Urgensitas Dialog Interreligius di Indonesia

Mahasiswa
Urgensitas Dialog Interreligius di Indonesia 23/03/2023 623 view Lainnya Serikatnews.com

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistis sekaligus bangsa yang problematis. Kenyataan itu tercetus dalam berbagai keanekaragaman yaitu agama, budaya, kesenian, dan bahasa. Namun di antara keanekaragaman yang ada, keanekaragaman agama menjadi sorotan utama dan menjadi sasaran diskusi yang serius di Indonesia.

Wacana tersebut diangkat bukan berdasarkan tanpa alasan melainkan dengan melihat pelbagai fenomena yang terjadi seperti kekerasan atas nama agama, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, pengrusakan tempat dan fasilitas peribadatan dan tindakan anarkis lainnya. Hal itu membawa dampak lanjutan bagi pereduksian nilai-nilai kemanusiaan sebagai subjek yang ada dalam dunia dan yang sejatinya menjadi aktor dalam mengusung kerukunan dan perdamaian di masyarakat.

Perbincangan mengenai agama yang terpecah-pecah dan dampaknya pada peperangan, penganiayaan, pembunuhan dan pengusiran merupakan topik yang sudah sekian lama terjadi sejak awal lahirnya agama-agama di dunia (Sindhunata, 2016). Kenyataan itu terjadi mungkin karena timbulnya perbedaan penafsiran dan pengajaran mengenai subjek yang mereka imani, mengabsolutkan pandangan atau doktrin yang berimbas pada pengekslusifan terhadap kelompok lain.

Sikap pesimistis terhadap eksistensi manusia yang berada dalam dunia menjadi bukti sebagaimana digagas oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Agama yang menjadi objek bagi manusia yang seharusnya membangun persaudaraan, persatuan dan perdamaian menjadi ajang bagi manusia-manusia untuk saling menafikan satu dengan yang lain. Pemanifestasian ajaran agama yang mengajarkan nilai-nilai moral dalam tatanan hidup bersama belum berdampak pada tindakan konkret dan hal itu hanya bergema dalam ruang ibadat.

Dialog Interreligius: Tiada Lain sebagai Dialog Antar Manusia

Dialog merupakan titik temu dalam mengakrabkan suatu relasi. Relasi yang hendak dibangun mengandaikan juga akan keterbukaan untuk merespon satu dengan yang lain. Cetusan ini mengandaikan juga adanya relasi ‘saling’ yang melibatkan dan merangkul sesama di sekitar. Sebab manusia secara in se merupakan makhluk yang ingin membangun relasi dengan pertama-tama menempatkan dialog sebagai media penghubung komunikasi.

Aspek dialog merupakan unsur yang hakiki dalam membangun suatu jalinan relasi (Dominggus, 2022). Manusia dalam realitas being-in-the-world tidak bisa menolak atau bahkan menegasikan kehadirannya yang selalu berada dengan yang lain. Sebab jika ia menegasikan kenyataan tersebut, pada saat yang sama ia menyangkal akan eksistensinya sebagai makhluk yang berada dalam dunia. Ia memposisikan diri sebagai makhluk yang teralienasi akan keberadaan orang lain di sekitar.

Sebagai makhluk yang ada dalam realitas being-in-the-world, memaksudkan juga akan tujuan dari relasi yang dibangun. Hal ini bukan menjadi suatu kebetulan tetapi sebuah kemauan yang melekat erat dalam diri setiap manusia. Manusia memiliki keinginan dalam diri untuk dihargai, dihormati akan harkat dan martabatnya serta diperhatikan. Ungkapan inilah yang menjadi indikasi bahwa dimensi kemanusiaan merupakan suatu frase penting dalam meluhurkannya. Manusia dilihat dari sudut pandang pribadi kaya akan keberagaman tetapi jika dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, kemanusiaan mencetuskan satu. Kemansuiaan yang dimaksud di sini tiada lain kesatuan dalam setiap pribadi dalam mengusahakan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diterima sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku.

Dialog Interreligius sebagai Sebuah Keharusan dalam Pluralitas Agama

Dalam kaitannya dengan dialog interreligius, manusia tak dapat memahami dan mengetahui akan eksistensi orang lain jika dialog tidak mendapat tempat yang utama dalam menjalin suatu relasi dengan sesama. Apalagi dalam suatu kenyataan akan pluralitas agama yang tak bisa dielakkan.

Perbedaan dan kekhasan dari masing-masing agama merupakan suatu khazanah yang perlu diperkenalkan kepada sesama yang tiada lain lewat dialog itu sendiri. Hal ini menjadi urgen karena seseorang atau sekelompok orang tidak berada dalam satu tempat yang sama dan tidak mungkin tidak berinteraksi dengan sesama.

Dilihat dari realitas sehari-hari, manusia selalu memposisikan dirinya sebagai makhluk yang dinamis dan tidak mau mendapat tempat dalam koridor yang teralienasi. Manusia dari hakikatnya mau berelasi dan mau membangun dialog dengan sesama dalam kesepadanannya. Dalam arti demikian, manusia dari sendirinya ingin bergerak dan hidup bersama dengan orang lain dan menunjukkan diri sebagai makhluk sosial. Dalam membangun relasi dan interaksi dengan sesama tentu akan ada hal-hal baru yang peroleh seperti persamaan dan perbedaan.

Perbedaan itu menjadi suatu hal yang lazim karena dari kodratnya manusia adalah pribadi dan tentu memiliki kekhasan dan keunikan yang ada pada dirinya.

Selain sebagai pribadi, manusia juga berbeda dalam hal pemahaman, pemikiran, keyakinan akan realitas tertinggi yakni Tuhan yang dianutnya (Rea, 2019). Untuk menghindari akan terjadinya suatu sikap memegahkan diri terhadap keyakinan yang dianutnya langkah konkret yang perlu ditempuh adalah dialog. Sebab dalam paradigma segelintir orang, perbedaan itu menjadi suatu hal yang mustahil dan aneh. Karena merasa orang lain aneh karena tidak sealiran dengan ajarannya maka langkah yang kerap ditempuh adalah pembasmian atau berusaha melenyapkan orang lain yang berada di sekitar serta memaksa orang lain agar berjalan sesuai dengan apa yang diyakini.

Tentu sikap altruistis dan egoistis semacam itu merupakan sebuah kedangkalan dalam membangun relasi yang harmonis dengan sesama. Jika orang tetap berada dalam lingkaran pemahaman akan ajaran dan keyakinannya sendiri, maka orang akan selalu berhadapan dengan sikap yang selalu digerakkan oleh fanatisme sentimental. Gerak fanatisme sentimental selalu menjerumuskan orang pada keputusan dalam mengambil suatu tindakan yang selalu radikal, anarkis dan rasis.

Keharusan dalam dialog interreligius hendaknya perlu dipahami tidak sekadar bersifat temporal yang hanya dilakukan jika ada masalah atau konflik (Moses, 2017). Artinya bahwa dialog itu tidak menunggu persoalan itu datang dan kemudian duduk bersama dan membahas permasalahan yang sudah terjadi.

Dialog interreligius dituntut kepada semua pihak untuk dilakukan terus menerus dalam kehidupan sehari-hari baik dalam forum yang formal maupun informal. Dengan demikian, dialog interreligius menuntut juga sikap keterbukaan terhadap sesama dan tentu tidak mengambil jarak dengan sesama yang berbeda keyakinan. Karena itu dibutuhkan juga pengkaderan-pengkaderan pribadi-pribadi yang dialogal dan yang mampu bersikap terbuka dan sampai pada kesadaran yang matang akan pentingnya dialog dalam membangun kerukunan dan cita rasa hidup bersama yang ditandai dengan persaudaraan, damai dan keharmonisan.

Keefektifan lainnya adalah jika dialog interreligius selalu dievaluasi, direfleksikan dan kemudian menjadi bahan diskusi yang perlu dipelajari dan disikapi lebih lanjut dalam semangat studi bersama (Moses, 2017). Dalam ruang diskusi bersama hendak mengisyaratkan bahwa dialog interreligius bukanlah suatu perkara yang mudah dan diselesaikan dalam sekali. Dialog interreligius melihat keseluruhan dimensi hidup manusia yang menggerakannya dan mengambil langkah konkrit dalam upaya menghadapi setiap permasalahan yang dialami oleh manusia. Sebab dialog itu sendiri merupakan dialog yang selalu berhubungan dengan manusia (Kristiawan, 2020).

Manusia dalam hidup bersama-sama dengan orang lain di dunia merupakan bentuk keprihatinan dari semua pihak. Keprihatinan yang dibuktikan tidak hanya berada di dalam ruang ide, konsep dalam suatu diskusi tetapi mampu menghasilkan komitmen bersama dalam membangun hidup yang harmonis dan damai. Dialog yang ditampilkan juga hendaknya memiliki spirit yang mampu menggerakkan semua orang sampai pada lapisan-lapisan masyarakat (Kristiawan, 2020). Spirit itu diterjemahkan juga dalam buah-buah cetusan hidup bersama di mana orang mampu menerima dan menghargai perbedaan bersama dalam hidup.

Relevansi Dialog Interreligius dan Kebebasan Beragama di Indonesia.

Masyarakat Indonesia yang hidup dalam keanekaragaman agama tentu perlu menyadari dengan kesungguhan hati akan hakikat kepluralitasannya (Sihomong, 2020). Dengan kesadaran yang ada tentu orang mulai berpikir mengenai sikap apa yang perlu dibangun dalam menyikapi kepluralitasan agama. Menyikapi di sini tidak hendak mengatakan bahwa pluralitas agama itu buruk tetapi lebih menekankan sikap siap siaga akan keterpecahan atau bahkan peperangan.

Perbedaan yang ditampilkan itu unik dan menampilkan kekhasan dari masing-masing agama besar yang ada di Indonesia seperti Islam, Katolik, Protestan, Konghucu, Budha, dan Hindu. Pada tingkat kesadaran ini, orang dapat melanjutkan pada tahap berikutnya yakni mengenai dialog interreligius. Dialog interreligius tidak hanya menyentuh perkara bagaimana dialog itu harus dijalankan tetapi lebih pada apa yang mestinya ditampilkan dari buah-buah dialog interreligius itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya