Tambang, Pariwisata, dan Pilkada NTT

Tambang, Pariwisata, dan Pilkada NTT 22/03/2020 2441 view Politik pixabay.com

Perhelatan pesta demokrasi untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) serentak tahun 2020 tingkat Provinsi NTT sudah diambang pintu.

Dari 22 kabupaten, ada 9 kabupaten akan menggelar pilkada serentak. Diantaranya, Kabupaten Manggarai, Ngada, Manggarai Barat, Sumba Timur, Sumba Barat, Sabu Raijua, Belu, Malaka, dan Timor Tengah Utara.

Bicara pemilu biasanya identik dengan kepentingan, strategi dan beragam janji-janji lainnya. Nyanyian merdu: “tolak tambang” acap kali mengalir indah dari mulut para Cabup dan Cawabub. Biasanya disela-sela sosialisasi atau kampanye nyanyian merdu tolak tambang selalu dihidangkan dan diperdengarkan oleh masyarakat pemilih.

Sebab untuk NTT sendiri, keberadaan tambang selalu dan harus ditolak. Walau pada kenyataanya, masih ada beberapa kepala daerah tertentu yang cukup doyan untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) bagi para investor asing.

Apakah daerah-daerah yang ada pertambangan sudah menjadi kaya? Ya, kalaupun kaya, itu hanya dalam khayalan. Sebab yang terjadi justru sebaliknya. Banyak daerah-daerah yang memberi IUP, pada akhirnya menyisakan banyak luka, kesengsaraan, kematian dan juga pengrusakan lingkungan yang sungguh masif.

Beberapa daerah berikut ini, yang hemat penulis bisa dijadikan contoh yang amat akurat. Pertama, tambang pasir besi di pantai Nangaba yang berada di wilayah Kabupaten Ende. Keberadaan tambang pasir besi yang dikerjakan oleh PT. Grand Victory Resources periode 2010-2015 ini telah mengakibatkan pengrusakan lingkungan hidup, hingga meningkatnya abrasi yang dapat merusak badan jalan negara (Voxntt.com, 06/12/2017).

Dampak positif dari keberadaan tambang ini pun tak jelas. Penilaian ini dikuatkan oleh fakta yang sering membuktikan dengan amat jelas bahwa kehidupan perekonomian masyarakat Ende saat itu justru tetap berada di tempat. Sementara pengrusakan lingkungan dan ekosistem laut adalah realitas buruk yang terus dipraktekan. Bahkan hingga kini, jarak antar pantai dan badan jalan negara justru semakin sempit.

Kedua, tambang di Torong Besi Manggarai-Flores-NTT. Bayangkan bukit yang semula dijadikan lahan pertanian dan pusat kehidupan masyarakat berubah menjadi liang menganga yang tidak mungkin lagi ada kehidupan.

Ketiga, penambangan emas oleh PT. Grand Nusantara yang berlokasi di Batugosok-Kabupaten Manggarai Barat. Dimana pemerintah setempat memberikan izin penggalian tambang, yang secara formal masih pada eksplorasi, namun dalam kenyataannya justru terjadi kegiatan eksploitasi yang justru telah berdampak pada pengrusakan lingkungan. Selain itu wilayah NTT pada tahun 2018, masih dikepung oleh 309 izin tambang yang tersebar di 17 kabupaten se-NTT (kupang.tribunnews.com, 15/03/2018).

Di tengah realitas semakin banyaknya IUP, gubernur dan wagub NTT justru melawannya. Untuk itu, publik NTT perlu memberikan apresiasi kepada Gubernur dan Wagub periode 2018-2023 Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef Nae Soi yang pada awal pelantikan sudah memberikan penegasan untuk memoratorium izin seputar pertambangan.

Lebih lanjut Laiskodat kembali menegaskan bahwa selama moratorium gubernur dan wagub bersama tim khusus akan meneliti apakah setiap aktifitas pertambangan sudah memenuhi persyaratan dan peraturan menurut UU Pertambangan Mineral dan Batubara atau tidak (flores.co, 05/09/2018).

Hemat penulis, pernyataan dan penegasan yang disampaikan Viktor dan Josep Nai Soi, pastilah lahir dari sebuah pemahaman tentang tambang itu sendiri. Bahwasanya, pertambangan adalah kegiatan paling merusak alam dan kehidupan sosial yang dimiliki orang kaya dan hanya menguntungkan orang kaya.

Itulah sebabnya, pertambangan menjadi satu sisi yang darinya dapat kita saksikan jurang pemisah antara orang kaya dan yang miskin. Pertambangan juga tidak pernah merukunkan atau pun mempersatukan kedua golongan ini.

Cobalah kita tengok dan berkaca pada perusahaan tambang Freeport di Papua. Amat jelas, secara ekonomis hanya menguntungkan orang kaya (Investor dan Pemerintah). Bayangkan saja PT. Freeport di Timika-Papua yang sejak tahun 1967 mengeksplorasi dan mengeksploitasi kandungan emas sejauh ini tidak pernah menambah tingkat kesejahteraan rakyat Timika-Papua.

Realitas destruktif di atas justru langsung melegitimasi bahwa kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dan hingga saat ini korban nyawa para karyawan dan juga masyarakat terus mengalami kenaikan.

Di sisi lain, Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang amat kaya. Tempat, budaya dan daerah-daerah pariwisata tak terhitung banyak dan nilainya. Rata-rata di setiap kabupaten dan kecamatan memiliki tempat pariwisata yang sungguh unik dan memukau.

Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah lebih mengedepankan pengembangan dan perawatan tempat-tempat pariwisata terkait secara berkelanjutan. Sebab tempat wisata yang memiliki nilai tinggi bagi peningkatan PAD hanyalah tempat atau daerah pariwisata yang memiliki fasilitas pendukung yang cukup, serta dirawat secara baik dan penuh tanggung jawab.

Ketika perhatian terhadap pariwisata menjadi salah satu prioritas utama pemerintah, maka IUP sebaiknya dihentikan. Sebab sudah sangat jelas bahwa tambang selalu mengarah pada sebuah orientasi pembangunan selain memiliki sedikit keuntungan namun lebih banyak memiliki kerugian yang amat besar. Sedangkan pembangunan berbasiskan pariwisata selalu berorientasi pada satu tekad yakni kemajuan dengan tanpa ada pengrusakan.

Walau pemilukada serentak belum dilaksanakan, namun kita semua pasti memiliki keyakinan bahwa pemimpin itu sudah dipersiapkan oleh Yang Maha Kuasa. Jadi kita sebagai masyarakat pemilih tak perlu takut dan risau yang berkelebihan.

Atas keyakinan bahwa Tuhan sudah menyiapkan pemimpin terpilih untuk kesembilan kabupaten terkait, maka sebagai masyarakat yang kritis kita wajib memberikan satu pesan yakni tolak tambang. Jauhkan pikiran bahwa pembangunan berbasiskan tambang akan mensejahterakan masyarakat. Namun sebaliknya budayakan pikiran untuk menjadikan pariwisata sebagai salah satu orientasi pembangunan humanis yang mampu mensejahterahkan masyarakat banyak.

Sebab konsep pembangunan yang utuh selalu bernaung di bawah jargon pembangunan yang berkelanjutan tanpa meninggalkan korban dan luka. Sebaliknya konsep dan praksis pembangunan yang membawa kerusakan yang berkelanjutan senantiasa segera dilenyapkan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya