Andai Dulu Saya Gunakan Kartu Jakarta Pintar dengan Bijak

Mahasiswa PBSI UNJ 2022
Andai Dulu Saya Gunakan Kartu Jakarta Pintar dengan Bijak 30/08/2024 217 view Pendidikan Ilustrasi orang yang konsumtif (Pixabay/Ray_Shrewsberry)

Suatu siang, saat berjalan menuju halte TransJakarta, saya bertemu dengan tetangga yang baru pulang sekolah. Anak itu masih SD, mengenakan celana merah panjang, tas Jansport motif pisang, sepatu Converse All Star berwarna hitam dan putih, dan jaket GAP biru dongker–semuanya original.

Ketika melihat saya, ia menyapa, “Bang!” sambil menganggukkan kepala. Saya pun membalas, “Kece juga lu, Tong!”

Dia hanya cengar-cengir. Karena penasaran, saya bertanya dari mana ia mendapatkan uang untuk membeli tas, sepatu, dan jaketnya. Dengan cengiran tengil, ia menjawab bahwa semuanya dibeli menggunakan uang Kartu Jakarta Pintar (KJP). Kemudian, ia meninggalkan saya sambil menghisap rokok.

Pertemuan ini mengingatkan saya pada masa SMK saya–ketika saya juga menerima KJP. Uang tersebut saya gunakan untuk membeli barang-barang branded. Tak jarang saya mencairkan dana KJP untuk hal-hal konsumtif seperti membeli sepatu Converse/Vans, jaket H&M/Uniqlo, tas Jansport/Fjallraven, atau pergi ke Puncak (Bogor).

Waktu itu, setiap bulan sekali saya mendapat (+-) Rp 250.000 dan setiap enam bulan sekali saya mendapat (+-) Rp 1.250.000–kalau kebijakan sekarang saya tidak tahu. Seharusnya uang itu bisa saya tabung untuk modal mencari kerja setelah lulus.

Setelah lulus sekolah, barulah saya menyesalinya. Lulus sekolah adalah masa tersulit dalam hidup saya. Saya melamar pekerjaan ke banyak tempat dan menjalani beberapa wawancara, tetapi tidak ada yang memanggil saya untuk bekerja.

Melamar pekerjaan di negara ini juga butuh biaya yang cukup besar–meskipun kita hidup di era digital. Nyatanya, berkas-berkas fisik lamaran tetap harus dibawa saat wawancara.

Selain permasalahan di atas, saya juga sangat menyesal karena tidak memanfaatkan uang Rp 250.000 per bulan dari KJP untuk membeli sembako murah. Padahal, dengan anggaran tersebut, saya bisa membeli satu kilogram daging sapi seharga Rp 35.000, satu kilogram daging ayam seharga Rp 8.000, satu pax susu UHT (isi 24 kemasan/pax) seharga Rp 30.000.

Sebenarnya, masih banyak yang tidak saya sebutkan. Ada beras premium, ikan kembung, telur ayam, dan lain-lain. Kalau ditulis semuanya, mah, kalian bisa pusing sendiri bacanya.

Ehm. rasa sayang banget, nggak sih, saya menyia-nyiakan ini semua?

Rasanya ingin memaki dirinya sendiri, “Kok bisa yang ada dipikiran saya dulu, cuma barang-barang branded saja?” Waduh, saya jadi makin geregetan kalau mengingatnya

Merefleksikan Kembali

Ketika saya merefleksikan kembali, saya menemukan beberapa faktor: mengapa saya bersikap konsumtif kala itu. Faktor pertama adalah pengaruh lingkungan. Saya sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan. Jika teman-teman saya bersikap konsumtif, maka saya juga cenderung bersikap konsumtif. Kala itu, saya masih dalam proses mencari jati diri. Dalam pikiran saya, memiliki barang-barang branded bisa menaikan status sosial, dan meningkatkan rasa percaya diri.

Sumpah waktu sekolah saya insecure sekali!

Jean Baudrillard menangkap kondisi ini dalam konsep "masyarakat konsumen". Ia memadukan teori “nilai tukar” dan teori “nilai guna” dari Karl Marx, dengan “semiologi” Roland Barthes, untuk menjelaskan bahwa barang-barang tidak lagi dinilai hanya berdasarkan esensi kegunaannya saja.

Maka akhirnya, nilai tukar barang didasarkan pada nilai simbolik yang tersemat di dalamnya. Gampangnya mah, konsumsi barang-barang branded menjadi jalan untuk memenuhi keinginan dan meningkatkan status sosial.

Ini semua berkaitan dengan hasrat untuk diakui, kan?

Menurut Jacques Lacan, pada dasarnya manusia memiliki hasrat yang berasal dari rasa kekosongan dalam dirinya. Kekosongan ini muncul karena keinginan manusia yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi. Oleh karena itu, manusia selalu mencari cara untuk merasa lengkap dan utuh. Dan, konsep ini dikenal dengan nama "lackness" (kekurangan).

Dalam kasus saya, keinginan untuk memiliki barang-barang branded, muncul sebagai upaya untuk mengisi kekosongan dalam diri saya.
Saya berharap bahwa dengan memiliki barang-barang tersebut, saya akan merasa lebih percaya diri. Dan, hasrat dalam diri saya inilah, terus mendorong saya untuk memenuhi keinginan tersebut.

Faktor kedua adalah pengaruh media sosial. Media sosial sering menampilkan gaya hidup glamor dan mewah yang membuat saya ingin menirunya. Padahal, gaya hidup tersebut seringkali tidak realistis dan tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi saya.

Masih merujuk pada Baudrillard, ia menggambarkan fenomena ini sebagai “simulacra” (simulakra), yaitu gambaran realitas yang tidak benar-benar mewakili kenyataan. Citra-citra yang kita lihat di media sosial sering kali sudah difilter. Ini bisa menciptakan standar yang tidak realistis.
Saya pun terjebak dalam ilusi ini. Saya mengira kalau saya mengikuti citra-citra ideal di media sosial, saya akan lebih berharga dan bahagia.

Namun nyatanya? Citra ideal di media sosial, hanya membuat saya semakin jauh dari realitas diri saya yang sebenarnya.

Lalu, faktor ketiga adalah kurangnya edukasi tentang pentingnya hemat dan bijak dalam mengelola keuangan. Saya jadi tidak menyadari kalau sikap konsumtif, bisa merugikan saya di masa depan. Sayangnya, Pemprov DKI Jakarta dan pihak sekolah tidak memberikan edukasi tentang pentingnya mengelola keuangan kepada siswanya.

Pesan untuk Pemprov, Pihak Sekolah, Orang Tua, serta Siswa di Jakarta

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerjasama antara Pemprov DKI Jakarta, pihak sekolah, dan orang tua siswa. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan sosialisasi tentang bahaya perilaku konsumtif dan pentingnya pengelolaan keuangan yang bijak.

Pemerintah bisa menetapkan aturan "boleh dan tidak boleh" untuk mengarahkan perilaku siswa agar tidak konsumtif. Konsep ini sejalan dengan teori Michel Foucault mengenai governmentality. Yaitu, cara pemerintah mengatur perilaku masyarakat dengan membuat kita tunduk pada aturan, dan menciptakan masyarakat yang patuh.

Foucault menjelaskan governmentality melalui konsep panopticon. Yaitu, sistem pengawasan di mana masyarakat merasa selalu diawasi, sehingga kita harus menyesuaikan perilaku dengan norma yang sudah ditetapkan.

Dengan penerapan konsep ini, diharapkan siswa tidak hanya patuh terhadap aturan. Tetapi, siswa juga mulai menyadari pentingnya pengelolaan keuangan dengan bijak, agar mereka dapat mempersiapkan masa depannya dengan lebih baik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya