Swasembada Pangan di Tengah Pandemi, Ini yang dimau Jokowi?

Kasus pasien positif wabah Covid-19 di Indonesia kini mencapai sepuluh ribu lebih, jika kita melihat data yang dilaporkan oleh pemerintah pusat. Hal ini tentu membuat geleng-geleng kepala semua orang, dan akankah setiap harinya akan melonjak naik diikuti angka kematian yang terus meningkat pula? Hingga saat ini, banyak sektor terkena dampak yang cukup serius akibat pandemi ini, misalnya pariwisata, industri, perdagangan, juga mempengaruhi ekonomi Indonesia terutama pada sektor pasokan pangan.
Pemerintah mengatakan bahwa persediaan pangan di tengah pandemi ini masih aman hingga akhir tahun. Namun, melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, luas panen dan produksi padi nasional secara umum mengalami penurunan jika dibandingkan tahun sebelumnya tahun 2018/2019. Hasil riset BPS mencatat bahwa total panen padi mengalami penurunan sekitar 6,15 persen dibanding tahun sebelumnya. Hal ini tentunya menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi panen di tahun ini, apalagi ditambah dengan adanya cobaan wabah Covid-19 ini.
Baru-baru ini Jokowi meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN), daerah, serta Kementrian Pertanian untuk membuka lahan baru untuk persawahan. Hal ini diakui Jokowi untuk mengantisipasi apabila terjadi kekeringan dan jika terjadi kelangkaan pangan. Food and Agriculture Organization of The United Nation (FAO) sudah mengingatkan bahwa dampak panjang dari pandemi ini selanjutnya adalah krisis pangan dunia. Hal ini sontak membuat pro dan kontra di ruang publik, jika Jokowi membuka lahan untuk persawahan. Pertama, mengapa harus membuka lahan baru untuk persawahan padahal pemerintah selama ini masih tetap impor beras. Kedua, membuka lahan artinya alih fungsi lahan yang justru mengakibatkan bencana ekologis.
Jika kita menilik kebelakang pada tahun 2014, presiden Jokowi mencantumkan kedaulatan pangan ke dalam program Nawacita. Presiden Jokowi menargetkan swasembada pangan dimana program yang diinginkan lebih dari pada era Suharto. Kedaulatan pangan artinya memenuhi kebutuhan dengan produksi sendiri. Akan tetapi, hasilnya impor pangan hingga saat ini masih berlanjut. Sebetulnya visi tentang kedaulatan pangan sudah digaungkan Jokowi sejak masa kampanye periode pertamanya, hingga mendapat dukungan dari organisasi petani yang mengkampanyekan kedaulatan pangan yaitu Serikat Petani Indonesia (SPI).
Untuk menjadikan Indonesia dapat swasembada pangan dan mencapai kedaulatan pangan, sebetulnya pemerintahan Jokowi memiliki berbagai program yang diluncurkan. Data dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ada 7 program yang diluncurkan yaitu kawasan rumah pangan lestari (3.810 desa), lumbung pangan masyarakat (32 provinsi), desa mandiri rawan pangan (429 desa rawan pangan), keamanan pangan segar (30 kota), Kawasan mandiri pangan (192 desa/Kawasan), Lembaga distribusi pangan masyarakat (358 gabungan petani di 25 provinsi), dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (421 kabupaten/kota).
Program ini tentunya sangat menjanjikan menuju kedaulatan pangan jika dalam prakteknya diimplementasikan dengan baik dan sesuai. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri permasalahan di Indonesia yang sering terjadi adalah belum terintegrasinya data pusat, daerah, bahkan sektor sekecil desa. Tentu ini menjadi cambukan keras bagi pemerintah Indonesia, sehingga kontrol terhadap semua program dapat berjalan dengan cepat dan nyata (real time).
Persawahan Baru Mengartikan Swasembada Pangan?
Swasembada pangan, produksi sendiri akan kebutuhan pangan memang sudah dicita-citakan sejak dulu. Impor komoditi beras yang hingga saat ini masih masif dilakukan oleh pemerintah menunjukkan produksi beras di Indonesia menurun, dan pemerintah tidak punya pilihan lain selain impor. Alih-alih impor untuk menstabilkan harga dan meningkatkan cadangan pangan, akan tetapi harus diakui melalui data dari BPS pada Februari lalu bahwa produksi beras menurun, artinya pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri tanpa impor.
Tidak berhenti pada impor, jika kita melihat kesejahteraan petani hingga kini masih jauh dari harapan. Data dari BPS mencatat bahwa sebanyak 49.41 persen rumah tangga miskin pada tahun 2019 masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Terlebih, BPS mencatat bahwa desa adalah rumah tangga miskin terbanyak menggantungkan hidup dari sektor pertanian sebesar 64,73 persen. Sisanya berada di Kota yaitu 26,71 persen. Hal ini menjadi persoalan yang serius. Bagaimana mau swasembada pangan jika kesejahteraan masyarakatnya masih rendah?
BPS juga mencatat bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) semakin menurun di tahun 2020. Nilai tukar petani adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam prosentase.
Pada bulan Januari NTP adalah 104,16, menurun di bulan Februari sebesar 103,35, dan pada bulan Maret menjadi 102, 09. Jika dianalisis hal ini disebabkan karena selama ini akses petani terhadap pasar masih lemah. Petani terikat dengan tengkulak dan pengepul yang seringkali membeli produk petani dengan harga rendah. Dengan begitu petani hanya mendapat keuntungan sedikit. Hal ini mengartikan bahwa kebijakan perlindungan terhadap petani lokal melalui Undang-Undang, serta telah memperketat aturan impor melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2020 tentang pangan, pada pasal 36 ayat 1 menyebutkan bahwa impor hanya dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi dalam negeri. Namun, dalam prakteknya masih banyak penyimpangan dan tidak tegasnya aturan hukum yang berlaku.
Melihat realita permasalahan di atas, seharusnya Jokowi dapat lebih bijak lagi dalam mengambil keputusan untuk menghadapi krisis pangan akibat pandemi ini. Kebijakan pembukaan lahan untuk persawahan bukanlah satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Membatasi keran impor, mengoptimalkan produksi petani lokal, dan mempertegas kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian, juga kebijakan pangan adalah langkah solutif sembari menjalankan strategi yang akan dilakukan Jokowi untuk mengantisipasi krisis pangan diantaranya perhitungan jumlah pangan cepat, transportasi dan distribusi pangan antar pulau lancar dan tidak boleh terganggu, manajemen pengelolaan beras, dan memastikan produksi pangan berjalan dengan normal. Jika ini berhasil dilakukan bukan tidak mungkin Indonesia akan mencapai kedaulatan pangan. Selain dapat membantu mengantisipasi krisis, hal lain yang penting adalah membantu meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
Artikel Lainnya
-
96930/06/2021
-
184523/08/2020
-
210509/09/2019
-
Revenge Porn dan Victim Blaming: Rumitnya Penanganan KGBO di Indonesia
413828/02/2023 -
Membarakan Api Pendidikan:Refleksi dan Harapan di Hari Pendidikan Nasional
34503/05/2024 -
Korupsi dan Tantangan Kepala Negara
148826/12/2020