Revitalisasi Wawasan Kebangsaan Melalui RUU HIP

Mahasiswa
Revitalisasi Wawasan Kebangsaan Melalui RUU HIP 02/07/2020 1420 view Lainnya id.wikipedia.org

Di tengah bencana global Pandemi Covid-19 yang meresahkan seluruh lapisan masyarakat, muncul suatu polemik yang menyita perhatian publik. Penetapan Rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) oleh DPR RI dalam Prolegnas prioritas 2020 menjadi pemicu terjadinya polemik. Polemik tersebut terjadi ketika adanya kontroversi dari berbagai pihak dalam menanggapi jalannya RUU HIP yang telah ditetapkan oleh DPR RI.

Sejumlah komponen masyarakat monolak RUU HIP yang dianggap akan mendegradasi nilai-nilai Pancasila sebagai “Philofische grondslaag. Pemerasan terhadap konsep Pancasila menjadi trisila dan ekasila sebisa mungkin menimbulkan ambiguitas dan multi interpretasi. Misalnya yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (3) RUU HIP yang berbunyi: (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. (2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu: gotong-royong.

Pemimpin Pusat (PP) Muhamadiyah Haedar Natsir berpendapat bahwa RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang. Dalam hal ini, Natsir melihat bahwa pemerintah sebaiknya lebih fokus dalam menangani situasi Pandemi Covid-19 yang mengancam kehidupan ketimbang melakukan pembahasan terkait dengan penetapan RUU HIP.

Selain itu juga, penetapan RUU HIP akan berpotensi membuka kembali perdebatan dan konflik ideologi yang semakin intensif, dikarenakan RUU HIP dianggap menurunkan derajat Pancasila dari norma fundamental negara (staatfundamentalnorm) menjadi norma instrumental.

Ada juga yang beranggapan bahwa perlunya UU HIP sebagai bingkai pelaksanaan kehidupan bernegara dalam menghadapi perubahan seperti perkembangan globalisasi, perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup warga negara. Anggapan-anggapan seperti ini yang menjadi duduk soal, di mana terjadi perbenturan ide-ide di dalam masyarakat sehingga terjadi polemik. Maka sangat dibutuhkan revitalisasi wawasan kebangsaan dalam menghadapi polemik RUU HIP.

Polemik RUU HIP

Diskursus tentang Rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memantik banyak perhatian publik. Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Natsir mengatakan bahwa pemerasan nilai-nilai Pancasila menjadi trisila dan ekasila merupakan salah satu bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.

Pemerasan ini dilatarbelakangi degan sebuah konsep historis tentang pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar Negara. Pemerasan ini dianggap akan mereduksi nilai-nilai Pancasila yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan mengabaikan piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan.

RUU HIP juga dinilai sangat kontroversi dikarenakan bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD 1945), Pancasila sebagai dasar negara.

Dalam UUD 1945 Pancasila merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan, karena itu Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat diubah atau ditafsirkan karena berpotensi akan menyimpang dari maksud yang sebenarnya dan melemahkan kedudukan Pancasila sebagai sebuah philosofische grondslag atau Weltanschauung negara Indonesia. Namun, yang menimbulkan polemik dari kalangan masyarakat saat ini, terkait dengan pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila serta penggunaan frasa “Ketuhana yang berkebudayaan”.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (3) RUU HIP di atas penggunaan istilah trisila dan ekasila menimbulkan kontroversi. Hal tersebut tergambar pada ketentuan Pasal 2 RUU HIP yang berbunyi, “Haluan ideologi Pancasila terdiri atas: pokok—pokok pikiran dan fungsi Haluan Ideologi Pancasila; tujuan sendi pokok, dan ciri pokok Pancasila; masyarakat Pancasila; dan Demokrasi Pancasila. Sehingga yang menjadi polemik di tengah masyarakat terkait dengan penggunaan trisila dan ekasila hanya mencakup salah satu dari empat bagian yang menyusun haluan ideologi Pancasila secara terintegrasi (Kristianus, The Columnist, 28/06/2020).

Pemakaian frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” merupakan frasa yang muncul saat pidato Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945. Sukarno menulis, “Bukan saja Bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan atas Tuhanya sendiri”. Seruan moral ini menunjukkan bahwa sejak awal ia tidak menghendaki Negara Indonesia didirikan atas keyakinan agama tertentu. Sukarno menghendaki adanya pemisahan yang tegas antara agama dan negara.

Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menyebut bahwa frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” yang dipakai oleh Sukarno merupakan semangat untuk mengembangkan asas Ketuhanan yang Maha Esa. Sama halnya dengan dengan frasa “Ketuhanan yang berkeadaban”. Yudi Latif menyebut bahwa asas Ketuhanan telah melalui perdebatan panjang para pendiri bangsa yang kemudian memunculkan mufakat pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.

Berdasarkan uraian di atas, pada hemat saya yang menjadi titik pemicu terjadinya kontroversi disebabkan karena adanya perbenturan pemahaman terkait ‘konsep’ yang dinilai agak melenceng sehingga menimbulkan multi interpretasi dari setiap individu. Jika diklarifikasi maksud Sukarno yang sebenarnya, ia ingin menegaskan bahwa dengan adanya frasa “ketuhanan yang berkebudayaan” ia menghendaki supaya tidak menimbulkan sikap egoisme agama di tengah realitas perbedaan.

Sukarno juga mengharapkan supaya setiap individu mampu mengamalkan agamanya masing-masing sambil memegang sikap toleran untuk menghormati agama yang lain.

Revitalisasi Wawasan Kebangsaan

Rancangan Undang-Undang Ideologi Pancasila (RUU HIP) dinilai menimbulkan kontroversi di tanah air. Kontroversi tersebut terjadi karena sebagian berpendapat bahwa dengan keberadaan UU HIP justru akan mendegradasi nilai pancasila, berpotensi menghidupkan ideologi terlarang dan menimbulkan perpecahan kerukunan di antara warga negara.

Ada pula yang bersepakat bahwa dalam menghadapi berbagai tantangan seperti globalisasi, perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup maka perlu adanya UU HIP sebagai frame pelaksanaan negara dalam menghadapi perubahan dan berbagai tantangan hidup ini.

Dari dua anggapan tersebut, muncullah polemik di tengah masyarakat. Melihat polemik ini, maka diperlukan revitalisasi wawasan kebangsaan sebagai upaya untuk mendamaikan polemik yang terjadi saat ini.

Revitalisasi wawasan kebangsaan dimaknai bisa menghidupkan kembali “ruh” wawasan kebangsaan dalam kondisi masyarakat dewasa ini yang sedang terprovokasi dengan polemik RUU HIP.

Polemik RUU HIP mesti diafirmasikan secara lebih tegas sebagai sebuah ide atau sarana tukar pikiran (deliberasi substantif) tentang ide-ide kebangsaan. Polemik RUU HIP memacu setiap individu untuk memperkuat komitmen dan konsensus kebangsaan yang sudah ada.

Polemik ini menimbulkan kontroversi karena adanya perbenturan ide-ide multi interpretasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Masyarakat membutuhkan akselerasi pendidikan kebangsaan sehingga ruang publik kita tidak diisi dengan dialog kebencian dan dialog kepentingan pribadi.

Berdasarkan uraian di atas, pada hemat saya perlu diklarifikasi secara menyeluruh terkait RUU HIP yang telah disahkan oleh DPR RI dalam prolegnas 2020 dengan langkah-langkah, Pertama: melihat RUU HIP sebagai ‘peluang’ untuk berdialog. RUU HIP merupakan kesempatan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk bisa berdialog dan memperkuat kembali (revitalisasi) identitas atau jati diri bangsa Indonesia yang terlihat mengalami disorientasi akibat perkembangan globalisasi.

Kedua: perlunya revitalisasi wawasan kebangsaan. Revitalisasi ini dilakukan sebagai upaya untuk mendamaikan polemik yang terjadi akibat kontroversi RUU HIP. Harus diakui bahwa RUU HIP menuai kontroversi dikarenakan adanya pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila serta penggunaan frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan”.

Ketiga: jeli melihat situasi. Pemerintah seharusnya tidak gegabah dalam menetapkan RUU HIP di tengah situasi Pandemi Covid-19. Misalnya, pengesahan UU Minerba yang baru disahkan atas nama prosedur formal di tengah situasi Pandemi Covid-19 menuai banyak kritikan. Oleh karena itu, penundaan pembahasan RUU HIP sebagai sebuah kebijakan strategis, supaya pemerintah lebih fokus dalam menangani Pandemi Covid-19 yang berdampak serius bagi kehidupan masyarakat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya