Netralitas ASN dalam Menyongsong Tahun Politik 2024

Pesta demokrasi terbesar di Indonesia akan dilangsungkan dalam dua tahun ke depan. Pemilu 2024 sudah di depan mata. Beberapa partai politik sudah “curi start” untuk menarik minat masyarakat agar memilih partainya, misalnya dengan memasang wajah tokoh-tokoh partai politiknya pada baliho.
Ramainya manuver partai politik dalam menyongsong pemilu mendatang dihantui pula oleh permasalahan tiada akhir yang menyangkut netralitas ASN. Contoh kasus pelanggaran netralitas ASN terjadi pada bulan November 2021, di mana seorang pejabat kementerian kedapatan menghadiri acara ulang tahun salah satu partai politik.
Hal ini tentu menciderai asas netralitas ASN yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Lebih lanjut pada pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan Pasal 23 PP Nomor 11 Tahun 2017, jelas tertulis bahwa PNS dilarang untuk menjadi anggota atau pengurus partai politik.
Rilis data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menyebutkan bahwa selama tahun 2020, terdapat 2.007 orang pelanggar netralitas dalam pilkada yang telah diproses oleh KASN, dengan 86 persen kasus yang telah ditindaklanjuti oleh PPK. Jumlah ini naik lebih dari 500 persen dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 386 kasus.
Adapun penyebab ketidaknetralan tersebut adalah ikatan persaudaraan dan kepentingan karir, di mana mayoritas responden berada di Pulau Sulawesi dan masing-masing sebanyak 59 persen dan 67,9 persen. Fakta ini membuktikan bahwa netralitas ASN masih menjadi persoalan serius dalam penyelenggaraan pilkada maupun pilpres.
Faktor pertama penyebab ketidaknetralan ASN dalam Pilkada tahun 2020 adalah hubungan persaudaraan yang tidak lagi sebatas ikatan marga. Kecenderungan menggunakan pendekatan informal ini digunakan oleh para pasangan calon saat jaringan parpol bersifat lemah (Berenshot dan Aspinall, 2020). Politik kekerabatan sejatinya telah berakar sejak masa Orde Baru, di mana birokrasi digunakan sebagai salah satu mesin pemenangan pemilu. Ironisnya, praktik ini semakin menguat di seluruh wilayah nusantara, dan mendorong terbentuknya dinasti politik. (Prianto dalam Arianto, 2021).
Sedangkan, faktor kedua yang menjadi penyebab ketidaknetralan ASN terkait kepentingan karir, di mana kandidat politik yang menjadi kepala daerah akan sangat memengaruhi proses rekrutmen dan penempatan jabatan. Hal ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2017 yang menyebutkan bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (kepala daerah sebagai delegasi presiden di daerah) merupakan pembina ASN yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN.
Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi karir ASN, seperti yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau pada periode 2011-2012. Disebutkan bahwa mutasi pegawai yang dilakukan didasarkan pada kedekatan dengan Bupati/Wakil Bupati dan anggota DPRD, sehingga berdampak pada jenjang karir dan kompetensi jabatan PNS (Purnomo, Rusli, dan Muchid, 2020).
Terkait sanksi yang diberikan atas pelanggaran netraliras, sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerinah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS yang terdiri dari sanksi disiplin sedang dan berat. Dalam pasal 7 angka (3), jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari: penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun; penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun; dan penurunan pangkat setingkan lebih rendah selama satu tahun. Sedangkan pada angka (4) di pasal yang sama, jenis hukuman disiplin berat terdiri dari: penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun; pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; pembebasan dari jabatan; pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Hal ini patut disayangkan karena pelanggaran administratif ini tidak termasuk tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik.
Netralitas ASN di Luar Negeri
Aparatur Sipil Negara dan problema netralitas politiknya tidak hanya dirasakan di Indonesia, namun juga di negara-negara lain. Amerika Serikat, pada perkembangan sistem kepegawaiannya pernah melakukan pemilihan pejabat publik berdasarkan latar belakang keluarga, pendidikan, hingga sarat dengan praktik sogok-menyogok.
Namun tahun 1955, Amerika Serikat membentuk Federal Service Entrance Examination (FSEE) untuk mengadakan rekrutmen calon PNS di bermacam sekolah dan universitas. Di tahun 1978 menekankan sistem merit termasuk larangan menggunakan fasilitas kantor untuk aktivitas politik. Upaya lain untuk menghindarkan intervensi politik dari pejabat politik adalah, begitu pejabat politik menjadi pimpinan birokrasi pemerintahan, maka pejabat tersebut harus melepaskan ikatan dan atribut partai politiknya, dan seutuhnya menjadi pejabat publik.
Selanjutnya Singapura, di mana administrasi publik dan birokrasinya sangat dipengaruhi oleh kolonial Inggris selama 140 tahun. Di tahun 1959, Singapura membentuk Public Service Commission yang ditandai dengan netralitas politik dan berbasis loyalitas. Dalam hal perekrutan, Singapura berfokus pada kualifikasi, kinerja, dan potensi (Rahman, Satispi, Adiyasha, 2020).
Sedangkan di Jepang memiliki beberapa values dalam administrasi publiknya. Pertama, value sistem hukum, yakni seluruh ASN wajib tunduk pada konstitusi, khususnya konstitusi ASN. Kedua, value keseimbangan antara politisi dan birokrat, tidak berpihak, dan mendahulukan kesejahteraan rakyat. Katiga, value hierarkisme dalam promosi jabatan pengambilan keputusan (Berman et al dalam Rahman, Satispi, Adiyasha, 2020).
Mengawal Netralitas ASN
Dari sejarahnya sejak masa Orde Baru, intervensi politik pada birokrasi di Indonesia sangat melekat seolah tidak dapat dipisahkan. Apalagi dengan kontestasi pemilu dan pilkada ke depan, tantangan pengawasan netralitas ASN semakin berat dan beragam.
Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menekan tingkat pelangggaran netralitas ASN. Pertama, penguatan fungsi KASN sebagai aktor utama pengawasan netralitas ASN dengan meningkatkan kerja sama dan sinergitas dengan KPU, Bawaslu, Kemenpan RB, dan Ombudsman. Selain itu, penguatan KASN dapat dilakukan dengan menambah kewenangan KASN untuk memberikan sanksi tidak hanya memberikan rekomendasi.
Kedua, revisi Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada terkait mekanisme pemberian sanksi bukan hanya administratif namun juga sanksi pidana. Ketiga, perlunya peninjauan kembali terhadap kedudukan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, sebaiknya dilakukan oleh pejabat karir tertinggi ASN di daerah, yaitu Sekretaris Daerah. Keempat, membangun budaya profesionalitas di dalam tubuh birokrasi agar menghilangkan ketergantungan politik yang selama ini terjadi antara politisi dan birokrasi. Karena sejatinya, ASN memiliki peran sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Artikel Lainnya
-
11107/07/2024
-
317321/06/2021
-
37124/10/2023
-
Indonesia Mati di Lumbung Padi
318426/03/2020 -
Relawan Desa Lawan Covid-19 dan Seruan Ekonomi Masyarakat
94220/05/2020 -
Melenting Kembali Pasca Tsunami
69631/12/2021