Apresiasi Guru Hebat Matim

Esais dan Penulis
Apresiasi Guru Hebat Matim 07/12/2023 1117 view Pendidikan https://pin.it/Pb3AeBP

Tesisnya, semua guru kita adalah guru yang berprestasi. Pikiran dan gerak tubuhnya menjadi panutan murid. Tuntunannya menjadikan para murid bertumbuh menjadi manusia yang utuh (hominisasi sekaligus humanisasi).

Guru berprestasi itu membentuk karakter dan menggali kecerdasan murid. Dengan itu, guru sedang menuntun arah dan pilihan hidup seorang manusia. Seseorang menjadi manusia, itu karena pengabdian seorang guru. Itu sebuah prestasi.

Pengabdian memang dekat dengan prestasi. Tanpa pengabdian, seorang guru tak mungkin mendekati prestasi. Pada gelombang pengabdian itulah seorang guru menemukan buih-buih panggilan (vocatio). Buih-buih panggilan itu merembes dalam darah dan daging guru untuk terus tekun dalam mendidik generasi bangsa.

Kali ini kita mengulik sang pendidik yang agak unik. Di kelas, mungkin saja metode mengajarnya persis guru umumnya. Di luar kelas, mereka “liar” dalam ide dan bakat. Setidak itu yang membekas dari tapak-tapak jejak yang terrekam.

Sederhananya, membaca jejak karya murid, bisa dilihat dinding atau mading sekolah. Itu prestasi sekaligus refleksi tuntunan guru. Membaca karya guru, bisa dilihat dari jejak digital atau laman online sekolah. Geliat literasinya ada di situ. Beberapa guru bisa menjadi pemantik geliat literasi itu.

Yang bisa disebut kali ini adalah Vinsen Nurdin, I Wayan Suarnata dan Berto Manti di Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi NTT. Vinsen Nurdin adalah seorang guru di SMAN 3 Borong (Kec. Borong); I Wayan Suarnata, guru di SMAN 7 Kota Komba (Kec. Kota Komba); Berto Manti, guru di SMKN 1 Borong (sebelumnya guru di SMAK Pancasila Borong, Kec. Borong).

Ketiga guru tersebut dikenal karena karya dan bakatnya. Tampaknya, mereka tak mau diam hanya sebagai guru yang berprestasi mendidik murid di kelas. Bahwa ilmu tak boleh habis di ruang kelas; ilmu mesti dibagikan kepada siapa saja yang bersedia menjadi “murid”.

Dalilnya, guru pasti ada, kalau murid ada. Masyarakat adalah “murid” karena bersedia mengambil ide dan menekuni bakat para guru. Guru hebat adalah guru yang juga bisa berbagi ide dan bakatnya kepada masyarakat luas.

Vinsen Nurdin menekuni dunia literasi dengan bakat menulis. Mungkin ia tak perlu wara-wiri di berbagai media cetak/online, tulisannya cukup konsisten di laman online sekolah: https://sman3borong.sch.id. Ide-idenya berterbaran di situ. Ia tak ragu, apa pun yang terbersit dalam pikirannya, ia tuangkan dalam tulisan.

Setali-tiga-uang dengan guru Vinsen, ada I Wayan Suarnata. Ia guru Seni Rupa. Selain kreativitas seni (handicraft), rupa-rupa idenya terulas secara dalam rangkaian kata. Ia menulis dengan konsisten. Tulisannya dapat diakses di laman: https://sman7kotakomba.sch.id. Para sejawat guru dan masyarakat dapat mendetak pikiran sang guru itu.

Lantas mengapa para guru menulis? Kedua guru itu tidak sedang menulis diary yang berisi curhat. Tak sedu-sedan itu. Mereka sedang mengurai ide, sebab mencintai panggilannya. Dalam tulisannya, guru membaca fenomena sosial di depan pagar-pagar sekolah; guru mengabstraksikan pesan dan kebijakan pendidikan yang buntu di benak publik.

Pendidikan merupakan dunia persilatan para guru. Pangkal dan ujung persoalannya dipahami dan dirasakan oleh para guru. Publik hanya bisa menduga dan mereka-reka apa yang sedang terjadi pada pendidikan. Membaca tulisan guru sesungguhnya membantu publik untuk lebih paham apa yang sedang terjadi pada dunia dan pendidikan kita.

Itu berarti ada semacam “long life education” yang utuh. Kalau murid diharuskan untuk belajar seumur hidup, maka guru pun mengajar penuh pengabdian sepanjang hayat. Tidak mesti di sekolah, dimana pun bisa terjadi proses pembelajaran. Tentu karena manusia adalah mahkluk pembelajar: selama ada murid, guru pasti ada.

Jejak eksistensi guru dalam proses “long life education” adalah tulisan. Setiap kata yang tertulis pasti benar dan mencerahkan. Sebab ia guru. Dalam tulisan, guru mungkin saja keliru, tetapi guru tak pernah berbohong. Tak ada intrik di tiap stilistikanya.

Oleh karena itu, guru yang berani menulis adalah guru telah sembuh dari gagab tata bahasa. Guru yang tulisannya mudah diakses publik adalah guru yang tergerak mendidik insan pembelajar. Secara literasi, itu hebat!

Vinsen Nurdin dan I Wayan Suarnata adalah guru hebat itu. Mereka menulis bukan untuk diri sendiri. Mereka menulis bukan untuk sebuah pencapaian prestasi narsistik, bukan pula karena proyek literasi. Mereka menulis untuk bisa dibaca dan bisa mendidik publik. Itu saja.

Bahwa dalam aktivitas menulis itu ada pengakuan; ada apresiasi; ada kritik. Tetapi semua itu adalah resultante, bukan tujuan. Esensi menulis itu berbagi ide pada “tungku” persilangan pikiran untuk mencapai pemahaman. Setiap tindakan atau gerakan perubahan itu selalu bermula dari ide. Sebuah perubahan kian absurd bila ide tidak di-eksposisi-kan.

Guru Berto Manti “meng-eksposisi-kan” sekaligus ide dan rasa dalam tarian. Ia menulis dengan harmoni raga dan irama. Pada tiap tarian yang diciptakannya, tersirat ungkapan syukur, pujian, doa atau bahkan kritik sosial.

Dengan tarian, guru Berto menulis dengan kata yang sembunyi. Ada bunyi yang berisi; ada lenggok yang berdialog. Mereka yang berlafaz rasa yang sama, akan paham setiap makna tarian itu, bahkan ikut tercemplung ke dalamnya.

Penulis Inggris dan filsuf Alan Wilson Watts (1915-1973) menulis, “the only way to make sense out of change is to plunge into it, move with it, and join the dance”. Menarilah bila ingin merasakan sebuah perubahan. Guru Berto Manti mendetak sebuah perubahan dalam gerak raga, rasa dan irama tarian.

Itu juga literasi. Sebab dalam tarian, ada penghalusan rasa; ada pendidikan karakter; ada ungkapan sosial dan budaya. Guru Berto meramu semua itu tidak hanya untuk anak didiknya, tetapi masyarakat dan umat (gereja). Ia telah melakukan yang terbaik “pro patria et ecclesia”.

Kelak, di usia senjanya, guru Berto Manti tak lagi menjadi guru, tetapi ia bisa berbuat untuk perubahan melalui tarian. Begitu pun juga dengan guru Vinsen Nurdin dan I Wayan Suarnata. Kelak mereka bisa jadi “guru” bagi masyarakat dengan menulis. Hebat, guru! Bergeliatlah terus dalam literasi itu. Semoga bisa merambat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya