Darah dan Persaudaraan: Memaknai Ritual Etu dalam Budaya Nagekeo

Mahasiswa
Darah dan Persaudaraan: Memaknai Ritual Etu dalam Budaya Nagekeo 07/01/2022 2348 view Budaya pos-kupang.com

Dalam bahasa Nagekeo, ritual adat sering disebut dengan nama Buku Gua. Ritual adalah tata cara dalam sebuah upacara keramat yang dilakukan oleh umat beragama. Hal ini ditandai dengan waktu, tempat, alat-alat dan juga orang-orang yang terlibat dalam upacara tersebut. Setiap ritual mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Tujuan ritual pada umumnya adalah mendapat berkat atau rezeki dari setiap usaha yang akan dikerjakan.

Ritual Etu adalah sebuah acara tinju adat dalam budaya Nagekeo. Kedengarannya cukup aneh, di mana sebuah upacara yang melibatkan kekerasan dapat diartikan sebagai ritual yang mengandung nilai.

Ritual ini, bukan sekadar ingin menunjukan sikap balas dendam setiap individu. Tinju hanya bagian dari pengorbanan, yang ditandai dengan darah yang keluar dari tubuh sebagai simbol dari kesuburan. Ada makna yang lebih dari upacara ini yakni mengajak generasi berikutnya untuk semakin mempererat persaudaraan atau kebersamaan, sikap konsistensi, dan saling menghargai dengan harapan agar dapat membentuk karakter setiap orang.

Ritual Etu biasanya dilakukan di tempat terbuka, misalnya di tengah kampung. Areanya sangat luas sehingga bisa memberikan ruang gerak yang bebas kepada dua petarung dan beberapa orang yang menjaga kedua petarung ini. Ada semacam pembatas arena pertarungan sehingga para penonton tidak bisa melewatinya.

Biasanya ritual ini akan dihadiri oleh beberapa orang dari kampung yang berbeda. Para petarung juga tidak hanya dari kampung yang mengadakan ritual tetapi juga dari kampung lain. Biasanya para petarung harus mempunyai usia dan kemampuan fisik yang sama. Anak muda biasanya menjadi yang paling sering bertarung dalam ritual ini. Selain berpartisipasi dalam ritual, biasanya pencarian jati diri menjadi salah satu alasan sehingga banyak anak muda yang bertarung dalam ritual ini.

Mirip Gladiator?

Satu hal yang terlintas dalam benak ketika melihat dua orang diadu dalam satu arena dan disaksikan oleh banyak orang adalah peristiwa gladiator. Gladiator merupakan sebuah sebutan untuk seorang petarung professional pada zaman Romawi kuno. Jika dari cara yang terjadi dalam dua peristiwa ini, boleh dikatakan mirip tetapi ada beberapa hal yang berbeda. Kesamaan ini hanya di permukaan atau hanya berkaitan dengan proses terjadinya pertarungan ini.

Misalnya kedua petarung sama-sama berada dalam satu arena dan dihadiri oleh beberapa orang. Hal lainnya adalah kegiatan ini sebagai sebuah bentuk penghormatan. Ada perbedaan dalam hal objek penghormatan di sini. Seperti yang disampaikan oleh Tertulianus dan Festus bahwa darah yang ditumpahkan dalam pertarung adalah bentuk pengorbanan manusia untuk memurnikan jiwa orang yang telah meninggal.

Lalu, semakin berkembang pada zaman Julius Caesar yang mana ini dilihat sebagai penghormatan kepada ayah dan putrinya yang telah meninggal. Kegiatan ini terus berkembang dan diorganisasi dengan baik sehingga bisa dijadikan bahan tontonan yang menarik dan menjadi ajang untuk menunjukan kehebatan seorang gladiator.

Kesamaan lainnya yakni mengenai usia petarung. Hanya gladiator yang usianya sama atau tidak terlalu jauh dan kemampuan fisik yang sama yang diperbolehkan untuk bertarung. Tidak ada unsur paksaan dalam pertarungan. Persyaratan ini menjadi cara yang tepat apabila dua orang diadu dalam sebuah pertarungan.

Hal ini terjadi setelah kegiatan ini semakin terorganisasi dengan baik dalam budaya Romawi. Ada beberapa kesamaan atau kemiripan Ritual Etu dan gladiator tetapi persamaan hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat luar bukan makna dari kedua kegiatan ini.

Makna Ritual Etu

Ritual Etu mempunyai sejarah yang cukup panjang dan sangat erat kaitannya dengan Yang Ilahi atau yang dalam bahasa setempat disebut Dewa Zeta dan leluhur atau yang biasa disebut Gae Zale. Setiap alat yang digunakan seperti peo, sao waja, mempunyai makna tersendiri.

Peo adalah sebuah kayu bercabang yang sama besar dan sama tinggi dan ditanam pada bagian depan sao waja (rumah adat). Kayu yang digunakan untuk peo bukanlah kayu biasa. Ketika hendak membuat peo yang baru, harus ada upacara tersendiri mulai dari acara pemotongan kayu, penanaman dan penyiraman darah kerbau setelah kayu itu ditanam.

Hanya kayu tertentu saja yang bisa digunakan dan itu telah disepakati oleh tetua adat. Peo juga sebagai tempat pemberian persembahan kepada Dewa Zeta (Tuhan) dan Gae Zale (leluhur) sedangkan sao waja adalah rumah tempat tinggal ketua adat.

Pemberian persembahan pada peo sebelum Ritual Etu dianggap sebagai sebuah tanda syukur kepada Tuhan dan leluhur atas hasil panen yang telah diterima. Rasa syukur yang mendalam dari setiap masyarakat biasanya diwujudkan dengan membawa persembahan berupa arak (moke) atau hewan ternak seperti beberapa ekor babi demi mendukung Ritual Etu.

Ini tidak menjadi sebuah tuntutan tetapi ini lebih kepada sebuah pemberian seorang anggota suku agar ritual dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan yang dipercaya berasal dari leluhur. Relasi dengan leluhur masih sangat dijaga dengan kesetiaan terhadap apa yang telah diwariskan karena masyarakat yakin bahwa kehadiran mereka saat ini adalah berkat kerja keras leluhur.

Ritual Etu adalah sebuah bentuk penghormatan kepada leluhur dan kepada Tuhan sehingga masyarakat melihat ritual ini sebagai sesuatu yang sakral dan jika setiap orang yang diberikan kewajiban untuk melakukan ritual ini tetapi ia tidak melakukannya maka akan mengalami gangguan kesehatan. Oleh karena itu, sebelum dilakukan ritual ini (acara tinju adat atau Etu) akan dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh ketua adat.

Nama Dewa Zeta (Tuhan) dan Gae Zale (leluhur) selalu disebutkan dalam setiap upacara. Berkaitan dengan ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Negekeo, mempunyai iman yang teguh kepada Tuhan melalui agamanya dan juga dalam menghormati leluhur.

Ritual ini biasanya dilakukan pada musim panas dalam bulan Juni sampai September, lebih tepatnya sesuai dengan perhitungan bulan wula gelu leza (bulan menggantikan matahari atau bulan purnama penuh) dan bintang. Artinya, upacara akan dilakukan pada malam hari hingga besok sore.

Sebelum memulai Ritual Etu, para petarung akan berdiri menghadap peo dan meminta pertologan Tuhan dan leluhur. Masyarakat percaya bahwa dengan melakukan ritual ini, mereka selalu diingatkan akan kehadiran Yang Ilahi dan leluhur dalam hidup dan dapat menjaga segala tingkah laku, sopan santun dalam hidup bersama. Ritual ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali manusia ke dalam tatanan alam sehingga manusia dapat berpastisipasi dalam tata keselamatan.

Ketika melihat ritual yang dilakukan dalam upacara Etu, dapat dikatakan bahwa upacara ini mirip dengan pendapat dari Taylor dan Frazer. Kepercayaan akan adanya kekuatan spiritual dalam adat istiadat menjadi salah satu pendapat dari Taylor.

Agama mengalami perkembangan mulai dari keyakinan kepada roh-roh yang ada di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat sampai pada monoteisme dan etika yang dikembangkan oleh Yahudi dan Kristen. Hal yang sama dikatakan juga oleh Frazer. Suatu ritual yang dilakukan dengan benar maka akan terwujud sesuai dengan keinginan. Seakan ada hukum-hukum dan cara kerja alam dan berusaha mengontrolnya.

Ritual Etu adalah upacara adat yang dilakukan setiap tahun di Nagekeo. Upacara ini dilakukan sebagai persembahan rasa syukur atas hasil yang diberikan Tuhan dan leluhur dengan memberikan persembahan di peo sebelum upacara Etu.

Dengan melakukan ritual ini, masyarakat percaya bahwa hubungan mereka dengan sesama akan tetap aman dan penuh keharmonisan karena mereka yakin bahwa upacara ini sakral dan ada campur tangan Tuhan dan leluhur. Hingga saat ini ritual ini masih terus dilakukan di beberapa kampung di Nagekeo.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya