Belajar Hidup dari Linguistik Umum

Dalam buku Linguistik Umum, Abdul Chaer menyatakan linguistik umum adalah ilmu yang mengambil sebagai objeknya. Atau menurut Martinet dalam buku Ilmu Bahasa, linguistik umum adalah telaah ilmiah mengenai bahasa manusia.
Eits, Tenang saja, saya tidak akan membicarakan linguistik umum dengan segala persoalan yang berat-berat. Saya hanya ingin menceritakan renungan saya setelah menjalani kuliah selama empat semester di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Satu tahun yang lalu, di sebuah minimarket teman kuliah saya bertanya, ”Selama dua semester lu sudah dapat pelajaran apa aja dari linguistik umum, men?” Saya cuma bisa cengar-cengir, karena memang linguistik umum sulit sekali masuk ke kepala saya.
Saya pernah memaksa belajar dengan membaca serius buku Linguistik Umum karya Abdul Chaer dan Ilmu Bahasa karya Andre Martinet hingga muntah-muntah. Namun nyatanya, saya tetap berakhir menjadi mahasiswa yang bodoh di kelas.
Saya tetap planga-plongo ketika dosen saya memberikan kuliah, atau saat teman-teman saya dari kelompok lain presentasi. Alhasil, saya selalu kelimpungan ketika mengerjakan tugas pribadi dan kelompok. Bahkan, saya pernah sampai tidak masuk kelas ketika kelompok saya akan presentasi. Jujur, saya tidak berniat menjadi beban kelompok, maaf.
Belajar Riwayat Kehidupan Manusia
Mendapatkan pertanyaan “apa yang saya dapat setelah dua semester belajar linguistik umum” membuat saya cengar-cengir bego. Tak lama kemudian, saya meminta izin untuk membakar rokok terlebih dahulu sebelum akhirnya saya menjawab. Beruntungnya teman saya mengizinkannya.
Hening beberapa menit, hingga saya bisa mendengar suara “huft” panjang dari mulut saya ketika mengeluarkan asap rokok dari tenggorokan dan paru-paru saya. Lalu, saya baru bisa menjawabnya ketika rokok saya sudah terbakar setengah batang. Dengan jantung yang deg-degkan, lalu ditambah suara yang patah-patah saya pun menjawab, “Ehm, selama dua semester, ehm, gua belajar tentang, apa ya, ehm, belajar tentang riwayat kehidupan dari linguistik umum, men.” Mendengar jawaban saya, teman saya tertawa menyindir.
”Et, ngaco lu, men,” ujarnya dengan mata menyelidik karena tidak terima, “Kalau lu belajar linguistik umum, ya, berarti belajar fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik dong. Ngomong-ngomong lu bisa jelasin tidak fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik itu apa?” tanyanya dengan raut muka menggoblok-goblokan saya.
Mendengar pertanyaan tersebut, saya hanya bisa garuk-garuk kepala. Sudah dua kali saya dibuat bego begini, hingga akhirnya ia sendiri yang menjelaskan pengertian fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik kepada saya secara teoritis.
Katanya, fonologi adalah cabang linguistik yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya. Lalu, morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari seluk beluk proses pembentukan tata dan perubahan makna kata. Selanjutnya, sintaksis adalah cabang linguistik yang membahas mengenai struktur kalimat serta struktur kalimat. Sedangkan semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna dalam bahasa.
Namun, karena dasarnya saya bego, jadi saya tetap tidak paham. Saya malah membayangkan bahwa fonologi seperti bayi yang baru belajar bicara, dan akhirnya bayi tersebut bisa lancar bicara. Tidak jauh beda dengan fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa.
Lalu, morfologi saya bayangkan sebagai anak remaja tanggung yang sedang mencari dan membentuk jati dirinya. Tidak jauh beda dengan morfologi yang membicarakan bentuk-bentuk dan pembentukan kata. Selanjutnya, sintaksis saya bayangkan seperti manusia dewasa yang sudah pandai menempatkan waktu dan tempatnya sesuai kebutuhan dirinya sendiri. Tidak jauh beda dengan sintaksis yang membahas struktur kalimat. Intinya sama-sama mengotak-kotakan atau menempat-nempatkan gitu.
Kemudian, semantik saya bayangkan seperti manusia dewasa yang mulai beranjak ke masa tua. Malah saya bayangkan manusia yang sudah masuk masa tua, kisaran umur enam puluh tahun ke atas. Nah, maka dari itu, apalagi si yang dikerjakan oleh mereka, kalau bukan sembahyang dan mencari pahala serta makna-makna kehidupan? Tak jauh beda dengan semantik yang mengkaji makna bahasa.
“Lu malah cocoklogi, men. Lu malah cocok-cocokin ke riwayat hidup itu mah.” jawabnya kemudian tertawa terbahak-bahak.”Susah memang kalau dasar sudah bego, mah,” sindirnya kemudian tertawa lagi.
Mendengar celetuknya, saya cuma bisa cengar-cengir bego lagi. Ini sudah ketiga kalinya.
”Gua akui memang gua bego, tapi seenggaknya gua sedikit filosofis,” jawab saya kemudian tertawa terbahak-bahak.
Artikel Lainnya
-
72609/11/2022
-
140612/02/2021
-
174716/06/2020
-
Reformasi Bambu Runcing: Panggung Percaturan Politik Atau Kebebasan Aktivis?
579719/10/2020 -
32623/07/2023
-
Orang Dalam, HTI, dan Upaya Pembubaran KPK
127312/10/2021