan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Orang kaya, sholeh, dan dermawan tentu merupakan perpaduan yang sangat ideal seorang muslim. Maka urusannya bukan pada benda kekayaan an sich tapi bagaimana menggunakannya untuk tujuan yang benar.

Di tengah hidup yang serba kecukupan malah ada orang yang rindu kembali ke masa-masa dulu saat masih miskin. Masa di mana kerja keras terus dipompa, kreativitas banyak muncul. Lha sekarang saat sudah kaya semuanya itu bagai menguap sirna. Mau bikin sesuatu karya saja malasnya minta ampun. Memang ada orang yang bisa mengakali sebuah kekurangan menjadi daya dorong untuk maju. Ada juga orang yang dengan segala kelebihan malah tidak bisa mendayagunakannya menjadi nilai lebih. Artinya di tengah kekurangan-kekurangan sensitivitas dan daya kreativitas lebih sering muncul.

Orang memang butuh sesuatu pengalaman yang baru, motif-motif kebaruan untuk terus bergairah menjalani hidup. Tak terkecuali jika semua kebutuhan sandang, pangan, dan papan sudah terpenuhi bahkan sampai lebih-lebih. Saat di posisi ini seharusnya sebagian dari harta kita sedekahkan pada yang membutuhkan. Daripada menjadi harta yang mencelakakan. Lagipula dalam agama juga sudah dijelaskan bahwa ada bagian untuk orang lain dari keseluruhan harta yang kita miliki. Dua setengah persen gaji seorang direktur begitu sangat berharga bagi orang-orang yang membutuhkan. Bagi anak-anak yatim dan kaum miskin. Seorang hartawan di sebuah desa sangat ditunggu kedermawanannya. Misalnya dengan membuat semacam tempat olah raga bagi pemuda-pemuda desa. Biar ada tempat penyaluran energi ke hal-hal yang positif. Biar tidak menghibur diri dengan gadget dan minuman keras.

Di tengah kelimpahan harta kekayaan manusia diberi pilihan menjadi seorang dermawan atau seorang yang tamak dan hilang kendali.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya