Anak Yang Membunuh

Berita pembunuhan itu cukup mengagetkan. Ini bukan karena korbannya yang masih anak-anak dan baru berusia sekitar 5 tahun. Tapi lebih dari itu, si pelaku ternyata juga anak-anak yang masih berusia sekitar 15 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Semakin membuat kaget lagi, si pelaku ternyata justru mengakui kejahatannya tersebut dan menyerahkan diri ke polisi dan ketika diinvestigasi oleh pihak keamanan, si pelaku dengan tenang mengatakan merasa puas terhadap apa yang telah dilakukannya tanpa adanya penyesalan.
Kejadian tersebut terjadi di daerah Sawah Besar Jakarta Pusat beberapa waktu lalu dengan korban berinisial APA dan pelaku berinisial NF.
Menurut pengakuan si pelaku, pembunuhan itu direncanakan sebelumnya. Ada keinginan membunuh sejak lama dan tak bisa ditahan lagi, akhirnya terjadilah pembunuhan tersebut.
Banyak orang yang merasa terkejut terhadap peristiwa tersebut. Bahkan ada yang kemudian melabeli si pelaku dengan istilah psikopat. Namun kita harus ingat bahwa pelaku kejadian tersebut sekali lagi masih anak-anak. Melabeli seorang anak dengan sebutan tersebut terkesan buru-buru dan tentunya bukan sesuatu yang bijak.
Jika kita runut lebih dalam, ada beberapa faktor pada diri si pelaku sehingga dia memiliki keberanian untuk melakukan tindakan itu semua.
Berdasarkan investigasi pihak berwajib si pelaku memiliki hobi menonton film-film yang berbau kekerasan, sadisme bahkan pembunuhan. Film yang sering ditontonnya itu antara lain adalah film Chuky dan The Slender Man.
Ada kemungkinan insprirasi kejahatan yang dilakukan si pelaku berasal dari film-film yang ditontonnya tersebut. Adegan-adegan di film tersebut terekam dalam ingatan si pelaku dan lama-kelamaan mengilhami pelaku untuk melakukan hal yang sama terhadap apa yang ada dan dilakukan oleh tokoh- tokoh dalam film tersebut, yaitu kekerasan, sadisme bahkan pembunuhan.
Karakter negatif dalam film-film yang ditonton pelaku seolah menjadi referensi yang memengaruhi nilai pada diri si pelaku bahwa melakukan kekerasan, sadisme dan pembunuhan adalah sesuatu hal yang wajar dan biasa saja. Apalagi si pelaku mulai menonton film-film yang mengandung kekerasan, sadisme dan pembunuhan itu semenjak usia belia.
Lebih membahayakan lagi jika anak tersebut dalam menonton film tidak didampingi oleh orang tua atau keluarganya. Kita memahami bersama bahwa anak-anak terkadang belum bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah.
Perilaku anak bisa disebabkan dari apa yang dia peroleh dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dari adegan-adegan yang ada dalam film-film tersebut. Untuk itu peran orang tua sangat dibutuhkan dalam hal mengawasi dan membimbing anak terhadap menu-menu tontonan yang boleh dan atau tidak boleh ditonton. Tantangan orang tua dan keluarga semakin besar di era sekarang ini, di mana tontonan yang berupa film-film yang mengandung unsur-unsur negatif seperti kekerasan, sadisme ataupun pembunuhan mudah sekali diakses melalui smartphone hanya dengan menekan tombol saja.
Hal lain yang perlu diwaspadai orang tua adalah bahwa meskipun kategori film yang ditonton oleh anak kita adalah film anak-anak atau pun film kartun, bukan tidak mungkin di dalam film tersebut terdapat unsur negatif seperti kekerasan, sadisme dan pembunuhan. Untuk itu filter dari orang tua dan keluarga perlu dilakukan sedini mungkin karena yang harus pertama dan utama mengawasi tumbuh kembang anak dari sisi fisik, psikis, moral maupun sosial adalah orang tua. Jangan sampai gara-gara kita sebagai orang tua yang kemudian lalai mengawasi tumbuh kembang anak kita sekarang ini, hal tersebut menjadikan anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan yang kita harapkan dan akhirnya kita menyesal di kemudian hari.
Potensi kekerasasan yang berujung pada pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku semakin tumbuh dan menguat jika lingkungan si pelaku yang masih anak-anak juga menoleransi adanya kekerasan. Ini berarti bahwa tontonan si pelaku yang sudah berupa film-film yang menggambarkan kekerasan, sadisme dan pembunuhan ditambah lagi oleh suasana rumah tangga yang tidak kondusif seperti seringnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Menurut penulis hal ini menambah keyakinan dari si pelaku yang masih anak-anak bahwa melakukan kekerasan bahkan pembunuhan adalah sesuatu yang lumrah dan bisa diterima.
Atas tragedi pembunuhan tersebut, tiba-tiba dari dasar hati saya terbersit pertanyaan, jangan-jangan kita yang salah sebagai orang tua tidak mendampingi anak-anak dalam menonton film kesukaan mereka. Jangan-jangan kita tidak memberikan perhatian serta memberikan contoh yang baik kepada anak-anak kita. Jangan-jangan anak-anak yang suka melakukan kekerasan seperti yang pelaku lakukan merupakan bentuk protes dari jiwa mereka yang merindukan suri tauladan, kasih sayang, pendampingan dan bimbingan yang baik dari lingkungan, orang tua dan keluarga. Mari instrospeksi diri bersama-sama.
Artikel Lainnya
-
210303/04/2022
-
456428/09/2019
-
134704/11/2021
-
Netralitas ASN dalam Menyongsong Tahun Politik 2024
119429/01/2022 -
111707/12/2023
-
Bertahan di Antara Tembok 4x3 Meter
18417/12/2024