Titik Terang Menuju Kebebasan Berdemokrasi

Ibu Pekerja
Titik Terang Menuju Kebebasan Berdemokrasi 22/02/2021 1018 view Opini Mingguan flickr.com

Masih ingatkah dengan kasus Ibu Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang keluhannya mengenai pelayanan salah satu Rumah Sakit Swasta di Tangerang tersebar melalui mailing list (milis). Keluhan tersebut akhirnya tersebar luas di media online, sehingga pihak Rumah sakit keberatan dan mengajukan gugatannya ke pengadilan. Ibu Prita kalah dan dikenai denda sebesar ratusan juta rupiah. Masyarakat Indonesia yang prihatin dengan kasusnya melakukan penggalangan dana yang dikenal dengan “Koin untuk Prita”

Ini merupakan kasus pertama mengenai pencemaran nama baik yang dikenai salah satu pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektrok (UU ITE) yang disahkan oleh Presiden Indonesia ke-enam, Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2008. Tujuan dari pembentukannya adalah memberikan keamanan, keadilan dan kepastian hukun bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi serta memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang Teknologi Informasi dan mampu bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukan.

Perkembangan pengguna media online yang semakin pesat, beberapa oknum menyalahgunakannya untuk menghina orang lain baik melalui komentar, tulisan ataupun status dan berlindung di balik “nama alias” atau akun palsu. Pencemaran nama baik, ujaran kebencian atau penghinaan yang menyangkut SARA dimuat di media online menjadi sasaran penting Undang-Undang ini..

Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya orang yang menyampaikan pendapatnya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dengan menyebarkan berita bohong. Mengkritik pemerintah dapat dianggap menyebarkan ujaran kebencian, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Kadang saya berpikir apakah pemerintah sekarang lebih baper seperti anak ABG yang lagi jatuh cinta?. Sehingga apapun perkataan atau perbuatan yang dirasa tidak berkenan dihati lalu merajuk. Atau seperti anak kecil yang diganggu temannya lalu lari pulang mengadu ke orang tuanya. Kemudian orang tuanya datang dan menghukum teman si anak tanpa menanyakan sebab musabab anaknya diganggu?.

Mengapa kritik yang dilontarkan tidak menjadi bahan evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan sehingga dapat berbuat ataupun memperbaiki sistem di masa yang akan datang.

Beberapa hari yang lalu, di dalam suatu pidatonya Presiden Jokowi mengatakan agar masyarakat tidak ragu-ragu untuk memberikan kritik terhadap pemerintah. Tetapi masyarakat tidak menelan bulat-bulat apa yang disampaikan oleh beliau, karena pasal yang terdapat dalam UU ITE sudah mengintai setiap perkataan dan pendapat yang disampaikan di dunia maya.

Pasal-pasal yang ambigu menjadikan masyarakat cenderung takut untuk mengkritik. Mereka telah belajar dari para pendahulunya, yang sudah lebih dahulu meringkuk di balik jeruji besi. Panjangnya proses hukum yang harus dijalani dan hilangnya kebebasan sudah terbayang jelas. Kebebasan masyarakat dalam mengeluarkan pendapat pun terkekang.

Salah satu bukti kebebasan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi mulai terkekang dibuktikan dengan menurunnya Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020. Menurut versi The Economist Intelligence Unit (EIU), dari 180 negara yang disurvei, posisi Indonesia terjun bebas sebanyak 17 peringkat dari rangking ke-85 (2019) ke posisi 102 (2020).

Sebenarnya, UU ITE ini sudah pernah di revisi di tahun 2016. Revisi tersebut berupa pengurangan masa hukuman di beberapa pasalnya serta pemblokiran terhadap situs-situs tertentu yang melanggar UU ITE. Namun, melihat ketidaktegasan beberapa pasal di dalamnya para praktisi, pakar hukum, maupun akademisi merasa perlunya UU ITE ini direvisi kembali.

Ada 9 pasal yang dianggap sebagai pasal karet karena adanya ketidakjelasan konsep menimbulkan berbagai penafsiran sehingga lebih mudah diplintir di sebelah pihak. Sejak disahkan di tahun 2008 sampai sekarang, pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 merupakan pasal yang paling banyak mengirim orang ke balik penjara.

Ketika akhirnya Presiden RI Joko Widodo menyetujui Revisi UU ITE, muncul berbagai pendapat baik pro maupun kontra. Ada pihak-pihak yang mencurigai bahwa revisi Undang-Undang ITE ini akan menggeser rencana untuk merevisi beberapa undang-undang yang sudah termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Tidak sedikit pihak yang menyebutkan revisi ini merupakan bagian dari pencitraan. Namun banyak pihak yang beranggapan jika revisi ini akan memabawa angin segar dalam masyarakat berdemokrasi.

Revisi undang-undang tidak hanya perubahan kata-kata, tetapi perlu dibarengi dengan perlakuan para penegak hukum dalam menyikapi segala laporan yang berhubungan dengan berita bohong dan pencemaran nama baik. Tidak semua laporan yang dilayangkan oleh masyarakat harus diproses dan ditindak lanjuti. Seperti kasus cerita Babe Haikal yang bermimpi bertemu Rasulullah yang dilaporkan karena dianggap meresahkan dan membohongi masyarakat. Begitu resahkah si pelapor sampai-sampai mimpi bertemu Rasulullah pun di laporkan? Sebuah laporan tentunya harus disertai bukti dan saksi. Apa yang bisa menjadi bukti mimpi? Dan siapa yang bisa menjadi saksi?

Undang-undang hanyalah “benda mati” yang berisi nilai-nilai moral yang harus dipahami. Diperlukan pola pikir yang tegas dan bijaksana dalam penerapannya agar dapat berjalan sebagaimana seharusnya untuk memahaminya. Pasal dalam UU tidak salah, ketidakpahaman dalam penerapanlah yang menjadi masalah. Dibutuhkan penjelasan yang tertulis agar kepahaman tidak multitafsir.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya