Kerja Terus Sampai Gila: UU Cipta Kerja dan Janji Manis yang Mengabaikan Kesehatan Mental

Kerja Terus Sampai Gila: UU Cipta Kerja dan Janji Manis yang Mengabaikan Kesehatan Mental 10/10/2024 138 view Ekonomi pontianak.go.id

Bayangkan pagi yang cerah ketika seorang pekerja berangkat ke kantor, mengenakan senyum meski hatinya penuh beban. Di balik senyum itu, ada kegelisahan yang tak tampak ketakutan akan ketidakpastian, cemas apakah kontraknya akan diperpanjang, atau apakah bulan ini cukup untuk membayar tagihan. Pemandangan ini bukanlah hal baru bagi banyak pekerja di Indonesia, terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, yang semakin membatasi hak-hak dasar mereka. Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini, dengan tema “Sudah Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Mental di Tempat Kerja” datang di tengah kondisi seperti ini, sebuah pengingat akan urgensi memperbaiki kesejahteraan mental yang terus terabaikan.

UU Cipta Kerja, yang diajukan dengan janji muluk mempercepat pertumbuhan ekonomi, seolah membawa harapan untuk membuka peluang pekerjaan. Namun, dalam praktiknya, banyak yang menilai undang-undang ini justru menciptakan lingkungan kerja yang semakin menekan pekerja. Hak-hak mereka untuk mendapatkan gaji yang layak, keamanan kerja, dan perlindungan sosial tergerus oleh fleksibilitas yang lebih menguntungkan perusahaan. Sementara, pekerja terjebak dalam siklus ketidakpastian yang menggerogoti kesehatan mental mereka.

Mari kita bayangkan seorang pekerja yang tiba-tiba diberitahu bahwa kontraknya tidak diperpanjang. Tidak ada peringatan, tidak ada pesangon yang cukup untuk menopang kebutuhan hidup. Dalam situasi seperti ini, bagaimana mungkin kesehatan mental tidak terpengaruh? Kecemasan berlipat ganda, rasa aman runtuh, dan tiba-tiba masa depan terlihat buram. UU Cipta Kerja, dengan segala fleksibilitasnya, memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk mengambil keputusan sepihak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan mental pekerja. Ketika ketidakpastian menjadi norma, stres menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Situasi ini diperparah dengan kenyataan bahwa budaya kerja di Indonesia sering kali tidak memberi ruang bagi kesehatan mental. Jam kerja yang panjang, target yang tinggi, serta minimnya cuti atau waktu istirahat membuat pekerja terus berada di bawah tekanan. “Produktivitas di atas segalanya” demikian semboyan yang tidak tertulis, yang sayangnya diikuti oleh banyak perusahaan. Tidak mengherankan jika angka kasus burnout meningkat, di mana pekerja merasa benar-benar habis secara fisik dan emosional. Mereka kelelahan, tetapi terus dipaksa untuk bekerja dengan intensitas yang sama, seakan mereka adalah mesin tanpa kebutuhan istirahat.

Ironisnya, di tengah tekanan luar biasa ini, kesehatan mental tetap dianggap sebagai isu pinggiran. Banyak perusahaan yang belum menyadari bahwa kesehatan mental pekerja mereka adalah aset yang paling berharga. Alih-alih memberikan ruang untuk diskusi terbuka tentang stres atau kecemasan, para pekerja sering kali dipaksa untuk diam, takut dianggap lemah atau tidak mampu. Dalam lingkungan kerja seperti ini, membicarakan kesehatan mental bisa menjadi tabu, padahal masalah ini semakin nyata dirasakan oleh banyak pekerja.

UU Cipta Kerja tidak hanya membatasi hak-hak dasar pekerja, tetapi juga menciptakan iklim yang meremehkan pentingnya kesehatan mental. Ketika perlindungan hak-hak pekerja semakin berkurang, tekanan mental yang mereka alami semakin meningkat. Ketidakpastian soal pekerjaan, gaji yang tidak memadai, dan minimnya perlindungan sosial hanyalah beberapa dari sekian banyak masalah yang dihadapi para pekerja di Indonesia. Dan semua ini memiliki dampak yang langsung pada kesehatan mental mereka.

Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini harus menjadi titik balik. Tidak lagi cukup hanya berbicara tentang kesehatan mental sebagai bagian dari wacana kesejahteraan umum, kita harus memperjuangkannya sebagai hak yang fundamental di tempat kerja. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan satu pihak, seperti UU Cipta Kerja, dan mulai merancang regulasi yang memastikan kesejahteraan pekerja secara menyeluruh, termasuk kesehatan mental.

Perusahaan juga harus mulai memahami bahwa pekerja yang sehat secara mental akan lebih produktif dan kreatif. Ini bukan sekadar soal konseling di kantor atau ruang istirahat tambahan. Ini tentang membangun budaya kerja yang manusiawi, di mana pekerja dihargai sebagai individu yang memiliki kebutuhan emosional, bukan hanya sebagai alat produksi.

Sudah waktunya perusahaan dan pemerintah menempatkan kesehatan mental sebagai prioritas utama. Bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi untuk memastikan para pekerja dapat hidup dan bekerja dengan martabat. Kita harus berhenti memandang kesehatan mental sebagai isu yang bisa diabaikan di tempat kerja. Kesehatan mental adalah hak asasi, dan kita tidak bisa terus mengabaikannya di tengah kebijakan yang menekan dan eksploitatif.

Kini saatnya bagi kita semua untuk bangkit dan bersuara: kesehatan mental di tempat kerja bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan yang harus dilindungi oleh hukum, kebijakan, dan budaya kerja yang lebih peduli pada kesejahteraan manusia, bukan hanya keuntungan ekonomi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya