‘Tidak Sengaja’ Sebagai Sebuah Kesengajaan

Widyaiswara BKKBN NTT
‘Tidak Sengaja’ Sebagai Sebuah Kesengajaan 15/06/2020 1991 view Opini Mingguan images.app.goo.gl/qtznEX8Dn1QjJtDK8

Salah satu kasus besar yang kembali bergaung adalah persoalan penyiraman air keras (asam sulfat - H2SO4) terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Oleh Jaksa Penuntut Umum, kedua terdakwa yakni: Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dituntut dengan pidana satu tahun penjara, karena dinilai terbukti melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Terdakwa Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel. Sedangkan, terdakwa Rony dianggap terlibat dalam penganiayaan dengan membantu Rahmat dalam melakukan aksinya, Kompas.com (12/6/20).

Menurut penilaian Jaksa, kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, bersama-sama melakukan penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, sehingga menyebabkan Novel mengalami luka berat. Perbuatan itu dilakukan karena terdakwa menganggap Novel telah mengkhianati institusi Polri. Dalam tuntutan itu, juga dibacakan beberapa hal yang meringankan, yaitu: terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, terdakwa mengakui perbuatannya di persidangan, terdakwa kooperatif dalam persidangan, terdakwa telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.

Yang unik dan menggemaskan adalah penjelasan dari Jaksa. Menurutnya, tuntutan yang diberikan pada kedua terdakwa itu sesuai dengan pasal yang diterapkan, karena kedua terdakwa tidak berniat untuk melukai bagian wajah Novel tetapi berniat melukai bagian tubuhnya. Akibat adanya tuntuan yang ‘ringan’ ini, masyarakat pun mulai bereaksi. Yang paling nampak adalah respon dari para netizen yang mengungkapkan kekesalan mereka di media sosial. Bagi sebagian orang, alasan Jaksa dalam memberi tuntutan kepada kedua terdakwa itu sangat tidak rasional. Saya kira ini merupakan tuntutan yang sangat tidak masuk akal dan sudah tentu tidak bisa diterima, sebab korban sudah mengalami cacat fisik.

Berdasar polemik ini, saya coba mendalaminya dari sudut pandang psikologi hukum, sebab letak psikologi hukum dalam kajian hukum terdapat dalam kajian empiris terhadap hukum. Pendekatan psikologi terhadap hukum dimaksudkan untuk mengkaji perilaku-perilaku masyarakat sebagai subjek hukum dalam melihat fenomena hukum yang ada. Pendekatan psikologi hukum menekankan determinan-determinan manusia dalam hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim. Hal ini sama dengan kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum, dimana semuanya termasuk kajian empiris. Hanya saja fokus pendekatan psikologi hukum terletak pada individu sebagai unit analisisnya. Individu dipandang bertanggung jawab terhadap perilakunya sendiri dan memberikan kontribusi terhadap timbulnya perilaku itu.

Mengenai persoalan ini, dapat dilihat bahwa tindakan kejahatan yang menurut terdakwa adalah sebuah ‘ketidak-sengajaan’, harus digaris bawahi. Bahwasannya kedua terdakwa pada awalnya sudah memiliki niat/intensi ‘jahat’ terhadap orang lain (korban). Sekalipun menurut terdakwa tindakan mereka adalah sebuah ketidak-sengajaan, akan tetapi niat untuk mencelakai atau mencederai orang lain yang tidak bersalah, sudah merupakan bagian dari kejahatan. Ditambah lagi, korban mengalami luka yang cukup serius. Ini mengindikasikan bahwa hukum harus ditegakkan seadil-adilnya sesuai akibat (hasil) yang dialami korban.

Bagi saya, ketidak-sengajaan terdakwa adalah sebuah ‘kesengajaan’ berencana yang patut dihukum setimpal. Kalau hanya bertolak dari pengakuan ‘tidak sengaja’ yang dituturkan terdakwa, lantas dengan cepat Jaksa memberi keringanan hukuman karena terdakwa dinilai belum pernah dihukum sebelumnya, terdakwa mengakui perbuatannya di persidangan dan kooperatif, maka hemat saya, hukuman itu seperti sebuah lelucon yang tidak penting.

Banyak tudingan dan kritikan yang sudah dilayangkan kepada Jaksa dan Hakim agar bisa memutuskan perkara ini setepat mungkin. Saya khawatir, kalau kasus ini sampai terputuskan seperti itu, maka akan ada banyak pelaku kejahatan yang pasti dengan mudahnya mengatakan bahwa tindakan (kejahatan) mereka hanyalah sebuah ketidak-sengajaan, sehingga hukuman pun menjadi ringan. Ini cukup berbahaya. Karena itu, sekali lagi saya tegaskan bahwa, sekalipun terdakwa mengatakan bahwa mereka tidak sengaja, tetapi dalam diri mereka sudah ada niat dan intensi jahat. Dengan demikian, tindakan ‘tidak sengaja’ mereka adalah sebuah ‘kesengajaan’ berencana. Dan oleh karena kesengajaan (dolus) merupakan salah satu bentuk (bagian) dari kesalahan (schuld), maka kedua terdakwa (Rahmat & Rony) sudah layak dan harus terjerat pasal terkait kesengajaan yang bersumber dari niat buruk terencana di awal.

Sudah kita ketahui bersama bahwa kesengajaan sebagai kesalahan (dalam arti yang paling luas) terdiri atas beberapa unsur, yaitu, Pertama, adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa (kondisi psikis) si pembuat (terdakwa) harus normal; Kedua, hubungan batin antara si pembuat (terdakwa) dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); Ketiga, tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Karena itu, kesengajaan yang ‘tidak disengaja’ adalah suatu pengetahuan (niat/intensi) yang mana adanya suatu hubungan batin/pikiran dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (pelaku). Kesengajaan yang ‘tidak disengaja’ mempunyai hubungan kejiwaan (psikis/mental) yang lebih erat terhadap suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa. Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat.

Walau dalam KUHP tidak ada definisi secara jelas mengenai kesengajaan (dolus), namun menurut memori penjelasan (memorie van toelichting), kesengajaan yaitu menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. Dalam pengertian ini, disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai ‘menghendaki’ dan ‘menginsyafi’, artinya seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja ataupun tidak sengaja (menurut pengakuan terdakwa), sudah pasti memiliki kehendak (menghendaki serta menginsafi) tindakan tersebut dan/atau akibatnya. Dapat dikatakan bahwa kesengajaan berarti kehendak (keinginan) untuk melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh pemenuhan keinginan. Dengan kata lain, kesengajaan ditujukan terhadap suatu tindakan sekalipun tindakan itu diakui sebagai suatu ketidak-sengajaan, sebab sudah ada niat dan intensi awal yang terencana.

Kesengajaan yang ‘tidak disengaja’ ini termasuk dalam salah satu dari tiga bentuk kesengajaan yakni ‘kesengajaan sebagai kepastian‘ (opzet alszekerheldsbewustzijn). Kesengajaan sebagai kepastian yaitu kesengajaan yang berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat, yang menurut akal manusia pada umumnya pasti terjadi, dikarenakan dilakukannya suatu perbuatan tertentu dan terjadinya akibat tersebut tidak dapat dihindarkan. Akibat yang timbul merupakan akibat lain dari tindakan yang dilakukannya bukan merupakan akibat yang dikehendaki.

Memang berat memahami persoalan ini. Akan tetapi, kita harus lebih jeli dan kritis terhadap setiap pengakuan dari saksi atau terdakwa agar bisa mengetahui dengan jelas niat dan intensi awal ketika sedang merencanakan tindak kejahatan. Semoga kasus ini bisa dikaji lagi secara lebih dalam agar keputusan yang diambil bisa adil dan setimpal dengan perbuatan/akibat yang terjadi pada diri korban.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya