Babak Akhir Suriah di Bawah Rezim Al-Assad

Suriah dilanda konflik dalam negeri atau konflik vertikal antara pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Bassar Al-Assad (state) dengan kelompok oposisi yang merupakan rakyatnya sendiri (sub-state). Konflik ini bermula sejak tahun 2011 atau di waktu gelombang Musim Semi Arab tengah menjadi isu panas di Kawasan Timur Tengah. Pemantik dari adanya konflik ini adalah kekerasan dan pembunuhan pada warga negara yang memprotes rezim Assad oleh pasukan keamanan Suriah pada Maret tahun 2011 dan berkembang luas menjadi gelombang protes besar di berbagai titik di Suriah.
Ada sumber lain yang mengatakan bahwa penentangan konsep pipeline gas yang digagas oleh negara-negara barat dan sekutunya yang ada di Timur Tengah menjadi pemantik dari adanya perang saudara di Suriah. Apapun itu, di tengah gelombang Musim Semi Arab, rezim-rezim yang tengah berkuasa selama puluhan tahun akan menjadi target gelombang protes dari rakyatnya sendiri, seperti halnya Tunisia, Libya, maupun Mesir.
Ketika melihat konflik ini lebih dalam lagi, apakah Bassar Al-Assad benar-benar berperang hanya dengan rakyatnya sendiri? Jawabannya tentu saja tidak, ada sebuah konsep yakni proxy war (perang satelit) yang sekiranya dapat menjelaskan peristiwa ini. Konsep ini melihat bagaimana negara-negara lain juga ikut terlibat dalam konstelasi konflik ini seperti Amerika Serikat, Turki, Perancis, Inggris dan beberapa negara Teluk yang berdiri di belakang kelompok oposisi rezim Assad. Sedangkan Suriah di bawah Presiden Bassar Al-Assad juga mendapat dukungan dari Rusia dan juga Iran berserta Hisbullah. Konsep ini bukan merupakan konspirasi, tetapi membantu melihat suatu model perang kontemporer dengan aktornya adalah negara-negara satelit maupun kelompok-kelompok yang dikendalikan oleh negara-negara besar (Great Powers).
Perang saudara ini mencapai klimaks atau babak akhir tepat di tanggal 8 Desember tahun 2024 lalu, atau perang ini genap berusia tiga belas tahun. Keruntuhan rezim Assad yang sudah dibangun oleh Hafez Al-Assad dan diteruskan oleh anaknya yakni Bassar Al-Assad pun menjadi kenyataan. Kemenangan kelompok oposisi tersiar hingga ke seluruh dunia, ada yang senang mendengarnya bahkan ada yang juga heran dan kawatir akan stabilitas negara ini kedepannya. Lantas, faktor apa saja yang menyebabkan rezim Assad ini runtuh?
Pertama, negara-negara penyokongnya mulai kehilangan fokus dengan perang saudara Suriah. Hal ini dikarenakan negara-negara besar seperti Rusia memiliki fokusnya sendiri dan juga Iran, atau bahasa mudahnya adalah core enemies dari kedua negara ini benar-benar menjadi fokus utamanya, katakanlah Rusia tengah sibuk berperang dengan Ukraina beserta sekutunya yang sejak tahun 2022 hingga saat ini belum menunjukan kemajuan berarti, begitu pula dengan Iran yang tengah fokus menjaga diri beserta kelompok-kelompok satelitnya dari gempuran Israel dan sekutu. Ada perpindahan konsentris dari awalnya mendukung Suriah secara penuh, mulai perlahan-lahan fokus terhadap “halaman depan” Rusia dan Iran yang apabila secara “rational choice” dapat jauh lebih mengancam mereka dibanding berperang membela rezim Assad di medan peperangan Suriah.
Kedua, adanya faktor bencana alam yakni gempa bumi, hal ini mengakibatkan keadaan negara yang awalnya sudah terpuruk menjadi lebih parah lagi. Adanya kelaparan, infrastruktur yang hancur, kesehatan mental yang membuat turunnya moral warga Suriah. Fokus pemerintah pun terpecah, disamping berperang dengan oposisi, juga harus menata negaranya yang sedang terkena dampak dari adanya bencana alam.
Dari runtuhnya rezim Al-Assad ini dapat kita lihat kira-kira bagaimana keadaan Suriah dan kawasan Timur Tengah ke depannya?
Pertama, Suriah belum tentu menjadi negara yang stabil maupun maju dalam waktu dekat. Dapat dilihat dari yang terjadi di Libya, ketika rezim Khadafi runtuh, Libya masuk ke dalam perang saudara tahap dua, pecah konflik antara pihak yang mendukung pemerintah baru dan juga oposisi, belum lagi kepentingan militan-militan yang terafiliasi dengan terorisme juga menghiasi konstelasi negara tersebut.
Begitu juga dengan Suriah, di dalam kelompok oposisi ini terbagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kepentingan masing-masing khususnya untuk menguasai Suriah yang baru. Selaras dengan itu Suriah telah lama mengalami “musim dingin” atau terkungkung di dalam kandang kepemimpinan diktator selama beberapa puluh tahun. Jadi secara analogi ibarat harimau yang lama di kandang dan baru saja dilepaskan dapat saja berubah menjadi lebih liar karena kaget baru saja bebas. Nah konflik kepentingan maupun kondisi yang baru saja masuk ke babak “Musim Semi Arab” ini apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan perang saudara tahap baru.
Kedua, sekutu Iran yang juga sesama Syiah bisa dibilang lenyap. Ancaman bulan sabit Syiah yang membayang-bayangi Arab Saudi dan juga negara-negara Sunni di Timur Tengah pun sirna. Bila ada teori Balance of Power di Kawasan Timur Tengah untuk menjaga keseimbangan politik internasional di kawasan tersebut, nah keseimbangan tersebut mungkin akan goyah karena Iran sebagai penyeimbang kekuatan sekutu Barat di Timur Tengah tidak memiliki kawan yang berarti lagi. Dan kemungkinan kekuatan Barat beserta sekutunya di Timur Tengah juga akan semakin kuat dan kokoh, bahasa mudahnya adalah mendekati keadaan ”unipolar”. Kendati berbagai sumber mengatakan bahwa keretakan hubungan Iran dan Suriah telah tampak beberapa tahun ini, tapi tetap saja Iran akan kehilangan salah satu sekutunya di Kawasan Timur Tengah, agar dapat bertahan di tengah konstelasi Timur Tengah, kemungkinan Iran hanya dapat mengandalkan kelompok-kelompok satelitnya saja.
Akhir dari tulisan ini mengajak kita untuk merefleksikan diri bahwa negara bisa saja hancur diakibatkan dari faktor dalam dan juga luar. Gesekan antar kepentingan yang tidak dapat dikendalikan dengan baik oleh pemerintah dan seluruh elemen negara tersebut akan memantik munculnya perang saudara, dan ini menjadi suatu stimulus negara tersebut bisa menjadi medan atau arena perang dari pihak-pihak eksternal yang menginginkan negara tersebut. Bahasa lain dari kondisi ini adalah “perang proksi”, bahwasannya negara-negara besar menggunakan kesempatan untuk bisa terlibat di dalam perpecahan negara tersebut dengan menggunakan pihak-pihak satelit (boneka), dan pastinya untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Terlebih Indonesia, yang secara alami memiliki sumber daya alam melimpah, jalur perdagangan yang strategis, dan juga kekuatan alamiah sebagai pemimpin di kawasan Asia Tenggara, secara pasti tidaklah sedikit negara-negara di dunia ini yang mempunyai kepentingan terhadap negara Indonesia.
Artikel Lainnya
-
217708/02/2020
-
98321/02/2021
-
284323/12/2021
-
Ketika Milenial Memasuki Dunia Kerja
157014/02/2020 -
Tambang, Pariwisata, dan Pilkada NTT
244122/03/2020 -
Melanggar Otoritas Demi Rakyat
170229/03/2020