Memanusiakan Guru Honorer
"Apa kabarnya mereka yang mengabdi di ujung negeri, tapi tak pernah mendapat jaminan kepastian?" Pertanyaan ini kerap mengusik benak saya setiap kali mendengar kisah-kisah para guru honorer yang terus mengabdikan diri tanpa kepastian nasib. Mereka mengajar dengan sepenuh hati, namun imbalan yang diterima sering kali tak sepadan dengan usaha yang mereka curahkan. Dalam bayangan saya, mungkin mereka adalah pahlawan sejati pendidikan yang keberadaannya sering kali luput dari perhatian kita.
Salah satu kisah yang cukup menggemparkan adalah tentang Supriyani, seorang guru honorer di SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan. Supriyani dituduh memukul seorang siswa kelas IA dengan sapu ijuk, yang katanya menyebabkan luka di paha siswa tersebut. Kasus ini menjadi sorotan, bukan hanya karena melibatkan anak dari seorang anggota kepolisian, Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya insiden itu, melainkan bagaimana Supriyani diperlakukan setelahnya. Sebagai guru honorer, dia tidak hanya dihadapkan pada masalah hukum, tetapi juga dituntut untuk membayar "uang damai" sebesar Rp 50 juta. Jumlah yang sangat besar bagi seorang guru honorer yang pendapatannya saja tidak seberapa.
Berbicara tentang guru honorer, satu hal yang tampaknya tidak banyak berubah adalah upah yang rendah dan kurangnya jaminan kerja. Sudah bukan rahasia umum lagi, masih banyak guru honorer yang hanya memperoleh penghasilan di bawah upah minimum regional. Sebagai perbandingan, meski standar hidup terus meningkat, mereka yang bekerja di sektor formal dengan kualifikasi setara bisa mendapatkan upah yang lebih tinggi, apalagi dengan jaminan pekerjaan tetap dan tunjangan kesehatan. Dalam hal ini, tampak jelas bahwa ada ketimpangan perlakuan terhadap guru honorer.
Mengapa kesejahteraan guru honorer sangat penting? Mereka adalah tulang punggung pendidikan di daerah terpencil, tempat di mana guru tetap mungkin enggan atau sulit ditempatkan. Tugas mereka bukan hanya mengajar, tetapi juga membentuk karakter dan masa depan anak-anak bangsa. Jika kesejahteraan mereka diabaikan, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka untuk terus bersemangat dan fokus dalam mendidik? Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, di mana ia menekankan bahwa pendidikan yang baik adalah yang memanusiakan, termasuk bagi pendidik itu sendiri.
Selain masalah upah, tidak adanya jaminan kerja membuat posisi guru honorer sangat rentan. Banyak dari mereka tidak memiliki kontrak yang jelas, sehingga sewaktu-waktu bisa diberhentikan tanpa alasan yang kuat. Situasi ini membuat mereka terjebak dalam kondisi kerja yang tak menentu. Mirisnya, ketika ada konflik seperti yang menimpa Supriyani, posisi mereka kerap lemah secara hukum maupun sosial. Guru honorer tidak memiliki lembaga yang kuat untuk melindungi hak-haknya. Padahal, jika kita ingin memperkuat sistem pendidikan, para guru ini butuh kepastian dan rasa aman dalam bekerja.
Kasus Supriyani menggambarkan tantangan yang dialami guru honorer dalam memperoleh pengakuan dan perlindungan yang layak. Di satu sisi, ada beban tugas yang tidak ringan dalam mendidik, sementara di sisi lain mereka sering kali dihadapkan pada perlakuan yang kurang adil. Sebagai bangsa, kita perlu melihat persoalan ini secara lebih jernih. Supriyani bukanlah satu-satunya; di luar sana, ada ribuan guru honorer yang menghadapi kondisi serupa.
Dari sisi pemerintah, beberapa langkah memang sudah dilakukan untuk memperbaiki kesejahteraan guru honorer, seperti melalui program sertifikasi guru dan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, implementasinya masih jauh dari kata ideal. Seleksi PPPK misalnya, hanya menjangkau sebagian kecil guru honorer, dan tidak semua dari mereka memiliki kesempatan yang sama untuk lolos. Program ini, meskipun bertujuan baik, belum sepenuhnya menjawab permasalahan dasar yang dihadapi para guru honorer.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu menyadari bahwa guru honorer adalah bagian penting dalam mencetak generasi muda. Banyak dari kita yang mungkin menganggap remeh peran mereka, atau bahkan tidak peduli pada kondisi kesejahteraan mereka. Padahal, dukungan dari masyarakat sangat diperlukan, baik dalam bentuk dukungan moral maupun melalui advokasi bersama untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kita perlu mulai melihat mereka sebagai penggerak perubahan dan aset berharga dalam sistem pendidikan.
Perjuangan untuk memanusiakan guru honorer bukan hanya soal upah, tapi juga soal pengakuan terhadap kontribusi mereka. Sebagai seorang penulis, saya merasa bahwa mendidik adalah panggilan jiwa yang memerlukan penghargaan lebih dari sekadar nominal. Kita semua tentu ingin melihat pendidikan yang maju, tetapi tanpa memperhatikan kesejahteraan para guru, apakah mungkin mencapai itu? Di sinilah tanggung jawab kita bersama.
Dalam konteks ini, kita bisa mengacu pada pendapat Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Artinya, memperbaiki pendidikan bukan hanya melalui pembangunan fisik sekolah atau perbaikan kurikulum, tetapi juga memastikan para pendidik, terutama guru honorer, mendapatkan penghargaan yang layak dan perlindungan yang memadai. Setidaknya, mereka layak mendapatkan rasa hormat dan dukungan yang lebih besar dari kita semua.
Dengan memahami permasalahan ini secara lebih mendalam, saya berharap pemerintah, masyarakat, dan kita semua bisa lebih menghargai dan mendukung perjuangan guru honorer. Bukan hanya demi kesejahteraan mereka, tetapi juga demi masa depan generasi yang mereka didik.
Artikel Lainnya
-
129218/05/2020
-
153316/04/2023
-
256210/03/2020
-
77519/08/2022
-
Penampilan Tanpa Merusak Bumi dan Sesama
21512/05/2024 -
Residivisme dan Pembimbingan Kemasyarakatan di Daerah
67015/01/2022