Pengemis Sebagai Pekerjaan

Tampaknya kecenderungan orang untuk pasif, tidak mau mengubah keadaan hidup, semakin banyak kita jumpai.
Misalnya saja setiap habis Jumatan, banyak orang-orang yang mengemis di gerbang masjid. Dan anehnya orangnya ya tetap itu-itu saja. Pemandangan yang mengharukan sekaligus menggelikan.
Mengemis memang pekerjaan yang tidak haram namun rendah secara martabat. Bagaimana tidak, dengan kondisi tubuh yang masih sehat dan tidak kekurangan sesuatu apapun, mereka tidak mau bekerja yang lebih baik. Mereka memilih menggantungkan hidupnya dari pemberian orang lain. Sangat buruk sekali pola pikirnya.
Padahal menurut psikolog Eric Hoffer orang yang dalam keadaan tertindas, dilingkupi perasaan putus asa harusnya punya daya juang yang tinggi. Bisa jadi ia sebenarnya sudah tahu apa yang harusnya dilakukan tapi tidak mau melakukannya.
Apa yang mendasari orang jadi pengemis? Korban sistemkah ? Rendahnya jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia? Bagaimana dengan membuka lapangan pekerjaan sendiri?
Mungkin alasan kenapa banyak orang mengemis adaalah karena mengemis merupakan hal yang mudah, tidak membutuhkan modal apapun. Cukup dengan membawa badan, tampang melas, dan membuang rasa malu. Tentu hal yang mudah dibanding dengan kerja jadi kuli atau berdagang.
Ada dua jenis pengemis di lapangan; pengemis yang terpaksa atau pengemis yang disengaja.
Pada golongan pertama mereka mengemis karena tidak ada kemungkinan lain mencari uang selain mengemis. Mereka merupakan kaum yang terpinggirkan. Kelompok yang kedua adalah karena sifat malas. Mengemis menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Ia menganggap bahwa mengemis sama seperti pekerjaan lainnya dan sadar diri melakukannya.
Kemudian ada yang bilang, "kalau nggak mau ngasih nggak usah banyak berteori. Ada pengemis korban sistem, ada pengemis karena malaslah? Kalau punya uang beri kalau tidak nggak apa-apa. Hitung-hitung sedekah tanpa peduli pengemis jenis pertama atau kedua...".
Orang-orang yang kalah dalam pergulatan, orang-orang yang tersisih dari persaingan kemajuan, orang-orang yang kurang beruntung dalam peta sosial mungkin mempunyai psikologi inferior bahkan semacam fatalisme, kecemburuan sosial; "...ngapain kerja yang berat-berat wong selama ini yang kerja beneran malah tidak dihargai, yang digaji gede malah yang main-main. Wong para pejabat kerjanya juga pada ngemis-ngemis jabatan atau proyek. Kalau tidak begitu ya korupsi.".
Melihat situasi politik yang terjadi di kalangan elite politik tanpa disadari juga mempengaruhi psikologi rakyat kecil yang menonton. "...Lha itu para pejabat kan orang pintar, orang sekolahan tapi setelah menjabat kelakuannya sama semua: menjilat dan mengemis. Ngapain kita kerja yang bener; pemimpin kita ngajarin begitu kok?". Mungkin kira-kira begitu jeritan batin para pengemis yang menyindir politisi-politisi negeri “tetangga.”
Sudah pasti fenomena ini merupakan penyakit masyarakat. Kalau tidak diobati akan mempengaruhi stabilitas kehidupan bermasyarakat.
Masalahnya bagaimana menyelesaikannya? Karena yang harus dibenahi adalah orang-orang yang membuat aturan. Sedangkan masyarakat bawah adalah korban dari sistem tersebut.
Kita menyerukan aspirasi tapi tidak pernah ditanggapi. Kita boleh mengkritik proses pemerintahan dan itu memang diatur dalam Undang-Undang. Tapi semua aspirasi dari bawah ke atas dianggap hanya sebagai iklan (tidak dianggap).
Sama seperti melarang kucing memakan ikan padahal ikan adalah makanan sehari-harinya.
Apa benar kita mengkritik para pejabat dengan jujur bukan karena iri? Bukan grundelan orang yang “kalah”?
Seorang menteri pernah mengatakan: orang baik pun jika masuk pemerintahan bisa menjadi iblis. Bisakah kita menjamin seandainya diri kita masuk ke lingkungan tersebut tetap bisa adil dan objektif. Semoga saja kritik yang kita lakukan bukan karena kita tidak kebagian “jatah” tapi benar-benar sebuah kritik yang tulus dan objektif.
Tentang mental pengemis, pernah disinggung oleh ilmuwan barat bahwa etos kerja bangsa melayu memang sangat rendah. Jika sudah bekerja di kantor pemerintahan, merasa kejayaan dan kegemilangan hidup telah diraihnya. Namun kalau mau jujur pada diri sendiri, semua previlige yang telah diberikan tidak diimbangi dengan produktivitas kerja. Apalagi kalau sudah berada di posisi yang enak, etos kerja menjadi turun. Karena yang dicarinya hanya posisi, bukan hasil kerja.
Sepengamatan penulis yang sering berhubungan dengan instansi pemerintahan, sering sekali menyaksikan karyawan yang tidak jelas kerjanya apa. Hanya nongkrong, main internet dan game. Dan proses tersebut berulang terus-menerus. Tapi anehnya dengan santai (tanpa rasa malu) menerima gaji tiap bulan. Mungkin juga terjadi di lingkungan-lingkungan lain; semacam korupsi waktu (kewajiban bekerja).
Sebuah ironi menyaksikan hal tersebut di mana orang yang sudah dapat pekerjaan enak, posisi bagus malah tidak bersungguh-sungguh dalam bekerja. Sedangkan masyarakat bawah yang demi membawa uang beberapa rupiah saja harus bersusah payah dalam bekerja. Jelas ketimpangan sosial.
Tidak dipungkiri sistem yang ada saat ini memang membuat orang dilenakan dalam zona nyaman. Yang punya akses kepada pekerjaan yang lebih baik (orang sekolahan) atau yang sudah bekerja akan cenderung pasif di ruangannya masing-masing. Namun lebih sering makan gaji buta. Sedangkan orang yang kurang beruntung, terlunta-lunta dalam mencari pekerjaan.
Mungkin jawaban dari orang sekolahan: “Gue udah sekolah mahal-mahal sudah sepantasnya digaji gede. Lagian salah lo sendiri sih gak sekolah.”
Melihat fenomena rendahnya etos kerja berkaitan dengan sistem perekrutan karyawan. Sistem yang hanya mementingkan formalitas saja tidak akan efektif untuk merekrut orang-orang yang tepat.
Diperlukan sistem yang lebih revolusioner. Sistem perekrutan karyawaan dalam kultur barat misalnya, bukan lagi pertanyaannya kamu lulusan apa tapi kamu bisa kerja apa? Karena orang yang mempunyai passion terhadap pekerjaannya tidak mudah jenuh karena ia selalu mencari kebaruan dalam rutinitas kerja.
Berbanding terbalik dengan kultur perekrutan yang ada di negeri “tetangga”. Sistem perekrutan yang penuh basa-basi dan terlalu hipokrit. Tes yang tidak ada korelasi indikator penilaian terhadap apa yang akan kita kerjakan. Sebuah pekerjaan yang tidak harus orang yang sekolah tinggi yang bisa melakukannya. Karena pada kenyataannya ijazah juga tidak berpengaruh kalau sudah diterima, yang penting kamu bisa kerja apa tidak? Punya keterampilan atau tidak?
Jika memang lingkungan tidak kondusif bagi lapangan pekerjaan, perlu kiranya kesadaran diri untuk berwiraswasta. Membuka usaha sesuai dengan keterampilan kita, bisa dicoba mulai dari servis elektronik, jualan makanan, pakaian, atau obat-obatan. Tidak perlu malu dengan usaha yang kita geluti meskipun kecil yang penting menghasilkan.
Mungkin alasan orang cenderung tidak produktif lagi dalam bekerja karena faktor pemenuhan kepuasan yang sudah puncak. Tidak ada tantangan lagi. Sudah merasa bangga betul dengan dirinya hari ini. Lalu jika kamu sudah puas hari ini, buat apa ada hari esok?
Artikel Lainnya
-
38326/10/2023
-
169829/03/2020
-
114821/05/2020
-
Autentisitas Penilaian Sikap Saat Belajar Dari Rumah
169414/03/2021 -
Menyoal Kebijakan Belajar Dari Rumah Dan Perkuliahan Online
199129/03/2020 -
Bom Hiroshima-Nagasaki Sinyal Kemerdekaan Indonesia
203207/11/2020