Baju Koko dan Atribut Keislaman
Entah apa yang salah dengan baju yang dikenakan oleh tokoh animasi karya anak bangsa itu. Mengapa masih saja dipermasalahkan.
Saya ingat beberapa waktu yang lalu ada seorang tokoh publik yang mengomentari pakaian yang dikenakan oleh Nussa dan Rara, tokoh utama dalam serial animasi berjudul sama. Saat itu bertepatan dengan akan dirilisnya serial tersebut dalam versi layar lebar. Komentarnya adalah bahwa baju yang dikenakan anak-anak itu tidak mencerminkan pakaian anak Indonesia.
Lalu, saya pun bertanya-tanya. Seperti apa pakaian yang mencerminkan anak Indonesia? Apakah ada pakaian anak yang benar-benar asli dari Indonesia? Apakah baju yang digunakan Nussa dan Rara tidak lazim digunakan oleh anak Indonesia?
Saat itu, dikatakan juga jika sebaiknya pakaian anak-anak tersebut tidak perlu dibuat kearab-araban. Menurutnya, menggunakan sarung lebih mencerminkan pakaian anak Indonesia dibandingkan baju koko yang dipakai oleh Nussa. Sesaat saya merasa tergelitik. Apa benar seperti itu?
Setau saya, anak-anak Indonesia terutama yang beragama Islam sangat lekat dengan baju koko atau baju takwa. Baju itu juga sudah dipakai oleh laki-laki yang beragama Islam bahkan sejak anak-anak terutama pada hari Jum’at, saat anak-anak pergi ke masjid, TPA dan juga saat hari besar keagaaman Islam. Tidak ada yang aneh. Ini adalah bagian dari budaya Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Sepertinya ada yang salah dengan cara berpikir orang-orang itu. Pakaian yang kita kenakan saat ini pun bukanlah pakaian asli orang Indonesia. Ada banyak pengaruh budaya asing terutama budaya barat yang mempengaruhi cara berpakaian orang Indonesia, termasuk anak-anak. Dan tentunya juga budaya-budaya lain seperti Cina, Jepang, India, termasuk juga budaya Arab. Jadiwajar saja jika pakaian yang kita kenakan saat ini kebarat-baratan, kearab-araban, kejepang-jepangan atau bahkan kekorea-koreaan.
Bila dikatakan sarung adalah pakaian tradisional Indonesia, memang benar. Tapi sarung juga bukanlah pakaian yang asli berasal dari Indonesia. Dilansir dari laman patinews.com, sarung dibawa oleh pedagang Muslim yang singgah di Indonesia. Jadi walaupun lekat dengan kehidupan dan budaya Indonesia, sarung juga bukanlah asli berasal dari Indonesia.
Begitu pula dengan baju koko yang digunakan oleh tokoh Nussa. Baju koko tersebut bukanlah simbol kearab-araban. Justru baju koko adalah akulturasi budaya Indonesia dengan budaya Cina. Dilansir dari laman Republika.co.id (12 Januari 2021), baju koko merupakan baju khas orang Cina yang dilengkapi dengan kerah Shanghai. Dulu baju koko sifatnya lebih umum, digunakan untuk kegiatan umum. Sekarang digunakan untuk kegiatan-kegiatan keagamaan.
Saya pikir, permasalahan baju Nussa dan Rara sudah selesai sejak lama karena memang sesungguhnya tidak jadi masalah. Namun, ternyata belum. Baru-baru ini dunia maya dihebohkan dengan cuitan yang menyatakan jika pakaian yang digunakan Nussa dan Rara adalah pakaian khas anak Taliban, anak Afganistan. Nussa dan Rara dianggap sebagai bentuk promosi khalifah dengan tujuan agar dunia tahu jika Indonesia adalah salah satu cabang Taliban, cabang khalifah. Lucu. Tuduhan ini sungguh tuduhan ngawur yang tidak berdasar.
Padahal orang Indonesia sudah sangat lama berpakaian seperti itu. Dan seperti yang saya jelaskan di atas, kalau pakaian orang Indonesia terpengaruh budaya asing, termasuk juga dari jazairah Arab. Jadi wajar jika terlihat mirip dengan baju timur tengah. Pertanyaannya adalah apakah lantas anak-anak yang mengenakan baju koko pasti terafiliasi dengan Taliban? Saya rasa pemikiran ini adalah pemikiran sempit yang mengadu domba dan memecah belah.
Nussa dan Rara adalah cerminan keseharian anak Indonesia. Jadi pakaiannya juga adalah pakaian yang lazim digunakan oleh anak Indonesia. Terlebih lagi, Nussa dan Rara adalah karakter yang beragama Islam, jadi rasanya wajar jika pakaian yang mereka gunakan lekat dengan budaya Islam. Lalu dimana masalahnya? Masalahnya adalah ketika atribut keislaman dibenturkan dengan nasionalisme.
Sependek pengetahuan saya, di Indonesia, kebebasan beragama dijamin oleh negara dan tertuang dalam undang-undang. Tapi pada kenyataannya, banyak yang memojokkan dan membenturkan agama dengan isu-isu nasionalisme, terutama Islam. Seolah-olah orang yang menjalankan Islam dengan taat bukanlah seseorang yang cinta tanah air. Padahal ini adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar.
Di dalam Islam, cinta dan membela tanah air adalah sebuah kewajiban. Semangaat ini lah yang menggerakkan hati para pahlawan negeri ini untuk memerdekakan bangsa Indonesia dan mengusir para penjajah. Jadi seseorang yang paham Islam seharusnya juga menjadi seseorang yang cinta tanah air, bukan sebaliknya. Sayangnya ajaran ini kini diputar-balikkan. Seolah-olah orang yang taat dalam keislaman tidak cinta tanah air. Sungguh sebuah kekeliruan yang besar dan ketidakadilan yang nyata.
Bayangkan saudari-saudari kita yang ingin taat melaksanakan agama dengan memakai cadar lalu dilebeli dengan teroris. Padahal mereka hanya ingin bebas dalam menjalankan agama termasuk dengan cara berpakaian. Begitu pula dengan saudara-saudara kita yang menggunakan celana cingkrang. Label radikal akan ikut melekat bersama dengan pakaian yang dikenakan itu.
Namun ironi ketika celana cingkrang menjadi hits di Korea Selatan dan digunakan oleh bintang-bintang K-Pop. Tidak ada yang melabelinya sebagai radikal atau teroris. Banyak yang justru bangga mengenakannya sebagai salah satu bentuk tren fesyen yang sedang meledak. Justru memakai celana cingkrang adalah bentuk fesyen kekinian.
Hal yang sama pada cadar. Banyak orang yang menentang cadar karena cadar adalah salah satu upaya menyembunyikan identitas. Bila seseorang bercadar, akan sulit dikenali. Hal ini dianggap menimbulkan potensi untuk melakukan tindak kejahatan karena wajah yang tertutup sebagian akan sangat sulit untuk diidentifikasi.
Namun semua berubah ketika pandemi melanda dunia. Hampir semua orang menutup sebagian wajah mereka dengan masker sebagai bentuk perlindungan diri terhadap virus. Tidak ada yang menganggap masker sebagai upaya untuk menyembunyikan identitas. Tidak ada yang melarang penggunaan masker, justru memakai masker di area publik kini wajib hukumnya. Padahal cadar dan masker sama-sama menutup sebagian wajah. Hanya alasan dan latar belakangnya yang berbeda. Ironi memang.
Terlebih lagi ketika ada pertanyaan pilih Al Quran atau Pancasila yang belakangan ramai di dunia maya. Mengapa harus memilih salah satu antara Al Quran dan Pacasila? Tidak bisakah Al Quran besanding dengan Pancasila? Memangnya orang yang cinta Al Quran akan otomatis tidak cinta Pancasila dan begitupun sebaliknya? Saya rasa tidak.
Dari sinilah kita belajar jika sila ke lima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, belum diterapkan dengan baik. Kita masih belum bisa adil dalam memandang sesuatu. Sebagai seorang muslim, kadang saya merasa tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan agama saya sendiri di negara yang katanya menjamin rakyatnya untuk menjalankan agamanya. Ada banyak intimidasi dan suara-suara sumbang yang berkaiatan dengan Islam.
Memang benar, radikalisme dan ektremisme dalam beragama harus dicegah dan dihilangkan. Namun bukan berarti seseorang tidak boleh menjalankan agamanya dengan taat. Bukan berarti seseorang yang mendekatkan diri pada agamanya lantas otomatis menjadi radikal dan ekstrem. Bijaklah dalam memandang segala sesuatu. Dengan begitu keadilan bisa ditegakkan. Dengan begitu sila ke lima Pancasila bisa diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena menjadi adil sejak dalam pikiran itu sulit, namun bisa diupayakan. Jangan sampai kebencian kita terhadap sesuatu menjadikan kita menjadi tidak adil.
Artikel Lainnya
-
113703/07/2020
-
85730/05/2021
-
1368906/12/2020
-
Wabah Corona dan Ujian Kemanusiaan Kita
131329/03/2020 -
Pendekatan Militer untuk Siswa Bermasalah: Sebuah Solusi atau Ancaman Hak Anak?
17424/06/2025 -
Pendidikan Indonesia Dalam Kritik Ideologi Konservatif dan Liberal
132806/04/2023
