Agama: Laboratorium atau Museum?

Mahasiswa
Agama: Laboratorium atau Museum? 07/08/2020 1451 view Agama Nu.or.id

Manusia adalah homo religious, yakni makhluk yang memiliki kesadaran bahwa ada kekuatan yang melampaui dirinya dan kepadanya dia merasa bergantung. Sadar bahwa ada realitas yang mengatasi dan melampaui dirinya mendorong manusia untuk menyembah dan dari sinilah lahir kepercayaan yang kemudian menjadi agama (Kondrad: 2017).

Ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama diyakini sebagai petunjuk dari Sang Pencipta untuk manusia agar dapat menciptakan dunia yang damai dan menuju kepada keselamatan. Hal itulah yang membuat agama memainkan peranan penting dalam hidup manusia yang merindukan keselamatan. Dengan demikian, pada dasarnya agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada setiap penganutnya sebab semua ajarannya datang dari Yang Ilahi.

Akan tetapi, fenomena chaos (kekacauan) yang terjadi di Indonesia maupun di belahan bumi lainnya seperti: kriminalitas, dehumanitas, korupsi, terorisme, kekerasan seksual, dan sebagainya, telah memunculkan pertanyaan tentang peran agama dalam kehidupan manusia baik secara personal maupun komunal. Apa yang salah dengan agama? Apakah agama menjadi laboratorium untuk mengeksekusi ajaran-ajaran agama atau hanya sekedar museum bagi doktrin-doktrin dogmatis?

Ada banyak orang yang mengaku bahwa dirinya beragama dan percaya kepada Tuhan, tapi dalam kenyataannya mereka adalah ateisme praktis; hanya memberi pengakuan akan iman tapi tidak hidup selaras dengan apa yang diimani.

Sudah pasti bahwa agama mengajarkan tentang kebaikan universal, kejujuran, persaudaraan, kemanusiaan dan penghormatan kepada sesama ciptaan, tetapi hal itu hanya sekedar ajaran iman yang dimuseumkan di dalam agama dan tidak sampai pada pengeksekusian dalam laboratorium kehidupan. Hal itu terbukti dalam berbagai kekacauan yang terjadi sepanjang sejarah hingga saat ini, di mana ada pembunuhan, korupsi yang merajalela, pemerkosaan, kekerasan, penindasan dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya. 

Jadi kesalahannya bukan terletak pada agama melainkan pada subjek yang menganut agama tersebut. Orang bisa saja rajin beribadah sebagai kewajiban beragama, tapi hal itu tidak dapat dijadikan indikator mutlak bahwa orang itu sungguh-sungguh beriman.

Mungkin alasan orang rajin beribadah dan merayakan hari-hari besar keagamaan secara rutin adalah supaya tidak dikucilkan dari lingkungan sosialnya. Jika ini yang menjadi alasannya maka sudah pasti dia sungguh-sungguh tidak mengerti tentang agama dan beragama yang benar. Kebenaran bahwa orang tersebut sungguh-sungguh beragama dan beriman dengan baik terbukti dalam penghayatannya akan ajaran-ajaran iman yang diwujudkan dalam praktek hidup.

Paradoks orang yang mengaku dirinya beragama dan beriman, tapi dalam kenyataannya dia sebagai seorang ateisme praktis, telah memunculkan berbagai kritik terhadap agama itu sendiri. Hal itu akan menciptakan pandangan yang klise terhadap agama dan mengharuskan adanya perubahan terhadap ajarannya; padahal kesalahannya bukan pada agama melainkan subjeknya (meskipun begitu tetap perlu adanya re-interpretasi terhadap ajaran-ajaran yang lama sebab setiap ajaran harus dikontekstualisasikan dengan zaman).

Lemahnya interpretasi terhadap ajaran agama, karena dipengaruhi oleh kepentingan politik, ekonomi dan idealisme, dan ketidakmampuan untuk menginternalisasikan ajaran itu dalam praktek hidup sehari-hari telah menjadikan agama itu hanya sebagai museum yang menyimpan dan melindungi ajaran-ajaran suci di tempat yang tertutup. Kita lebih memilih menyimpan kekayaan iman itu di dalam ruang tertutup ketimbang membawanya keluar untuk dieksekusi dan dilaksanakan dalam laboratorium kehidupan, tempat yang seharusnya ajaran-ajaran itu berada.

Tidak hanya soal pe-museum-an agama, tapi agama juga sering dijadikan dalih untuk berbagai tindakan yang mengarah pada kepentingan pribadi atau bahkan kelompok yang merugikan pribadi atau kelompok lainnya. Hal itu seringkali menimbulkan berbagai konflik dalam masyarakat sehingga menciptakan kebencian yang bisa melahirkan perang. Jika itu yang terjadi maka agama telah kehilangan essensi dan tujuan luhurnya yakni kebaikan, kebenaran dan keselamatan.

Jika orang yang mengaku beragama tapi terus melahirkan kekacauan dalam kehidupan bersama apa lebihnya dari mereka yang kita anggap ateis? Bagi saya pribadi, kelompok ateis justru merupakan kelompok yang humanistis; menghargai nilai-nilai kemanusiaan meskipun mereka menyangkal eksistensi dan intervensi Tuhan dalam kehidupan manusia, tetapi mereka mengamalkan kebaikan hidup bersama.

Mereka yang kita anggap ateis justru telah memberi kontribusi yang besar bagi peradaban manusia, seperti: Stephen Hawking, Albert Einstein, Sigmun Freud, Thomas Alva Edison, Russel, Sartre, dan sebagainya. Beberapa di antara mereka justru memimpikan dunia yang damai dan harmonis bagi manusia yang dicapai bukan dengan perang tapi dengan mencari alternalif selain kekerasan (Russel).

Bisa dikatakan bahwa kita yang beragama tapi mereka yang ateislah yang melaksanakan ajaran agama kita. Bukankah itu sesuatu yang memalukan? Kita perlu bercermin untuk melihat bagaimana rupa dan kondisi kita sekarang ini, apakah sudah benar atau masih ada kekurangan dan kekeliruan yang perlu diperbaiki? Akan jadi sangat memalukan lagi jika kita tidak menyadari hal itu sehingga kita hidup dalam rupa yang kotor dan menyedihkan.

Kita tidak cukup jika hanya beragama tapi yang lebih penting ialah beriman. Orang yang beriman sudah pasti dia beragama, sebaliknya orang yang beragama belum tentu beriman. Beragama dan beriman adalah dua hal yang berbeda secara esensial.

Sederhananya, beragama itu seperti halnya memuseumkan ajaran-ajaran iman dalam ruang tertutup dan ajaran itu tidak terinternalisasi atau mendarah-daging dalam diri subjek; tidak dibawa ke dalam realitas hidup sehari-hari. Sedangkan beriman itu tidak hanya berhenti pada penerimaan dan pemeliharaan ajaran-ajaran iman, tapi dieksekusi dan dilaksanakan dalam laboratorium kehidupan; politik, ekonomi, sosial, relasi, keluarga, dan sebagainya.

Namun fenomena-fenomena kriminalitas, korupsi, eksploitasi alam telah menunjukkan bahwa agama hanya sekedar media bagi kepentingan pribadi, politik, ekonomi dan berbagai kepentingan dehumanitas lainnya. Agama hanya menjadi museum yang tampak sangat indah dengan berbagai ajaran-ajaran sucinya, tapi sayang kekayaan iman itu tidak sampai menyentuh realitas kehidupan manusia, tempat seharusnya ajaran iman itu berada.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya