Ekstensifikasi Lahan Gambut di Masa Pandemi Covid-19: Solusi yang Tidak Solutif

Mahasiswa STFK Ledalero
Ekstensifikasi Lahan Gambut di Masa Pandemi Covid-19: Solusi yang Tidak Solutif 03/05/2020 1489 view Opini Mingguan WRI-Indonesia.org

Rencana Presiden Jokowi membuka lahan persawahan baru dengan melakukan ekstensifikasi pada 900 ribu hektare lahan gambut di Kalimantan Tengah (Kalteng) mesti ditinjau secara kritis.

Kita memang tidak dapat menafikan alasan Jokowi bahwa rencana ekstensifikasi ini dilatarbelakangi oleh menipisnya persediaan pangan akibat pandemi covid-19. Namun, apakah ekstensifikasi lahan gambut menjadi areal persawahan menjadi solusi yang terbaik untuk menangkal persediaan pangan yang semakin menipis semasa pandemi covid-19? Apakah tidak ada solusi lain?

Hemat penulis, rupa-rupanya rencana ini tidak akan berjalan muluk dan memiliki aneka ketimpangan. Hal ini terjadi karena upaya ekstensifikasi ini tidak mengatasi persoalan persediaan pangan selama covid-19 secara masif dan malah menimbulkan permasalahan baru. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Menurut penelitian para ilmuwan dari Singapore University of Technology and Design (SUTD), Indonesia akan mengatasi 97 % persen kasus pandemi covid-19 pada 6 Juni 2020, 99 % pada 23 Juni 2020, dan 100 % berakhir pada 6 September 2020 (detik.com). Itu berarti tinggal empat bulan lagi pandemi covid-19 akan berakhir di Indonesia dengan pengandaian bahwa penelitian di atas benar.

Sementara itu, rencana ekstensifikasi lahan gambut menjadi lahan persawahan baru digulirkan dan tidak diketahui secara pasti kapan implementasinya. Jika ekstensifikasi ini terjadi, maka butuh waktu yang lama dan bahkan berbulan-bulan untuk mengerjakannya dengan mempertimbangkan bahwa lahan gambut yang akan diekstensifikasi seluas 900 ribu hektare. Kemudian benih padi membutuhkan waktu 110 hari sampai 120 hari atau 3 hingga 4 bulan untuk dipanen (litbangpertanian.go.id). Dengan demikian, panenan padi di lahan yang telah diekstensifikasi tersebut akan terjadi pada bulan September atau Oktober 2020 (menimbang waktu penanamannya ialah bulan Mei atau Juni 2020). Sementara itu, pandemi covid-19 di Indonesia akan berakhir secara total pada 6 September 2020 menurut penelitian para ilmuwan SUTD Singapura yang juga melakukan penelitian yang sama di 28 negara lainnya.

Hal ini berati bahwa setelah pandemi covid-19 berakhir, panenan padi di lahan gambut yang diekstensifikasi terjadi kemudian. Padahal, tujuan utama ekstensifikasi tersebut ialah mengatasi kekurangan pangan selama pandemi covid-19. Miris bukan?

Persoalan lain yang muncul ialah ekstensifikasi lahan gambut menjadi areal persawahan akan dikerjakan oleh BUMN, seperti PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, dan Berdikari, tanpa intervensi masyarakat sekitar lahan gambut. Tentunya mereka membutuhkan biaya negara yang besar untuk mengerjakannya dan membayar upah pekerja. Padahal di masa pandemi covid-19 ini, kondisi keuangan negara sedang tidak membaik. Dengan demikian, dua kenyataan ini bertolak belakang.

Namun, Jokowi masih getol untuk melakukan ekstensifikasi tanpa memperhitungkan keuangan negara yang tidak stabil. Tragisnya, belum ada kepastian yang jelas tentang prosedur-prosedur pembagian hasil panen padi atau beras serta pihak-pihak yang bertanggungjawab di dalamnya. Apakah masyarakat akan membelinya dari BUMN yang mengerjakannya ataukah pemerintah akan membagi secara gratis kepada masyarakat? Terkait hal ini, belum ada konfirmasi yang komprehensif dari pemerintah.

Selain itu, upaya ekstensifikasi ini tidak memikirkan prospek jangka panjang, yakni upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup dan satwa liar yang hidup di lahan gambut. Upaya ekstensifikasi di lahan gambut juga pernah dilakukan oleh Soeharto di rezim Orde Baru. Kala itu, tujuan utamanya ialah pembukaan kebun kelapa sawit. Namun pada tahun 2001, negara mengalami kerugian sebesar Rp 1,6 triliun untuk mengatasi persoalan kerusakan lingkungan yang besar pada lahan gambut, semisal kebakaran.

Kita hanya berharap agar (pemerintah) Jokowi belajar dari kegagalan ini dan tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi menurut manajer kampanye pangan, air, dan ekosistem esensial Walhi, Wahyu A. Perdana, kegagalan di masa Orba bisa terulang kembali karena banyak peneliti sekarang tidak memahami secara komprehensif tentang ekosistem rawa gambut (Tempo.com). Hal ini terjadi karena masih banyak kebakaran di musim kemarau dan banjir pada musim penghujan di lahan gambut akibat adanya ekstensifikasi lahan gambut menjadi kelapa sawit. Akibatnya, pemanasan global terus meningkat akibat adanya penipisan terhadap lapisan ozon dan efek rumah kaca. Padahal, dunia (PBB) telah membaptis Kalimantan sebagai paru-paru dunia karena hutan-hutannya, termasuk lahan gambutnya untuk menyokong upaya meminimalisir pemanasan global.

Lalu apa yang mesti dilakukan terhadap kondisi pangan yang semakin berkurang di masa pandemi covid-19 apabila rencana ekstensifikasi ditolak? Pertama, perlu dilakukannya upaya intensifikasi terhadap tanaman pangan, seperti padi dan jagung. Artinya, pemerintah memberikan bibit-bibit padi dan jagung yang unggul kepada masyarakat agar cepat dipanen serta menghasilkan buah yang berlimpah, sehingga masyarakat tidak terjerat kelaparan.

Kedua, masyarakat diimbau untuk melakukan intensifikasi terhadap areal tanah yang kosong di sekitar rumah atau kebun dengan menanam sebanyak mungkin jagung atau umbi-umbian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pangan kepada pemerintah selama masa pandemi covid-19 ini. Selain itu, kebutuhan masyarakat akan pangan juga akan terpenuhi.

Ketiga, pembagian padi dari desa, kecamatan, kabupaten, atau provinsi yang mengalami surplus kepada desa, kecamatan, kabupaten, atau provinsi yang mengalami defisit. Pembagian ini tentunya tidak gratis (syukur kalau gratis), tapi dijual dengan harga yang murah dan terjangkau sehingga masyarakat desa, kecamatan, kabupaten, atau provinsi yang mengalami defisit bisa membelinya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya