Virus dan Kekerasan: Refleksi atas Drama Series All Of Us Are Dead

Saat menonton All of Us Are Dead, mulanya saya hanya menikmati dan terhanyut pada alur dan cerita film, tanpa peduli pada makna yang selama ini tinggal di dalam oleh drama series tersebut. Hingga ada satu momen di mana aliran kesadaran saya mulai terinterupsi oleh sebuah dialog antara Lee-Byeong Chul dan Song Jae-Ik.
Dialog itu menggambarkan sesosok Byeong Chul yang kesal dan muak pada lingkungan sekolah tempat ia bekerja dan tempat anaknya sekolah. Pasalnya anaknya sering menjadi korban dari perundungan. Peristiwa itu kemudian mendorongnya untuk melaporkan pelaku perundungan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan.
Namun, pihak sekolah tak memberikan tindakan tegas; bahkan pihak yang seharusnya mampu mengatasi masalah tersebut, malah menganggap bahwa perundungan adalah hal yang lumrah di kalangan siswa, sehingga hal tersebut mesti dianggap sebagai suatu hal yang normal dan wajar. Selain itu, sang perundung pun—karena kuasa yang dimilikinya—berhasil merobohkan tuntutan keadilan tersebut.
Byeong Chul pun marah dengan kondisi tersebut. Ia juga frustasi karena anaknya sama sekali tak mampu untuk melawan para perundung itu. Bahkan pada momen tertentu, anaknya hendak mengakhiri hidupnya lantaran tak kuasa untuk melawan para perundung.
Byeong Chul di titik ini sadar bahwa lingkungan sekolahnya itu telah melakukan normalisasi pada perilaku kekerasan. Kondisi tersebut membawanya pada kesadaran bahwa tak ada jalan keluar bagi permasalahannya, selain bertindak sendiri. Berangkat dari situlah, ia kemudian berkehendak untuk menciptakan sebuah obat (virus) demi menuntaskan masalah yang dialami oleh anaknya.
Dalam dialog itu Byeong Chul pun menjelaskan, bahwa virus yang diciptakannya itu terinspirasi dari fenomena “tidak lumrah” yang ditemukannya. Ia melihat ada seekor tikus yang dengan berani melawan dan menyerang seekor kucing. Menurut Byeong Chul, kondisi aneh tersebut terjadi karena tikus itu telah sampai titik nadir dari rasa takut yang mengerikan, hingga tikus itu sampai pada sebuah kondisi di mana rasa takut itu bertransformasi menjadi sebuah daya perlawanan.
Byeong Chul pun akhirnya melakukan penelitian, hingga akhirnya menciptakan sebuah virus yang akan mampu membuat anaknya mampu menyerang para perundung; laiknya tikus yang akhirnya berontak pada pemangsanya. Ia pun kemudian menyuntikan cairan virus itu ke dalam tubuh anaknya. Meskipun akhirnya virus tersebut tidak bekerja dengan baik, karena virus itu justru malah menimbulkan masalah baru, yakni epidemi Zombie.
Awal mula penyebaran itu terjadi, lantaran ada seorang siswi yang tak sengaja tergigit oleh hamster yang telah terjangkit virus zombie milik Byeong Chul di dalam laboratoriumnya. Tapi epidemi zombie yang terjadi ini tidak membuat Byeong Chul menyesal, karena pada titik tertentu ia sadar bahwa tak hanya sekolahnya saja, akan tetapi masyarakat secara luas pun sedang sakit. Penyakit itu adalah normalisasi atas kekerasan.
Bagi saya pembiaran Byeong Chul merupakan sebuah ekspresi balas dendam dan juga merupakan wujud “penyadaran” Byeong Chul terhadap masyarakat yang sakit tersebut; dalam arti, Byeong Chul ingin agar masyarakat merasakan derita yang dialami oleh para korban kekerasan.
Saya rasa, zombie-zombie tersebut tampil sebagai perwujudan dari manusia-manusia yang telah larut dalam sistem kekerasan. Kita tahu bahwa zombie adalah mayat hidup, yang selalu lapar dan mencari mangsa untuk terus-menerus menyebar. Kekerasan pun rasanya demikian, ia mengubah seseorang menjadi mahluk baru (mahluk kekerasan), yang selalu mencari mangsa baru agar dapat menyebarkan dirinya.
Kondisi yang diciptakan oleh Byeong Chul itu menarik, saat manusia-manusia itu menjadi zombie, kita mungkin berpikir bahwa manusia sedang diinvasi oleh mahluk baru, atau kita bisa sebut bahwa telah lahir sebuah tatanan baru, yakni tatanan zombie. Namun, saya rasa kondisinya tidak demikian.
Tatanan zombie sebetulnya bukanlah tatanan baru. Tatanan pra dan pasca zombie sebetulnya tak berbeda sama sekali. Karena dua kondisi tersebut menandai sebuah tatanan kekerasan “yang sama”. Perbedaannya barangkali hanya satu: tatanan zombie merupakan sebuah kondisi di mana orang mulai sadar mengenai “bahaya” dari tatanan kekerasan tersebut. Dalam arti itu orang mulai tersadar, bahwa tatanan kekerasan tersebut ternyata menakutkan dan tak dikehendaki untuk ada. Setelah orang-orang lama terlarut dalam tatanan kekerasan yang dianggap normal, tatanan zombie nampak seperti sebuah pecut yang menyadarkan orang bahwa kondisi kekerasan ternyata mengerikan. Orang-orang tersebut ternyata tak beranjak dari dunia kehidupan kesehariannya, mereka hanya memiliki kesadaran baru.
Momen kesadaran baru ini muncul karena kekerasan sudah mencapai titik ekstrem: yakni ketika penegak yang mestinya dan idealnya menegakkan keadilan dan menyingkirkan kekerasan, kini telah menormalisasi tatanan kekerasan tersebut. Sehingga, di sinilah letak titik balik itu terjadi. Mungkin kita bisa sebut bahwa struktur sosial tersebut sedang mencoba menyeimbangkan dirinya: ketika sisi kebaikan atau struktur kebaikan mulai sekarat, hampir hilang, bahkan tak diminati oleh orang-orang, ia tiba-tiba terangkat ke permukaan kesadaran untuk kemudian mengingatkan bahwa ada yang bermasalah di dalam struktur ini.
Perlu saya tegaskan, bahwa virus itu persis merepresentasikan kekerasan itu sendiri. Kekerasan dalam arti ini menjadi semacam praktik memakan sesama, ia menyebar dan mereplikasi terus-menerus tanpa pandang bulu. Momen saat teman-teman Lee Chung San yang berubah menjadi zombie, bahkan kemudian menyerang Chung San dan teman-temannya adalah sebuah representasi bahwa kekerasan bisa merasuki siapapun, bahkan orang yang kita kira sebagai orang yang tak mungkin terkontaminasi oleh kekerasan, orang yang mengorbankan dirinya demi keselamatan orang lain, dan orang yang tak berdaya sama sekali. Dalam arti ini kekerasan itu sulit dibendung, ia bisa menyerang siapapun.
Film ini barangkali juga ingin menyampaikan bahwa hanya orang-orang dengan kemampuan yang tangguh dan kuat sajalah, yang mampu untuk tidak terjangkit oleh virus atau kekerasan. Butuh upaya ekstra, bahkan sampai pada titik meresikokan nyawa, hingga seseorang bisa bertahan dari gempuran kekerasan.
Saya pribadi pun cukup “puas” saat film ini tidak membangun cerita balas dendam atas perundungan yang dilakukan oleh Yoo Gwi-Nam kepada Min Eun Ji. Mengapa? Karena makna yang ingin disampaikan oleh film ini kemudian makin kentara.
Saat Min Eun Ji menjadi sosok setengah zombie dan setengah manusia (bahkan yang secara ironis dialami juga oleh perundungnya sendiri yakni Gwi-Nam), lalu saat Eun Ji hendak menyerang dan memangsa temannya sendiri; mengingatkan saya pada ungkapan Paulo Freire. Freire mengatakan “The oppreessed, instead of striving for liberation tend themselves to become oppressors”. Min Eun-Ji, alih-alih mencoba mencari Gwi-Nam dengan kekuatan barunya untuk membalas dendam atas perundungan yang pernah dialaminya, justru menyerang pada kawannya sendiri yang bahkan mengalami perundungan yang sama. Dalam arti ini Eun Ji telah menjadi Gwi-Nam sang perundung dan penindas. Min Eun Ji telah menjadi sesosok penindas baru, atau dalam bahasa Freire ia adalah orang tertindas yang menjadi penindas.
Peristiwa tersebut barangkali persis menggambarkan kenyataan kita hari ini, di mana korban kekerasan tak jarang menjadi sesosok penindas baru; apalagi saat ia mendapatkan kuasa yang mirip dengan penindasnya.
Artikel Lainnya
-
97016/12/2023
-
138402/07/2020
-
573923/10/2019
-
Anwar Usman dan Persoalan Integritas MK
108813/04/2022 -
112018/05/2021
-
Melestarikan Alam dengan Landasan Tauhid dan Ilmu Pengetahuan
32226/01/2025