Urgensi Menunda Pilkada

Hak untuk memilih dan dipilih dalam sebuah pemilihan umum merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, hak untuk dipilih dalam sebuah pemilihan umum secara konstitusional telah dibatasi melalui sistem periodisasi jabatan yaitu di mana setiap periodisasinya adalah 5 tahun. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk sistem periodisasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf (n) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Ketentuan yuridis tersebut memiliki konsekuensi logis bahwa sebuah pemilihan umum akan diselenggarakan apabila periode jabatan tersebut berakhir. Hal tersebut berlaku pula pada konsepsi dan praktik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) termasuk di dalam penyelenggaraan pilkada serentak yang rencananya akan digelar pada 9 Desember 2020. Namun penyelenggaraan pilkada serentak tahun ini menimbulkan permasalahannya tersendiri yaitu terkait dengan masih terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia. Meskipun demikian, Pemerintah kemudian mengkonstruksikan untuk tetap menghelat pilkada serentak tahun 2020 di tengah pandemi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah penyelenggaraan pilkada serentak di tengah masih terjadinya pandemi tidaklah termasuk keputusan yang bijak untuk diterapkan. Bahkan dalil-dalil yang menjadi dasar kebijakan tersebut cenderung mengakomodasi sisi yuridis dari penyelenggaraan pilkada serentak namun tidak secara cermat mempertimbangkan sisi sosiologis dari penyelenggaraan pilkada serentak. Setidaknya ada tiga alasan dasar yang dapat dipertimbangkan untuk menunda kembali penyelenggaraan pilkada serentak yang rencananya akan digelar pada akhir tahun ini.
Pertama, pilkada sejatinya adalah untuk kepentingan rakyat. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa peran kepala daerah dalam menentukan kebijakan yang strategis tidak dapat serta merta digantikan oleh seorang pelaksana tugas. Namun perlu juga untuk memahami bahwa kepentingan rakyat dewasa ini tidak hanya mengenai pengisian jabatan publik kepala daerah melainkan juga kepentingan yang bersifat dasar seperti ekonomi dan pendidikan. Mengutip pendapat Prof. Satjipto Rahardjo (2005) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan”, hukum itu dibentuk untuk manusia dan bukannya manusia untuk hukum. Sehingga produk hukum termasuk yang mengatur mengenai pilkada serentak ini haruslah juga berkacamata sosio-kemasyarakatan.
Kedua, pemilihan kepala daerah di tengah pandemi ini perlu untuk dikaji ulang karena dalam tahap pendaftaran calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum di tingkat kota/kabupaten hingga provinsi tidak jarang diketemukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Bahkan dalam ketentuan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2020 (PKPU Nomor 10 Tahun 2020) masih membuka peluang terjadinya pelanggaran protokol kesehatan di lapangan meskipun terdapat klausula pembatasan di dalamnya. Lili Rasjidi dan Wyasa Putra (2003) dalam buku berjudul “Hukum Sebagai Suatu Sistem” menegaskan pandangan Roscoe Pound yang mengemukakan bahwa hukum tidak hanya mengenai substansinya melainkan juga dampaknya kepada masyarakat. Sehinga mengacu kepada doktrin hukum tersebut, PKPU Nomor 10 Tahun 2020 dalam praktiknya cenderung akan berdampak tidak baik kepada oknum masyarakat yang belum sepenuhnya memiliki kesadaran di tengah pandemi ketika berpartisipasi dalam pilkada serentak tersebut.
Apabila dalam tahapan-tahapan awal ini saja telah diketemukan banyak pelanggaran terhadap protokol kesehatan, perlu menjadi tanda peringatan bagi penyelenggaran pilkada serentak terlebih pada tahap pemungutan suara. Hal ini dikarenakan terdapatnya pemilih yang tergolong sebagai lansia dan ibu hamil. Dimana kedua golongan pemilih ini termasuk ke dalam golongan rentan terpapar oleh pandemi. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan dari penyelenggara pemilihan umum mengenai penegakan protokol Covid-19 dan itu semua memerlukan sosialisasi yang membutuhkan waktu cukup.
Ketiga, mengenai anggaran yang telah dikeluarkan untuk penyelenggaraan tahapan Pilkada seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Dikarenakan anggaran yang belum dipergunakan untuk tahapan pilkada yang belum dihelat dapat dipergunakan untuk sosialisasi tahapan penyelenggaraan pilkada serentak kepada masyarakat secara lebih komprehensif. Sehingga penundaan di tengah pandemi merupakan hal yang patut untuk dipertimbangkan secara mendalam dimana perlu menutup ruang kemungkinan pesta demokrasi milik rakyat bertransformasi menjadi klaster penyebaran baru di Indonesia.
Artikel Lainnya
-
102206/08/2021
-
41810/11/2023
-
94326/01/2022
-
Kebaya Sebagai Warisan Budaya dan Busana Keanggunan Perempuan Indonesia
109426/10/2024 -
Dilema Asap Tembakau: Antara Kematian dan Kenikmatan
103730/05/2022 -
Eropa Panik: Wajib Militer dan Ketakutan akan Perang Dunia III?
13823/07/2025