Timor Timur: Lepaskanlah

Saya memahami dan menyetujui mendiang Presiden Habibie memutuskan untuk memberi kedaulatan Timor Timur. Dengan alasan logis yang benar, bahwa subsidi yang disuntikkan Indonesia kepada Timor Timur kala itu tidak memberi daya yang signifikan bagi ekonomi bangsa. Di tambah, masyarakat di sana tidak memiliki daya tahan untuk bergabung kepada Indonesia. Saya tidak sependapat dengan ujaran bahwa Timor Barat (dulu beribu kota di Kupang yang sekarang menjadi provinsi Nusa Tenggara Timur) adalah saudaranya. Saudara beda ideologi? Miris sekali! Saya sangat setuju kita menganggapnya sebagai tetangga kita. Lihat Malaysia, dekat dengan kita, bersinggungan budaya, serumpun Melayu, tetapi tetap menyebut kita Negeri Jiran. Kitapun sama, menyebut mereka negara tetangga, kan? Berhenti menyebut saudara kepada mereka yang jelas benar-benar ingin merdeka.
Pada sejarahnya, Indonesia memang salah karena telah grasak-grusuk mengebut klaim atas wilayah Timor. Harus kita akui. Dengan pernyataan Presiden saat itu yang mengatakan bahwa Timor Timur adalah anak hilang yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Aduh, mendiang bapak presiden yang terhormat, ternyata tidak semua yang hilang ingin ditemukan. Segala operasi yang bersifat militan dikerahkan, selama dua dekade mencoba mengakrabkan orang Timor Barat dan Timor Timur. Padahal, saudara identik itu jelas mendapatkan perlakuan yang berbeda. Pengasuhan jajahan yang tak sama. Timor Barat dijajah Belanda, sedangkan Timor Timur dijajah Portugis. Pak Presiden yang dicintai penggemarnya, mereka sejak awal memang tidak pernah berada di pihak Pertiwi. Bapak saja sebagai prajurit korsa yang kurang jeli. Pertiwi tidak diinginkan di sana.
Lalu, dari operasi sekuntum bunga itu, terjadi perang saudara yang pelik. Gereja disusupi konflik. Tidak ada yang indah dari itu semua. Apa kabar ABRI yang pernah ditugaskan di sana? Bagaimana mereka yang gugur dalam operasi Seroja?
Di tengah gejolak saudara Timor yang tak lagi rindu pada ibu pertiwi itu, krisis moneter terjadi di segala penjuru. Anda bisa lihat, Pak? Dari segala suku dan daerah baik Jawa, Madura, Sunda, Bugis, Batak, Manado, Minang, Mandailing, Papua, semuanya membela negaranya. Membela NKRI. Melengserkan kuasa yang tirani. Bukan malah membelot mengingkari Pertiwi. Lihat kami! Seluruh suku dari Sabang sampai Merauke, apakah kami sudah merdeka? Belum sepenuhnya! Tetapi, apakah kami meninggalkan NKRI berdiri sendirian? Tidak akan! Itulah perbedaan kami dengan mereka. Itulah perbedaan suku-suku di Papua dengan mereka! Kami memahami bahwa penggerak reformasi adalah bahan bakar pemerintah tirani. Kami selesaikan dengan gugurnya segenap mahasiswa aktivis yang kami cintai dan kami banggakan, gugurnya saudara-saudara Tionghoa korban kerusuhan yang kami kasihi. Kami tidak akan meninggalkan Pertiwi. Ini milik kami, tanah air kami. Ada alasan untuk membangkang, tetapi tidak ada alasan untuk membelot. Sedari awal, Pancasila menjadi falsafah yang terus kami hidupi, Undang-Undang Dasar menjadi cita-cita yang kami perjuangkan. Seumur hidup kami. Sampai titik darah penghabisan. Kami tidak akan gentar menyuarakan, agar Pertiwi mendapat keadilan. Keadilan kami adalah keadilan bagi Pertiwi. Kami melawan secara kolektif, bukan membelot secara aktif. Dan kami tidak disusupi penjajah manapun.
Dari sinilah, ketika pada tahun 1998 setelah dilantik menjadi sang wakil yang naik takhta, Bacharuddin Jusuf Habibie bertandang ke Dili untuk memberikan kebebasan. Bekerja sama dengan menyerahkan Timor Timur pada PBB dan menyelenggarakan referendum. Hasilnya? Sekitar 87% suara rakyat ingin merdeka. Lalu, dengan segala keputusan politik yang menyertai, Eyang Habibie menyerahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bisa diurusi dengan aktivis kemerdekaan di negara terkait, tanpa melibatkan Indonesia dalam transisi.
Saya merasa sia-sia selama dua dekade kita memberati mereka dengan kewarganegaraan, toh juga secara fiskal ekonomi yang telah dihitung oleh staff dari Presiden Habibie menunjukkan lebih banyak biaya perawatan dibanding timbal balik daerah tersebut kepada ekonomi bangsa Indonesia yang saat itu baru sembuh dari krismon. Baiknya memang dilepas atas nama kemanusiaan dan hak bernegara.
Belajar dari Habibie, lepaskanlah apa yang memang perlu dilepas. Junjung tinggi hak asasi lebih daripada hak warganegara. Meskipun, pada pemerintahan Gus Dur terulang konflik masyarakat yang sama di Papua dengan pengibaran bendera Bintang Kejora, tetapi masyarakat Indonesia perlu membuka mata, bahwa Papua-lah yang sebenarnya saudara kita. Sebangsa dan se-tanah air. Papualah yang kini wajib kita jaga dan lindungi. Lindungi masyarakat adatnya, lindungi tambangnya, lindungi ekosistem laut dan hutannya, lindungi masyarakatnya dari separatisme. Papualah yang berhak kita jaga dengan sepenuh jiwa dan raga. Karena mereka benar-benar tulus mencintai pertiwi meski dulu pernah melewati Pembebasan Irian.
Banyak sekali polemik yang telah kita lalui. Tak perlu memaksakan kesatuan kepada mereka yang tidak ingin dipersatukan. Mereka adalah saudara yang tak lagi saling menyapa. Operasi militer hanya merenggut hak asasi mereka sebagai orang Timor. Biarkanlah Timor Barat memilih takdirnya bersama Indonesia, dan Timor Timur memilih bertahan dengan warisan Portugisnya dan para aktivis kemerdekaan. Dua saudara itu memang bersandingan, tetapi ternyata tidak perlu lagi dipersatukan.
Teman-teman, tak perlu dikasihani. Tak perlu lagi berlama-lama kecewa dengan keputusan dari Presiden Habibie. Masihkah kita mengemis untuk dicintai? Bukankah lebih baik bagi kita bersama dengan orang yang mencintai negara kita?
Akhir kata, selamat bulan Oktober, Timor Timur. Selamat lepas. Berbahagialah, sebagaimana kami bahagia dengan melepaskanmu. Kini kita bukan lagi saudara sebangsa. Mudah-mudahan masih saudara dalam kemanusiaan.
Artikel Lainnya
-
153407/08/2020
-
161207/10/2019
-
150216/02/2020
-
69522/11/2022
-
153218/07/2020
-
Paradoks Kehidupan Beragama Kita : Data Versus Realita
259308/08/2020