Bandara Kualanamu Dipegang India, Apa Indonesia Sudah Tidak Mampu?
Kabar tentang pengelolaan Bandara Internasional Kualanamu oleh perusahaan asing sempat menggemparkan publik. Banyak yang kaget, lebih banyak lagi yang cemas. Bagaimana mungkin salah satu gerbang udara utama di Pulau Sumatera kini berada dalam genggaman konsorsium luar negeri?
Ya, sejak akhir tahun 2021, Bandara Kualanamu resmi dikelola oleh PT Angkasa Pura Aviasi, anak usaha Angkasa Pura II, yang bekerja sama dengan GMR Airports Consortium dari India dan Aéroports de Paris Group dari Prancis. Dalam kerja sama selama 25 tahun itu, mereka akan menanamkan investasi senilai Rp 56 triliun untuk memperluas terminal, membangun landasan pacu, serta meningkatkan kualitas pelayanan bandara.
Tentu saja, ini terdengar seperti peluang besar. Peningkatan infrastruktur bisa berdampak positif bagi pariwisata, mobilitas warga, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi di balik semua janji manis itu, terselip kecemasan masyarakat yang cukup masuk akal: bagaimana nasib tenaga kerja lokal?
Direktur PT Angkasa Pura Aviasi, Haris, bahkan harus memberi klarifikasi langsung. Menurutnya, tidak akan ada pekerja lokal yang dikesampingkan. Semua tenaga kerja yang saat ini ada akan tetap dipakai. Ia juga menekankan bahwa jumlah tenaga kerja asing yang masuk sangat terbatas, hanya sekitar 8 sampai 10 orang dan itu pun di posisi tertentu saja.
Namun masyarakat tetap resah. Mereka tahu bahwa yang terlihat di permukaan belum tentu mencerminkan yang terjadi di belakang layar. Kekhawatiran akan "pergeseran pelan-pelan" posisi strategis ke tangan tenaga kerja asing bukanlah paranoia, melainkan pengalaman pahit yang berulang.
Rasa waswas itu muncul karena kondisi tenaga kerja Indonesia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia masih berada di angka 7,86 juta orang. Dari angka tersebut, banyak yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Artinya, kita punya banyak orang yang terdidik, punya keahlian, tapi kesulitan mendapatkan tempat di dunia kerja.
Ironisnya, banyak dari mereka justru lebih dihargai di luar negeri. Lihat saja diaspora Indonesia yang bekerja di bidang teknologi, aviasi, bahkan medis—semuanya diakui dunia, tetapi tidak diberi ruang di negerinya sendiri. Mereka memilih hijrah karena merasa tak dianggap. Lalu ketika negara ini membuka diri kepada asing dengan dalih “transfer teknologi,” lagi-lagi kita mempertanyakan: apakah kita memang tidak cukup mumpuni? Apakah kita harus terus bergantung pada orang luar hanya untuk bisa maju?
Pertanyaan ini menyentuh urat nadi yang lebih dalam dari sekadar hitung-hitungan ekonomi. Ini tentang kepercayaan. Ini tentang harga diri. Jika negara tak percaya pada warganya sendiri, siapa lagi yang akan? Apakah bangsa sebesar Indonesia memang harus menyerahkan aset vitalnya untuk dikelola oleh orang luar? Sampai kapan kita terus merasa bahwa “yang luar” pasti lebih unggul?
Mungkin ada yang akan mengatakan: ini bukan soal nasionalisme sempit, ini soal efisiensi dan profesionalitas. Tapi justru di situlah letak persoalannya. Apakah tenaga kerja Indonesia tidak bisa profesional? Apakah mereka tidak layak diberi kesempatan untuk mengelola dan membuktikan kemampuan mereka? Atau kita selama ini memang lebih percaya pada citra daripada potensi?
Padahal, dalam berbagai laporan internasional, Indonesia tidak kekurangan talenta. Banyak lulusan teknik, manajemen, dan aviasi yang memiliki standar global. Tapi sistem birokrasi, minimnya pelatihan, serta mentalitas “asal asing pasti lebih baik” membuat mereka kalah sebelum bertanding.
Kalau kita terus-menerus menyingkirkan potensi dalam negeri demi memberi ruang bagi pihak luar, bagaimana kita bisa membangun kemandirian? Alih-alih mengembangkan talenta lokal, kita justru memberi karpet merah bagi pihak asing untuk masuk dan mendominasi. Kita tidak sedang belajar dari mereka, kita sedang digantikan.
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa investasi asing tidak selalu buruk. Kita tidak bisa menutup diri dari kerja sama global. Dunia sudah berubah, dan kolaborasi lintas negara adalah keniscayaan. Tapi kolaborasi bukan berarti menyerahkan kunci rumah. Harus ada batas. Harus ada perlindungan terhadap tenaga kerja lokal. Harus ada kejelasan bahwa kerja sama ini membawa manfaat, bukan hanya bagi pemodal, tapi juga bagi rakyat.
Solusinya bukan menolak investasi asing. Tapi bagaimana membuat kerja sama itu benar-benar adil. Pemerintah bisa membuat peraturan yang mengharuskan alih teknologi dan transfer keahlian sebagai syarat utama. Harus ada pengawasan agar tenaga kerja lokal tidak hanya dijadikan pelengkap, tapi justru menjadi aktor utama. Harus ada keberanian untuk memberikan posisi strategis kepada putra-putri bangsa.
Lembaga pendidikan juga harus ikut berbenah. Kita butuh sistem yang bisa menjembatani dunia akademik dan dunia industri. Kita butuh pelatihan yang relevan, dan sertifikasi yang diakui dunia internasional. Kita tidak bisa hanya mencetak ijazah, tapi harus mencetak kompetensi.
Namun yang paling utama adalah soal kepercayaan. Negara harus percaya pada rakyatnya. Kita tidak bisa selamanya berdiri di bawah bayang-bayang negara lain. Kita harus berani mengambil peran, memimpin, dan mengelola sumber daya kita sendiri.
Bandara bukan sekadar terminal pesawat. Ia adalah simbol gerbang masa depan. Jika gerbang itu sepenuhnya dibuka oleh orang luar, maka masa depan itu bukan lagi milik kita. Tapi jika kita bisa membukanya sendiri, dengan tangan-tangan putra bangsa yang terampil dan berintegritas, maka itulah kedaulatan yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, persoalan pengelolaan Bandara Kualanamu oleh asing bukan hanya soal ekonomi, bukan sekadar angka investasi, bukan juga sekadar soal efisiensi. Ini adalah cerminan dari bagaimana kita memandang diri sendiri sebagai bangsa. Apakah kita bangsa yang percaya pada kekuatannya sendiri, atau terus merasa kecil di hadapan bangsa lain?
Mungkin sudah saatnya kita berhenti merasa rendah diri. Sudah waktunya kita menata ulang cara berpikir. Memberi ruang yang layak bagi tenaga kerja lokal, bukan sekadar janji, tapi tindakan nyata. Karena jika bukan kita yang percaya pada bangsa ini, siapa lagi?
Artikel Lainnya
-
137919/04/2022
-
96109/12/2023
-
22904/07/2024
-
Pilkada Sebagai Momentum Kemenangan Rakyat
104804/12/2020 -
Tata Krama Dalam Bersosial Media
224808/03/2021 -
Privilege Kaum Good Looking Di Era Media Sosial
124210/11/2022
