Pluralisme, Keragaman dan Fatwa MUI

Pluralisme, Keragaman dan Fatwa MUI 25/09/2024 102 view Agama mui.or.id

Awal abad ke-21 kalangan masyarakat sipil di Indonesia digegerkan dengan fatwa MUI yang melarang 3 isme yang disinyalir berasal dari barat dan akan merusak akidah warga Indonesia. Diketahui, 3 isme tersebut ialah sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Memang, fatwa MUI tersebut lahir berbarengan dengan suburnya gerakan-gerakan Islam (baru) yang dimotori oleh generasi muda yang notabene berjiwa pembaharu. Katakanlah seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Perhimpunan untuk Pengembangan Pondok Pesantren dan Masyarakat (P3M), yang dulu dibentuk oleh LP3ES dan Lembaga Studi Islam dan Sosial (LKIS), Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), dan lain sebagainya.

Namun, disadari atau tidak, MUI mendefiniskan secara monolitik nan rigid. Hal tersebut diketahui dalam Fatwa MUI NOMOR 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. MUI memahami pluralisme seabgai pandangan yang mencampuradukan ajaran antar agama dan menganggap semua agama adalah sama dan benar. Bahkan pemahaman MUI atas pluralisme disahkan menjadi fatwa yang begitu fatal.

MUI dengan tegas menganggap semua agama sama dalam pengertian pluralisme. Di sisi yang lain mengatakan bahwa pluralisme tidak menyamakan semua agama. Akan tetapi, sebenarnya pluralisme itu apa?

Kiranya, untuk mengetahui definisi pluralisme dalam konteks Indonesia seyogyanya mengutip pendapat dari Mukti Ali, selaku pelopor studi agama-agama atau dulunya studi perbandingan agama. Mukti Ali secara tegas tidak mempersoalkan pluralisme dalam tataran sosial, yakni fakta sosiologis bahwa tiap individu memiliki keyakinan atau keimanan yang berbeda-beda. Di satu sisi, persoalan kebenaran berada di wilayah agama atau keyakinannya masing-masing. Mukti Ali menyadur bahwa konsepsi pluralisme dapat mengarah pada toleransi antar umat beragama (Mukti Ali, 1992).

Pluralisme sebagai fakta sosial nyata adanya, kita bisa melihat hal tersebut ketika Islam mendatangi benua Asia. Komunitas muslim ini memulai perjalanan setidaknya ke India untuk mencari lada, ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah dan China untuk mencari sutra dan keramik. Di belantara Kepulauan Samudera Hindia para pedagang muslim ini hidup berdampingan dengan beragam kepercayaan pemuja dewa dan roh. Di kota-kota kecil, komunitas muslim ini menciptakan suasana baru yang otentik dengan balutan syariat Islam yang bersandingan dengan kota-kota besar yang dinaungi aturan-aturan Hindu dan Buddha. Pluralitas sangat kentara, apalagi dengan rezim Hindu yang berlaku adil terhadap semua kapal pedagang tanpa melihat latar belakang agamanya (R. H. Major, 1856).

Di Indonesia, kedatangan komunitas muslim erat kaitannya dengan nuansa sinkretisme, yang tentunya ekspansi nirkekerasan digaungkan. Bahkan, para mistiskus Hindu-Buddha pun bergandengan tangan dengan para sufi yang dianggap memiliki kesamaan dalam hal sama-sama kaum pencari kebenaran. Namun, lambat laun, kelompok muslim tersebut berhasil mengambil alih kuasa. Sehingga para raja setempat melakukan penyesuaian dengan Islam secara bertahap dan sinkretik. Alhasil masyarakat setempat pun mengikuti sang raja dengan tanpa mengganti nilai mistik sebelumnya. Seperti yang diutarakan Martin Van Bruinessen, proses yang digunakan ialah adopsi bukan konversi. Masyarakat kala itu melihat dimensi sufistik bukan sebagai pengganti mistik yang terdahulu namun mengadopsinya (Van Bruinessen, 2000).

Selain itu, mualaf pada waktu itu juga menjadikan doktrin Islam sebagai pegangan hidupnya dengan tanpa menghilangkan kebijaksanaan kuno yang telah ia pegangi. Dalam istilah Ricklefs 'Sintetik Mistik' ini dibentuk oleh masyarakat muslim yang khususnya di Melayu, Jawa, dan Bugis. Berkebalikan dengan invasi yang dilakukan di beberapa daerah yang kini memiliki penduduk muslim yang cenderung sedikit seperti Bali, Toraja dan Batak dimana Islamisasi dilakukan sedikit ekstrem dan minim menggunakan pendekatan budaya dan cenderung pada doktrin Islam yang kaku.

Pada kemerdekaan Indonesia 1945, sejatinya berpijak dari prinsip pluralisme, dimana pembentukan negara melalui konstitusi dan Pancasila merupakan kompromi dari golongan Islam, muslim abangan, dan kaum minoritas. Jelas dikatakan secara fasih oleh Sukarno pada pidato Lahirnya Pancasila 1945 bahwa Pancasila ini sebagai dasar negara perwakilan bukan negara agama.

Islam yang berposisi sebagai mayoritas tentunya memiliki posisi yang begitu penting. Misalnya, ketika Islam dengan suara mayoritasnya dimanipulasi oleh segelintir penguasa untuk bergerak pada tujuan keseragaman Islam dengan menyerahkan hak-hak demokratisnya, maka tidak ada harapan lagi bagi pluralisme di Indonesia.

Memang, fakta keragaman di Indonesia tidak dapat dinafikan, maka kehadiran pluralisme menjadi kunci untuk menciptakan kesatuan dan keharmonisan dalam masyarakat. Namun, tak lupa, sikap dan hak politik yang demokratis juga perlu dijaga, jangan sampai hak dan kewajibannya dikebiri dan digiring pada kepentingan golongan yang mengarah pada perpecahan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya