Tukang Becak dan Nasibnya di Tengah Kemelut Perkotaan

Mahasiswa
Tukang Becak dan Nasibnya di Tengah Kemelut Perkotaan 24/07/2020 2451 view Lainnya Pribadi

Berawal dari tugas kuliah yang menuntut untuk melakukan riset penelitian mengenai kehidupan tukang becak di tengah pertarungan ekonomi kota. Melakukan wawancara, cengkrama santai dengan para tukang becak menjadi sebuah pengalaman yang berharga. Berbagai informasi yang dapat diperoleh. Bahkan lika-liku kehidupan tukang becak yang dihiraukan masyarakatpun ikut dieksplorasi. Sebuah realitas yang tidak pernah disadari sebelumnya.

Pengalaman ini muncul dari kota terbesar kedua di Indonesia yakni Surabaya. Surabaya menjadi kota yang cukup padat penduduk. Berbagai elemen masyarakat mengadu nasib di situ. Mulai dari urusan sekolah/kuliah maupun urusan pekerjaan, semua menjadi satu di kota tersebut. Demi sesuap nasi pekerjaan apapun ditempuh selagi pekerjaan tersebut pantas di mata masyarakat. Tidak luput juga profesi menjadi tukang becak.

Kehadiran tukang becak di Surabaya tidaklah asing di mata masyarakat. Mereka sering mangkal di pusat pasar tradisional, terminal, maupun di pinggir-pinggir jalan kota Surabaya. Kebanyakan mereka berasal dari desa yang mengadu nasib di kota berharap kehidupan yang lebih layak. Namun, impiannya nampaknya menjadi sebuah angan-angan yang sulit untuk diraih.

Kehadiran becak awal mulanya cukup diminati oleh masyarakat. Apalagi munculnya inovasi bentor atau becak motor. Melalui bentor jangkauan perjalanan bisa lebih jauh dibandingkan becak bertenaga manual. Meskipun bentor sendiri belum mendapatkan legalitas dari pihak yang berwenang, masih dalam proses pengurusan katanya. Namun, setidaknya pada masa itu kehidupan tukang becak cukup terjamin.

Menurut pengakuan beberapa tukang becak yang sering mangkal di salah satu terminal di Surabaya. Dulu para penumpang bis maupun taksi terminal selalu naik becak untuk melanjutkan perjalanan yang tidak dapat dijangkau oleh bis atau taksi. Pada kala itu juga terminal masih ramai dengan penumpang, sehingga pelanggan tukang becak pun ikut ramai. Secara tidak langsung penghasilan tukang becakpun meningkat.

Namun saat ini nampaknya semua telah berubah. Kehidupan tukang becak tidak sesejahtera masa kejayaannya dulu. Katanya sih semua berubah semenjak hadirnya transportasi online. Sehingga transportasi yang masih menggunakan sistem konvensional perlahan kehilangan minat masyarakat. Terminal mulai sepi penumpang. Masyarakat lebih memilih yang lebih mudah, efektif dan efesien. Sebab, dengan transportasi online mereka mampu hadir di depan rumah penumpang dan mampu sampai tujuan secara langsung tanpa ada pergantian alat transportasi.

Bukan berarti menyalahkan transportasi online atas nasib yang dialami transportasi konvensional. Namun, begitulah realitas hari ini. Kita tidak mungkin menolak modernitas yang berkembang secara pesat. Meskipun modernitas tersebut terkadang hadir secara tragis.

Para tukang becak sempat diberi tawaran untuk beralih ke transportasi online. Namun, mereka merasa tidak mampu untuk mengoperasikan sistem online tersebut. Ditambah juga bagi mereka beralih ke pekerjaan lain nampaknya sangat susah, karena mencari pekerjaan di kota itu sangat sulit. Mereka lebih memilih menjadi tukang becak sebagaimana adanya meskipun itu tidak lagi bersahabat. Mereka lebih memilih rutinitas yang telah dirintisnya sejak lama bertaruh nasib di perkotaan.

Akhirnya para tukang becak hanya mengangkut beberapa penumpang dalam sehari yang hanya mampu dihitung oleh jari. Selebihnya tukang becak mengangkut barang-barang berat hasil belanja ibu-ibu di pasar.

Di tengah ekonomi yang semakin tinggi, tukang becak tidak kekurangan akal untuk mengadu nasib di perkotaan. Melalui hidup sederhana, katanya mampu menjadi solusi untuk bertahan hidup di perkotaan.

Solusi lain yang membuat saya takjub yakni gerakan kolektif tukang becak. Tukang becak membuat perkumpulan guna menyambung hidup mereka sesama tukang becak. Saling bahu membahu demi keberlangsungan hidup bersama. Bahkan mereka menciptakan sejenis tabungan bersama yang dananya diperuntukkan bagi anggota tukang becak yang sedang sangat membutuhkan dana, seperti sedang sakit atau kebutuhan mendesak lainnya. Mereka menyebutnya sebagai paguyuban tukang becak. Sebuah gerakan kolektif tukang becak guna keberlangsungan hidup di perkotaan.

Paguyuban tukang becak secara tidak langsung menciptakan solidaritas sesama tukang becak dan dapat mempermudah kehidupan tukang becak. Ditambah dalam paguyuban tersebut juga secara tidak langsung menciptakan harmoni sesama tukang becak. Menciptakan rasa kekeluargaan sesama tukang becak. Sehingga ketika membutuhkan sesuatu dapat saling membantu. Itulah fungsi keluarga.

Sungguh luar biasa usaha tukang becak mengadu nasib di tengah perkotaan. Gerakan kolektif mereka menjadi solusi berdikari menyambung hidup di perkotaan. Tanpa itu, entah mau dibawa kemana nasib mereka.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya