Pilkada Sebagai Momentum Kemenangan Rakyat

Pilkada Sebagai Momentum Kemenangan Rakyat 04/12/2020 723 view Politik Mediaindonesia.com

Saatnya rakyat mengambil kembali kekuasaan dan memberikannya kepada orang yang tepat. Pilkada merupakan momentum yang tepat, tidak saja untuk menentukan pilihan politik mereka.

Mengutip Franz Magnis Suseno, Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Dan mencegah yang terburuk itulah, hemat saya, Pilkada merupakan salah satu alternatif demokrasi untuk menjamin kesejahteraan rakyat di masa depan.

Kita semua tahu, bahwa, pelaksanaan Pilkada tahun 2020 sangat manantang. Tantangan Pilkada yakni karena penyelenggaraan Pilkada dilaksanakan di tengah pandemi covid-19.

Sebelum diputuskan, perdebatan seputar pelaksanaan Pilkada, ditunda atau dilaksanakan menuai kontroversi. Namun pada akhirnya, pemerintah tetap memutuskan bahwa Pilkada tetap harus diselenggarakan pada tanggal 9 Desember di 270 daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Banyak pihak menilai, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi covid-19 menyebabkan rakyat kurang berpartisipasi aktif dalam Pilkada. Hal ini karena dinilai akan memunculkan kluster baru penularan covid-19.

Namun, bagi saya, terlepas dari tingkat partisipasi rakyat dalam Pilkada, yang perlu diperhatikan ialah bahwa, rakyat harus tetap jadikan momentum Pilkada sebagai pesta atas kemenangan rakyat.

Dalam rangka itu, tentu ada persoalan lain yang saya kira jauh lebih besar, rakyat tidak boleh mudah terjebak dalam kubangan pragmatisme dan oportunisme politik.

Yang saya maksudkan dengan pragmatisme dan oportunisme politik mengerucut pada suatu tindakan dimana Pilkada yang seharusnya sebagai pesta mempertahankan kemenangan rakyat, justru terdistorsi menjadi pesta kekalahan rakyat.

Kekalahan tersebut tidak tanpa alasan, justru berangkat dari logika yang dibentuk dalam pikiran rakyat dengan memandang bahwa Pilkada merupakan sebuah pesta pertukaran keuntungan material di antara rakyat dan kontestan Pilkada.

Pertukaran keuntungan material di antara rakyat dan kontestan Pilkada terjadi ketika rakyat memandang bahwa melalui pesta Pilkada mereka (rakyat) bisa mengeruk keuntungan material dari para calon. Sebagai imbalannya, calon mendistribusikan barang kepada rakyat dan rakyat membalasnya dengan dukungan politik. Persis inilah yang digambarkan oleh Aspinall dan Berenschot (2019), sebagai praktik klientelisme. Esensi dari praktik klientelistik adalah quid pro quo, sesuatu untuk sesuatu.

Lahirnya Bibit-Bibit Oligarki

Dengan basis logika pertukaran keuntungan material tersebut, rakyat justru telah terjebak ke dalam perseteruan politik pragmatis dan oportunis. Melihat pesta Pilkada bukan lagi sebagai pesta demokrasi atas kemenangan rakyat. Melainkan sebagai sebuah wahana yang di dalamnya rakyat saling bertarung memperebutkan material yang disediakan oleh setiap kontestan. Karena basis logika yang dibangun dan dibentuk dalam pikiran rakyat, ialah soal pertukaran keuntungan.

Apa yang mau saya katakan ialah bahwa, basis logika semacam itu telah menyeret rakyat pada pilihan politik yang sangat dangkal, menjemukan dan dipenuhi dengan naluri keuntungan material. Bukan hanya itu, dengan basis logika pertukaran keuntungan material tersebut, rakyat telah menggadai kesejahteraan masa depan mereka dengan sebuah kemenangan instan (pertukaran klientelistik), sementara yang mereka peroleh ialah kekalahan yang jauh lebih mengerikan di masa depan.

Pada tingkat seperti inilah, yang justru lahir di daerah ialah, bukan lagi rakyat yang kritis dan solutif, melainkan rakyat yang mudah terombang-ambing kemana arus kekuasaan membawa mereka. Meminjam ungkapan Vedi Hadiz (2005), sebagai “masa mengambang”. Dimana rakyat tidak lagi menjadi salah satu alternatif oposisi di luar sistem, melainkan mudah tersandera pada sistem yang kian oligarkis di daerah.

Dari sanalah justru muncul bibit-bibit oligarki lokal yang sewaktu-waktu bisa mengambil paksa kesejahteraan yang ada pada rakyat. Kondisi semacam ini tidak saja menyebabkan masa depan rakyat dikendalikan oleh oligarki, tetapi demokrasi di aras lokal telah bernuansa oligarkis.

Bahkan akan melahirkan “demokrasi kriminal” dimana para oligark menggunakan kekayaan mereka untuk bersaing secara tidak adil untuk mendapat jabatan, dan mengalahkan hukum ketika bermasalah akibat korupsi atau bencana (Jeffrey A. Winters (2011).

Dengan model sistem yang oligarkis semacam ini tentu di satu sisi akan dimanfaatkan oleh para oligark untuk mempertahankan basis material mereka. Sedangkan di sisi lain tentu akan berusaha membredel partisipasi rakyat dalam agenda kebijakan publik, sehingga rakyat dengan demikian akan tereksklusi dari pembangunan.

Dan di saat yang sama pula, menurut saya, sistem oligarkis semacam ini justru membuka ruang lebih lebar bagi partner oligarki mereka di tingkat lokal untuk menggerus keuntungan sembari tetap menahan kekuatan rakyat dalam upaya melakukan perlawanan.

Di sinilah menurut saya, demokrasi di tingkat lokal tidak saja tersandera pada kepentingan oligarki, melainkan meminjam ungkapan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019), yang bisa menyebabkan “matinya demokrasi” di tingkat lokal.

Pelakunya bukan saja oligarki lokal, melainkan rakyat yang di dalam pikirannya membentuk basis logika pertukaran klientelistik. Logika pertukaran ini yang hadir dalam kontestasi Pilkada telah menyeret demokrasi menjadi sedemikian pervasif, sekaligus melahirkan bibit-bibit oligarki lokal yang semakin ambisi untuk mengakumulasi keuntungan.

Momentum Kemenangan Rakyat

Pilkada harus menjadi momentum bagi kemenangan rakyat. Kemenangan itu tidak saja sebatas pada pilihan politik yang rasional. Melainkan ada semangat yang dibangun bahwa kemenangan rakyat yang jauh lebih besar yang harus mereka terima di masa depan, ialah kemenangan atas hak dan partisipasi mereka dalam agenda kebijakan publik di daerah.

Tidak hanya itu, rakyat harus berani membangun aliansi dan kesepakatan bersama membangun gerakan menolak pragmatisme dan oportunisme politik yang berbasis pada pertukaran klientelistik dan patronase.

Di sinilah saya kira rakyat terutama di daerah telah menghancurkan munculnya bibit-bibit oligarki lokal. Tentu dengan cara demikian, rakyat telah membangun dan membentuk sistem politik dan institusi kelembagaan di daerah yang jauh dari watak oligarkis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya