Anak Punk Aja Bela Palestina
Ada satu pemandangan yang menarik perhatian saya ketika melintasi tengah kota Groningen musim dingin sembilan tahun lalu. Di satu sudut alun-alun, di lokasi orang banyak berlalu-lalang, ada sekelompok orang membawa bendera dan membentangkan spanduk bertuliskan : Stop de Bezetting van Palestina!
“Hentikan Pendudukan atas Palestina” begitu Google menerjemahkan. Pemandangan ini menarik, bukan hanya dari konten demonstrasinya, tapi dari beberapa fakta yang menjadi penyerta dalam aksi tersebut.
Tentu ini bukan demonstrasi Palestina pertama yang saya lihat. Sebagai orang Indonesia, saya sudah terbiasa melihat yang demikian di tanah kelahiran. Tetapi, demonstrasi Palestina di negerinya Ratu Wilhelmina? Rasanya saya perlu menampar pipi untuk memastikan bahwa saya tidak sedang bermimpi.
Ada beberapa ‘keganjilan’ yang kemudian membuat saya menghentikan langkah dan mengambil kamera digital untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Pertama, saat demonstrasi berlangsung, tidak ada kejadian besar yang sedang terjadi di Palestina. Tidak ada balas-balasan rudal dan desingan peluru di Jalur Gaza. Tidak pula huru-hara. Kondisi cenderung aman (walaupun dari sudut pandang warga Palestina kata tersebut belum patut disematkan). Beda dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Kedua, demonstrasi dilakukan di negara minoritas muslim dan merupakan salah satu negara yang gemar menyulut kontroversi di kalangan umat Islam. Bahkan sebagian politisi berani menyerukan kampanye anti Islam terang-terangan di negeri tersebut.
Ketiga, sebagian peserta aksi adalah anak punk yang kerap mendapat stereotip negatif. Bukan hanya sering terpinggirkan dalam pergaulan sosial, mereka juga sering dianggap biang onar. Alih-alih menjadi juru selamat, kehadiran mereka justru dianggap meresahkan. Tapi toh citra buruk tersebut tidak menghalangi mereka menunjukkan kepeduliannya.
Representasi pembelaan anak punk terhadap Palestina di negara minoritas muslim menunjukkan betapa istimewanya isu ini. Dan isu apalagi yang dapat menggerakkan manusia tanpa melihat agama, suku, ras dan label lainnya selain isu kemanusiaan?
Okupasi Israel atas Palestina adalah kejahatan kemanusiaan. Di lini masa sudah sering kita temui meme bertuliskan: tidak perlu menjadi muslim untuk membela Palestina, cukup menjadi manusia. Kalau memang ada perikemanusiaan tersisa dalam diri kita, pastilah ada upaya untuk membantu rakyat Palestina. Minimal bersimpati.
Herannya urusan kemanusiaan yang menjadi dasar sifat-sifat manusia ini justru dibenturkan dengan perkara lain oleh gerombolan orang yang ngebet disebut nasionalis.
Jangan jauh-jauh urus Palestina, perhatikan saja dulu nasib bangsa sendiri, masih banyak saudara sebangsa yang kesulitan. Begitu mereka berujar.
Ujaran ini tampak bijak, tapi sesungguhnya menunjukkan logika mereka yang picik. Seolah-olah kalau sudah membantu Palestina hati kita menjadi pincang karena tidak bisa membantu yang lain. Sehingga hanya ada dua pilihan di hadapan kita: kalau mau bantu yang ini, maka tidak boleh bantu yang itu. Kita dipaksa meniadakan opsi untuk membantu keduanya.
Di arus yang lain, ada anjuran (yang lebih tepat disebut nyinyiran) terhadap apa yang sedang terjadi di Palestina: daripada hidup susah di bawah penjajahan, lebih baik pindah ke negara yang lebih aman. Seolah-olah perkara susah senang menjadi soalan utama dalam urusan ini.
Mereka memutus dan melipat lembar sejarah ribuan tahun yang ada di Palestina, lalu mensubstitusinya dengan perkara superfisial. Sudahlah lancang mengubur sejarah suatu kaum, pun mereka lancung dalam menerjemahkan kebahagiaan.
Kebahagiaan, dalam definisinya yang paling semu, tidak lain adalah pemenuhan kebutuhan bio-psikologis dengan kenikmatan (pleasure) dan upaya melepaskan diri dari segala bentuk kesengsaraan. Memang kebahagiaan ini bisa diperoleh secara instan. Postulatnya sederhana: cukup lari dari penderitaan, maka akan kau temui kebahagiaan.
Tetapi menyodorkan kebahagiaan yang demikian kepada rakyat Palestina adalah sebuah bentuk penghinaan. Selain sifatnya yang sangat sementara, kebahagiaan jenis itu juga akan membawa mereka pada rasa frustrasi karena tuntutan yang tinggi pada hal-hal yang bersifat materialistis.
Berkebalikan dari itu, kebahagiaan yang selalu diupayakan rakyat Palestina, diwariskan turun temurun, adalah kebahagiaan kudus dimana mereka menggantungkan dan mengabdikan dirinya pada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri (serving God). Mempertahankan Baitul Maqdis adalah salah satu bentuk serving God itu.
Dengan kebahagiaan yang demikian, mereka mencapai kebermaknaan hidup. Hal itu pula yang mendasari Victor Frankl menyusun logotherapy, yaitu agar manusia dapat menemukan makna di balik derita yang mereka alami.
Ironisnya, logoterapi yang disusun Frankl itu merupakan perasan air matanya ketika berada di kamp pembantaian Yahudi oleh Nazi. Perannya kini berganti. Andai Frankl masih hidup, barangkali dia akan menyeru saudara-saudaranya sesama Yahudi untuk mengakhiri agresi mereka. Bukan hanya karena berempati, tapi juga karena tau bahwa usaha mereka menggentarkan rakyat Palestina akan sia-sia belaka.
Artikel Lainnya
-
177504/06/2021
-
10307/07/2024
-
25525/07/2024
-
Melawan Apatisme Politik: Membangun Keterlibatan Aktif Generasi Muda di Pemilu 2024
44126/01/2024 -
Lockdown: Antara Kebijakan Kritis dan Negara yang Pesimis
133510/04/2020 -
Menggali Pemikiran René Descartes
101224/10/2023