Tragedi Shireen Abu Akleh dan Akar Kekerasan Israel di Palestina

Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
Tragedi Shireen Abu Akleh dan Akar Kekerasan Israel di Palestina 20/05/2022 1221 view Politik The New Arab

Peristiwa terbunuhnya jurnalis AlJazirah, Shireen Abu Akleh (11/5/2022) melengkapi tindakan nir-kemanusiaan pemerintah Israel di Palestina. Di Jenin, Akleh tewas saat meliput kondisi kamp pengungsi warga Palestina yang tengah disergap tentara Israel. Akleh bukan hanya dibunuh, namun juga dihinakan saat peti mati berisi jenazahnya dan para pengantarnya turut menjadi sasaran kekerasan tentara Israel.

Tidak berapa lama dari terbunuhnya Akleh, Israel melakukan pemboman ke wilayah Suriah dengan alasan sepihak yang dibenarkannya sendiri, yakni kontra-terorisme. Sebelumnya, Israel menyerang muslimin yang sedang beribadah di Masjid Al Aqsha pada bulan Ramadan secara brutal.

Rangkaian kejadian tersebut dilakukan dengan terang-terangan tanpa kekhawatiran Israel atas protes dan tekanan negara lain. Israel melakukan tindakan tersebut dengan landasan kepercayaan diri yang besar dengan adanya dukungan Amerika Serikat dan Barat, serta keberhasilan mereka membungkam negara-negara Arab dengan perjanjian Abraham (Abraham Accord) yang ditandatangani sewaktu Donald Trump berkuasa.

Di tengah eskalasi politik dunia yang tersedot karena perang Rusia-Ukraina dan penindasan Israel, rentetan peristiwa tersebut menunjukkan keberadaan dan nasib rakyat Palestina yang seperti hilang dan menunggu saat terkubur oleh sejarah dominasi dan kolonialisme Israel. Dalam banyak hal, telah lama kondisi Palestina terjadi sebagaimana gambaran wilayah distopia.

Konsep distopia pertama kali disampaikan John Stuart Mill pada 1868. Berkebalikan dengan bayangan serba indah tentang utopia, Mill menggambarkan distopia sebagai wilayah yang penuh dengan ketakutan dan hal-hal yang mengerikan. Kini, gambaran wilayah distopia makin jelas terlihat di wilayah Palestina dengan akar sejarah kekerasan yang menyertainya.

Dari semua tindakan barbarisme Israel, yang akan terlihat adalah pembiaran, sebagaimana respons terhadap laporan berbagai komisi penyidik internasional PBB maupun lembaga nirlaba internasional. Pada Maret 2019, Komisi Penyidik Independen PBB merilis hasil investigasi mereka atas kekerasan yang dilakukan Pasukan Keamanan Israel atau IDF (Israel Defence Forces).

Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa para penembak jitu Israel dan IDF telah melepaskan 6000 lebih tembakan peluru tajam yang mengakibatkan 940 korban, 39 di antaranya adalah para jurnalis (dua meninggal). Akibatnya, 122 demonstran, 20 di antaranya adalah anak-anak di bawah 20 tahun, harus diamputasi pada salah satu atau kedua kakinya.

Lantas, apakah negara di dunia, khususnya “polisi dunia" Amerika, kemudian serentak mengutuk dan mengisolasi Israel atas laporan PBB tersebut? Tentu tidak. Sebaliknya, Amerika akan membela apapun tindakan Israel, bahkan saat korbannya adalah warga Amerika sendiri.

Insiden Shireen Abu Akleh mengingatkan kejadian serupa, juga di Jenin, pada diri petugas kemanusiaan Brian Avery dari Connecticut hampir dua puluh tahun yang lalu. Tak berapa lama dari kejadian itu, Mahmoud Shaalan (17), pemuda kelahiran Florida, ditembak sniper Israel di Dier Debwan saat melewati security checkpoint. Atas dua insiden tersebut, dan banyak insiden serupa lainnya, pemerintah Obama “cukup” menyatakan diri dengan keprihatinan mendalam, bukan mengambil tindakan tegas pada Israel.

Akar Kekerasan

Dalam buku The Biggest Prison on Earth (2017), sejarawan Israel Illan Pape menunjukkan dasar dan sejarah Israel tentang tindakan represifnya, khususnya dalam pemberlakuan diskriminasi dan represi terhadap rakyat Palestina. Pape menunjukkan, empat tahun sebelum terjadinya perang Yom Kippur pada 1967, Israel menyelenggarakan pertemuan Granit di Universitas Hebrew untuk konsolidasi pasca berdirinya negara Israel pada 1948 dan perang Suez pada 1956. Karena pengawasan internasional, Israel sadar, mereka tidak lagi bisa dengan mudah memberlakukan pengusiran besar-besaran rakyat Palestina sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Nakba (malapetaka) pada 1948.

Pertemuan Granit menyepakati alternatif cara kekerasan terhadap warga Palestina dalam bentuk represi hak sosial dan hak asasi mereka dalam bermacam bentuknya. Berbagai kekerasan pada warga Palestina yang terjadi sekian lama berinduk pada pandangan perlunya membuat rantai koloni khusus warga Yahudi dan menjadikan wilayah dan warga Palestina sebagai irisan-irisan kecil yang terpecah dan sangat tersudut secara kewilayahan.

Setelahnya, Golda Meir, Perdana Menteri keempat Israel, mangatakan dengan telengas dan kejam pada tahun 1970an, ”Saya tidak akan memaafkan warga Palestina karena mereka memaksa prajurit kami untuk membunuh mereka”.

Pertemuan Granit dan kebijakan Meir disatukan semangat zionistik Israel dengan politik aneksasi dan apartheidnya. Karenanya, kini warga Palestina dibuat makin asing dan pelan terusir dari wilayahnya sendiri. Jika semula perang fisik memaksa mereka keluar dari wilayahnya, Israel mengembangkan penjara besar bagi warga Palestina di wilayahnya sendiri dengan dukungan perangkat canggihnya.

Saat ini, ribuan kamera closed circuit television (CCTV) penera wajah (face recognition) dan sistem penyadapan tersebar di seantero wilayah Palestina, khususnya di Jerusalem Timur dan Tepi Barat. Kamera tersebut memastikan pengawasan terhadap setiap individu yang terpantau oleh optiknya, bahkan sebelum diperlukan pengecekan terhadap identitas mereka. Akurasi dan jaringan data yang dibangun Israel telah sedemikian kuat dan detil.

Israel juga melakukan penyadapan sarana komunikasi warga Palestina dengan perangkat penyusup gawai Pegasus dan program aplikasi penyadap “Blue Wolf”. Gawai dan sarana penyadapan yang penggunaannya sendiri ditolak di dalam internal Israel ini secara masif diberlakukan di wilayah Hebron, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur.

Melalui penyadapan data ini, lalu lintas komunikasi warga Palestina sangat mudah dikontrol Israel. Dengan dukungan teknologi yang demikian canggih, tingkat ketepatan mengidentifikasi dan menentukan sasaran tentara Israel tentu sangat terukur, sekaligus meminimalisir kemungkinan salah sasaran.

Dalam ungkapan lain, warga Palestina persis berada dalam apa yang dibayangkan pemikir Jeremy Bentham pada Abad ke-18 mengenai panopticon, yakni konsep pemenjaraan fisik dan sosial di mana seluruh aktivitas penghuninya akan terpantau dan terdeketeksi secara ketat.

Dari apa yang terjadi, terlihat bahwa segala hajat hidup, semua lini kehidupan, dan hak sipil warga Palestina telah ditelikung dan diberangus Israel. Dukungan Amerika dan Barat menyempurnakan kondisi tersebut. Dengan penjara kemanusiaan yang dibuatnya, Israel merasa tidak memiliki batas dan hak untuk melakukan kekerasan. Kematian Shireen Abu Akleh mengingatkan kembali langgam, maksud, dan latar kekerasan Israel yang sudah ditanamkan sejak lama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya