Apakah Childfree membawa Kebahagiaan? Tinjauan Filsafat Stoikisme

Esensi dari sebuah pernikahan adalah adanya kelahiran seorang anak. Hal ini merupakan pandangan umum yang mana ada dalam benak pikiran semua orang. Namun, dewasa ini apakah sungguh masih berlaku bahwa semua orang masih berpikir bahwa esensi perkawinan adalah kelahiran seorang anak? Tidak. Tim Kompas melakukan analisis menggunakan data mikro yang menghasilkan bahwa selama tahun 2012-2022 terjadi penurunan proposal angka kelahiran perempuan. Tahun 2012 berjumlah 70,6 persen perempuan melahirkan bayi hidup dari 66,5 juta perempuan usia 15-49 tahun. Lalu, pada tahun 2022, terjadi penurunan jumlah menjadi 66,4 persen dari 73,1 juta perempuan di rentang usia yang sama.
Pernikahan yang bertujuan akan adanya kelahiran bukan lagi menjadi tolok ukur kebahagiaan sebuah keluarga. Keputusan untuk memilih hanya hidup berpasangan tanpa adanya kelahiran seorang anak sudah terjadi di Indonesia. Keputusan keluarga untuk memilih tidak adanya kelahiran anak disebut childfree. Fenomena ini mulai menjadi viral sejak tahun 2020 ketika seorang Youtuber yang bernama Gita Savitri Devi mendeklarasikan dirinya merupakan seorang yang memilih untuk childfree. Childfree bukanlah fenomena baru melainkan sudah terjadi sejak tahun 1500-an di negara Perancis, Inggris, dan Belanda. Karakteristik masyarakat dari negara-negara tersebut yang giat bekerja, fokus pada karir, mandiri, dan tidak mau direpotkan melalui kehadiran anak menjadi latar belakang lahirnya childfree.
Childfree pada awalnya adalah sebuah gerakan feminisme yang mengartikan bahwa perempuan tidak melulu menjadi pribadi yang bertanggung jawab akan kebersihan rumah tangga dan anak. Perempuan sejatinya memiliki otoritas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, terlebih dalam hal mengendalikan tubuhnya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang kuat dan mandiri sehingga hak dan martabat yang melekat dalam dirinya menjadi nyata bahwa mereka memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Konstruksi sosial masyarakat memandang bahwa perempuan adalah pribadi-pribadi yang rapuh, emosional, dan tidak mandiri. Pendapat tersebut sungguh merusak kesetaraan hak dan martabat pribadi manusia sebagai makhluk sosial. Gagasan tersebut lahir dari ideologi patriarki yang mana seharusnya tidak perlu dilanjutkan turun temurun seperti sebuah tradisi.
Gagasan filsafat stoa atau stoikisme menjadi salah satu sarana untuk menegakkan feminisme di Indonesia. Penegakan feminisme ini juga hendak menunjukkan bahwa di balik perempuan yang memiliki martabat, mereka bebas untuk memilih jalan hidupnya, salah satunya dengan memilih hidup childfree. Stoikisme memiliki gagasan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidup atau kebahagiaan mereka dengan berlandaskan pada akal budi. Akal budi ini akan membuahkan keputusan dengan pertimbangan tujuan, nilai, dan keadaan individu dalam menentukan keputusan tersebut.
Filsafat stoikisme menyumbangkan dua gagasan penting, yakni hidup berdampingan dengan alam dan pengendalian diri. Hidup berdampingan dengan alam yang dimaksud adalah manusia yang mampu menggunakan akal atau rasio untuk melakukan suatu kebajikan. Penggunaan nalar digunakan guna mengerti jalan kebahagiaan yang hendak ditempuh seperti apa dan apa itu kebahagiaan menurut pribadi setiap orang. Hal ini menjadi sebuah pertimbangan yang berangkat dari tujuan, nilai, dan keadaan individu. Kedua ialah pengendalian diri. Pengendalian diri memberikan fokus utama pada kemampuan untuk mengenal dan memahami diri baik secara internal maupun eksternal. Hal ini menjadi penting karena memahami pengetahuan sebagai sarana untuk membuat keputusan guna mengerti sejauh mana keputusan tersebut mampu mempengaruhi sesuatu
Reinhold Niebuhr, seorang teolog Amerika menekankan pentingnya pengenalan dan pemahaman akan pengenalan diri dari faktor eksternal. Epictetus juga memberikan pemahaman bahwa pengenalan diri secara eksternal melibatkan pengetahuan di luar diri sendiri. Filsafat stoikisme mengajarkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan diri merupakan suatu proses penting untuk menentukan kebahagiaan karena kemampuan mengendalikan menuntut pribadi untuk mampu mengerti tujuan, nilai, dan persepsi yang hendak dicapai serta melalui cara tertentu. Henry Manampiring adalah salah satu tokoh yang telah mengajarkan ajaran stoikisme kepada banyak orang melalui bukunya yang berjudul “Filosofi Teras”.
Dalam bukunya, Henry menjelaskan bahwa kebahagiaan itu berasal dari kata ataraxia dan apatheia. Ataraxia berasal dari kata a=not dan tarassein=to trouble yakni bahagia berarti tidak ada tanggungan. Sedangkan, apatheia, berasal dari kata a=not, dan pathos=suffering yaitu “tidak ada penderitaan”, tidak ada emosi, tidak terganggu oleh nafsu negatif seperti iri, dengki, cemburu, dan kecewa. Stoik mengajak banyak orang untuk mampu mengenali diri mereka sendiri sehingga mampu memegang kendali dan menentukan arah kebahagiaan mereka melalui pengenalan eksternal dan internal.
Fenomena childfree bisa dikatakan sebagai fenomena yang belum terlalu dikenal oleh banyak orang. Namun, hal tersebut juga menjadi batu sandungan bagi masyarakat yang masih memegang erat budaya mereka masing-masing yang mana mengartikan bahwa perkawinan mengandaikan adanya kelahiran seorang anak. Hal ini menjadi persoalan dewasa ini karena dengan diikuti oleh teknologi yang semakin canggih, pemikiran manusia pun juga demikian sehingga muncul fenomena-fenomena baru yang mana perlu ditinjau dari berbagai bidang yang terlebih merupakan pemikiran yang rasional.
Pemikiran stoisime menjadi sarana untuk mengerti bahwa fenomena childfree merupakan keputusan dari setiap orang secara bebas. Bebas ini diartikan bahwa keputusan tersebut bukanlah buah dari pemikiran pendek, melainkan pemikiran panjang yang mampu ditinjau dari segi nilai, tujuan, dan persepsi. Oleh karena itu, pengendalian diri penting dimiliki oleh setiap orang sebagai bentuk respon atas persoalan yang ada, secara khusus childfree. Kebahagiaan setiap orang berbeda-beda sehingga keputusan untuk childfree bisa dikatakan sebagai salah satu sarana untuk memperoleh kebahagiaan. Fenomena ini membuktikkan bahwa zaman yang semakin maju, menuntut pemikiran setiap manusia untuk semakin berpikir ke depan dan mengerti orientasi hidup yang hendak dijalani sehingga hidup tidak sekedar hidup, tetapi mengerti tujuan hidup demi kebahagiaan yang hendak diperoleh.
Artikel Lainnya
-
94101/09/2021
-
118826/04/2020
-
29805/08/2025
-
Childfree: Sebuah Pilihan yang Menuai Kontroversi
161830/08/2021 -
Sejuta Cinta untuk Palestina: Momentum Membangkitkan Persatuan Ummat
34628/06/2024 -
Perempuan dan Revolusi Industri Keempat
166118/10/2019